TULAH (Part 2)
Tantangan Menulis Hari ke -25 #TantanganGurusiana
Ternyata aku keliru. Pintu rumah sudah terbuka waktu aku sampai. Motor Bang Arya terparkir di luar. Aku memberi salam. Tak ada balasan. Pelan aku melangkah masuk. Suara riuh ayam terdengar bersahutan. Bang Arya sedang berada di halaman belakang. Ya ampun aku ternyata lupa memberi makan ayam tadi pagi.
"Bang, kok udah pulang?" tanyaku heran. Sebagai karyawan di sebuah kantor kontraktor Bang Arya biasanya pulang menjelang petang.
"Material belum datang. Masih dalam perjalanan. Sebentar lagi Abang balik ke proyek," jelasnya. Lalu sepertinya ia menyadari sesuatu dan menoleh ke arahku.
"Kok sudah pulang?" matanya awas memperhatikan wajahku. Tatapannya menyergap. Aku buru-buru menunduk untuk menghindar. Kutepis rokku dengan punggung tangan berpura-pura sedang membersihkan debu yang menempel.
"Abang mau minum lagi? Aku buatkan teh ya," tawarku untuk mengalihkan perhatiannya dan berbalik tanpa menunggu jawaban. Aku tau dia mengikutiku.
"Tidak usah. Ceritakan saja apa yang terjadi. Kenapa kamu pulang cepat dengan mata bengkak," tuntutnya tegas. Aku selalu tak bisa menyembunyikan sesuatu darinya. Matanya setajam elang. Belum dikaruniai anak membuat perhatiannya sepenuhnya tertuju padaku. "Sudahlah. Aku cuma pusing aja," kataku mengelak dan menuju kamar. Kepalaku terasa berat. Kubaringkan tubuh di atas tempat tidur. Perasaanku masih kacau. Namun seperti yang kuduga ia tak percaya begitu saja.
"Rianti, jujur sama Abang," katanya lembut sambil beranjak ke pinggir tempat tidur.
Suara Bang Arya selalu memberiku rasa aman. Suara yang selalu kurindukan saat berjauhan. Kurasakan air mata mendesak tumpah. Sedaya upaya aku membendungnya. Kutelungkupkan wajah. Tapi isak berkhianat. Desis Dihwan terngiang jelas di telingaku.
"Kenapa, Sayang?" Tangan Bang Arya mengusap kepalaku. Lembut. Tangisku pun pecah. Aku tergugu di dadanya. Selalu dadanya tempatku menumpahkan rasa.
"Dihwan?" katanya menebak sumber kesedihanku. Aku tak menjawab.
"Bukan," kataku lirih. Aku tak mau masalah semakin runyam. Tak ingin semakin merusak hubungan Bang Arya dan kakak perempuannya karena aku. Tapi bagaimana bisa Bang Arya kutipu? Meski belum memiliki keturunan setelah sembilan tahun perkawinan, kehidupan kami praktis tanpa masalah. Sampai ketika kakak perempuannya yang baru cerai pulang dan tinggal di rumah keluarga Bang Arya. Ketenangan hidupku pun mulai terusik sejak itu. Dan Dihwan, anak kakak perempuan Bang Arya yang berumur lima belas tahun itu memperkeruh suasana. Dia sering sengaja tak menunjukkan rasa hormat padaku saat di sekolah.
Bang Arya mengecup keningku. Tak berkata apa-apa. Lelah terasa menyerang setiap sendi tubuhku. Perasaanku terasa lebih ringan namun mataku menuntut haknya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Haha...Terimakasih atas kunjungannya Pak.
wow..kegalauan hati seorang wanita...hrs dimengerti..salam
Haha... Terimakasih atas kunjungannya Pak