"Jika menikah hanya dilandasi oleh rasa saling mencintai," begitu pesan Umar ibn Khattab. "Lalu di mana kedudukan iman?"

Betapa banyak yang katanya saling mencintai, tapi pernikahan mereka justru tidak barokah. Bahkan berakhir dengan cekcok maupun perceraian.

Betapa banyak pasangan yang menjalin hubungan bertahun-tahun, dan merasa cocok satu sama lainnya serta merasa sudah saling mengenal pribadi masing-masing, namun ketika akhirnya menikah justru rumah tangganya dipenuhi pertikaian, pertengkaran dan ketidakbahagiaan yang akhirnya berakhir dengan perpisahan.

.

Karena iman, Rasulullah sabar ketika di rumah hanya sebiji kurma lalu memakannya. Bahkan Rosulullah shollallahu alaihi wasallam sering berpuasa, karena tidak ada makanan yang dapat dihidangkan oleh sang istri tercinta A'isyah Rhodiyallahu Anha

Karena iman Asiah, bertahan mendampingi fir'aun, suaminya, hingga akhirnya ia pun binasa di tangan sang Raja.

Karena iman, Ali ibn Thalib sabar menjadi kuli menimba air walaupun hanya diupah dengan segenggam kurma.

Karena iman, Fathimah az-Zahra sabar menggiling gandum hingga tangannya lecet dan melepuh.

Pernikahan, sungguh tak seindah apa yang dikatakan para motivator atau pun buku-buku pranikah. Akan banyak percekcokan, ketidaksepakatan dab ketidaksepahaman. Akan banyak cobaan dan ujian menerpa menempa.

Maka pahamilah, rasa cinta kadang tak bisa ikut angkat senjata berperang. Hanya iman dengan pedang kesabaran dikala susah, dan senjata syukur dikala senang, yang mampu berperang menghadapi bala ujian dan cobaan itu.

Oleh karenanya, boleh-boleh saja menikah karena saling mencintai. Namun pastikan, perasaan itu hanya menjadi makmum. Imanlah yang harus menjadi imam-nya.

Pahamilah. Tak semua cinta melahirkan iman. Tapi semua iman, insyaAllaah akan melahirkan cinta.