Nurna Eka Senja

Bahasa dan Sastra Indonesia-UMM 14 Editor MediaGuru Indonesia Humanity on progress...

Selengkapnya
Navigasi Web

“Hujan Bulan Juni” Kisah Cinta Abadi Menjawab Tantangan Nilai-Nilai Toleransi

Begitu keluar dari kota kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang biasa mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat mobil untuk dan pembangunan rumah Tuhan. Bedanya adalah di Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid, di Menado tentu saja gereja.

“Lain lubuk lain ikannya pula,” bisik Pingkan ke telinga Sarwono, “meskipun yang dipancing sama saja rupiah.” (Damono, 2015: 30).

Sepenggal kutipan dari sebuah novel berjudul Hujan Bulan Juni, karya dari seorang sastrawan kenamaan di Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Sebuah kutipan yang terlihat sederhana ini nyatanya merupakan gambaran nyata dari keadaan negara Indonesia. Cuplikan tersebut hanya menggambarkan sedikit tentang perbedaan yang terjadi di Indonesia. Hanya sebuah ulasan singkat mengenai kaum mayoritas yang berbeda antara Menado dan Jakarta.

Dalam karya-karya sastra yang memekatkan, pengalaman kehidupan disaring, dijernihkan, diambil sarinya, dan dikristalkan hingga pembaca dapat mengambil hikmah dari kekayaan pengalaman itu dengan mudah dan dalam waktu singkat (Saini, 1986: 15). Inilah alasan kisah dari Sarwono dan Pingkan, tokoh dalam novel Hujan Bulan Juni, dapat menjadi cerminan dari kehidupan masyarakat di Indonesia.

Dikisahkan Sarwono merupakan anggota dari masyarakat Jawa asli, yang merupakan seorang muslim taat yang selalu tepat menjalankan ibadah shalat. Menjalin kasih dengan Pingkan, wanita keturunan Menado, wanita Kristiani yang menjunjung tinggi agama dan budaya. Masalah yang dimunculkan tetap sama dengan yang terjadi dalam realita. Ketidaksetujuan keluarga besar apabila dua orang ini membawa kisah mereka dalam sebuah ikatan yang sah. Persuasi yang dimunculkan para tokoh dari keluarga besar Pingkan adalah agar sang wanita ini segera menikah dengan orang Menado. Masalah yang hadir dalam rangkaian cerita ini bukanlah semata mengenai perbedaan budaya, tapi juga agama. Hal ini yang mampu dijadikan sorotan mengenai perwujudan toleransi yang sudah dan harus tetap dijaga oleh masyarakat nusantara.

Sarwono dan Pingkan adalah perwujudan dari masyarakat Indonesia yang sedikit banyak bersikap humanis. Sarwono memiliki ideologi sosial Jawa, Islam, dan humanisme. Dia adalah orang Jawa yang beragama Islam, dia menjalankan perintah agama namun sadar bahwa agama apapun itu sama tujuannya yaitu menyembah Tuhan. Pada novel juga digambarkan tokoh Pingkan yang berasal dari Menado namun dia lama tinggal di Solo. Terkadang dia bingung sebenarnya dia dari golongan mana, tapi Sarwono mengatakan bahwa mereka adalah Indonesia Raya. Di sinilah letak humanisme. Setiap orang pasti memiliki perbedaan, tapi persamaan harus yang dijunjung lebih tinggi. Pandangan tokoh Sarwono ini agaknya dalam kehidupan nyata punya potensi besar untuk ditolak. Sebagian masyarakat ada yang akan bersikap masa bodoh, sebagian lagi sependapat, dan bagian lain bisa saja menolak dengan beragam alasan.

Satu kata yang dapat digambarkan dari dua tokoh utama dalam novel ini adalah sederhana. Sederhana dalam arti pemikiran mereka. Pada kenyataannya menjalin hubungan khusus dengan dasar perbedaan agama hanya akan menimbulkan polemik siapa ikut siapa, tapi bagi Pingkan dan Sarwono hal ini bukanlah sebuah masalah rumit. Mereka berpendapat bahwa agama mereka masing-masing akan membimbing mereka dalam kebenaran. Mereka berpikiran bahwa agama mereka masing-masing berkedudukan sama karena, sama-sama menyembah Tuhan. Mereka berkeras kepala dengan keyakinan agama masing-masing, tapi juga turut mengedepankan toleransi. Bahkan, persuasi yang dimunculkan oleh keluarga besar Pingkan juga dapat diselesaikan dengan toleransi yang tinggi. Tidak ada kekeraskepalaan yang mereka wujudkan dalam kekerasan. Tokoh Sarwono dan Pingkan tidak pernah merasa dirisaukan oleh perbedaan agama dan budaya mereka. Hal ini sebagai wujud pembelajaran bahwa masyarakat Indonesia harus kembali menjunjung Bhineka Tunggal Ika yang sudah menjadi ideologi bangsa.

Di akhir cerita, Sarwono meninggalkan Pingkan menuju dunia lain. Ditinggallah Pingkan meniti angannya sendiri. Di sinilah dapat dipetik sebuah pengalaman luar biasa. Cinta abadi adalah sebuah penyelesaian dari setiap masalah. Cinta abadi pada sesama manusia. Perbedaan adalah sebuah kekuatan untuk menyatukan. Toleransi adalah jembatan yang akan membawa kedamaian pada masyarakat. Pengarang bukan ingin menggantungkan cerita melainkan memberi pemikiran bahwa dengan pemikiran yang tenang dan tanpa amarah maka masalah toleransi akan teratasi dengan bantuan alam, secara alami.

Di tahun ini semoga tak ada lagi kasus intoleransi yang muncul seperti 2016 lalu atau betahun-tahun sebelumnya. Toleransi yang sudah menjadi jargon Indonesia harusnya bisa tetap kokoh mengakar dalam jiwa masyarakat. Dengan menguatkan cinta pada sesama satu sentilan tak akan mampu menggeserkan kekuatan toleransi, bahkan seribu getaran berita tak bertuan hanya akan menjadi angin lalu yang hanya akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang ber–Bhineka Tunggal Ika- ini.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post