Nurohman

Seorang pemulung aksara yang gemar mengais dan memungut serakan kata dari keranjang bahasa lalu merangkainya menjadi tumpukan rasa. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
MENDEFINISIKAN ULANG STANDAR KEBERHASILAN

MENDEFINISIKAN ULANG STANDAR KEBERHASILAN

Siapa yang tak kenal tanaman cabe? Saya kira semua orang yang sudah aqil baligh pasti mengenalnya. Bahkan, banyak pula orang-orang yang tergolong penggemar cabe atau sambal—produk turunan dari cabe—garis keras, yaitu mereka yang kalau makan tanpa sambal akan merasa kurang tangkas, kurang cadas, dan kurang nge-gas.

Di sisi lain, ada juga orang-orang yang berusaha menghindari rasa pedas pada makanan karena beberapa alasan tertentu, biasanya sesuatu yang berhubungan dengan sakit pada perut dan produk turunannya. Saya tidak harus menjelaskan produk turunan dari sakit perut, bukan? Anda semua pasti sudah tahu apa yang saya maksud. Apalagi jika Anda memegang kartu anggota jammiyyah mulessiyyah—sebuah kartu yang dimiliki oleh orang-orang yang kalau terkena cabe atau sambal sedikit langsung merasa mules.

Nah, bicara tentang cabe, saya sedang merasa sangat beruntung karena diberi kesempatan untuk bisa menanam, merawat dan akhirnya memanen cabe dari kebun sendiri. Tempat yang saya sebut kebun di sini sebenarnya bukan kebun betulan, hanya sebidang tanah berukuran kira-kira 5 x 10 meter yang berada di samping rumah.

Meskipun pohon cabe yang saya maksud hanya berjumlah tiga batang—dari lebih dari sepuluh batang yang saya tanam awalnya—, tetap saja saya merasa sangat beruntung. Saya tidak sedang membicarakan tentang uang yang saya peroleh dari hasil penjualan cabe tadi. Tidak. Saya juga tidak sedang berbicara tentang pemenuhan kebutuhan memasak dari kebun sendiri seperti yang dilakukan oleh Li Ziqi. Tidak. Saya hanya sedang ingin berbagi kabar menggembirakan. Kalau pun hal itu tetap terasa tidak ada manfaatnya, setidaknya bagi diri saya sendiri, keberhasilan untuk memanen cabe dari pohon yang saya tanam sendiri merupakan sebuah pencapaian tersendiri—jika terlalu hiperbolik untuk disebut prestasi.

Saya sudah tidak ingat lagi berapa puluh kali saya menanam pohon-pohon cabe di tempat yang sama. Semuanya selalu berakhir tragis. Sebelum batang-batang cabe itu membesar dan mulai meninggi, pasukan khas ayam jago dan babon milik simbok saya selalu menyerbu dengan cara bergerilya dan memporak-porandakan batang-batang kecil tanaman cabe saya dengan sadis.

Beberapa waktu lalu saya menggunakan cara yang sedikit berbeda dengan cara menempatkan tanaman cabe yang masih unyu-unyu di sebuah wadah bekas minyak dan memasangnya di pohon randu. Ketika sudah mulai terlihat kokoh, pohon-pohon cabe tadi saya pindahkan ke tanah sebagai habitat aslinya. Dengan cara itu, akhirnya pohon-pohon cabe tadi bisa bertahan dari serangan pasukan kukuruyuk dan petok-petok beserta serdadunya. Hal sederhana tersebut bagi saya merupakan sebentuk keberhasilan yang patut untuk dirayakan.

Lha wong hanya begitu saja kok dianggap keberhasilan dan dirayakan? Bagi saya, semua orang memiliki standar ukuran dan boleh mendefinisikan ulang seperti apa dan bagaimana kesuksesan yang patut dirayakan. Kesuksesan masing-masing orang bisa jadi berbeda dan memang tidak harus sama.

Begitu pula saat mengajar peserta didik. Saya tidak menargetkan standar keberhasilan yang muluk-muluk. Misalnya, jika ada siswa yang sebelumnya membenci mata pelajaran yang saya ampu, tetapi sekarang sudah tidak lagi benci, bagi saya, sudah merupakan sebuah keberhasilan. Apalagi, jika dari sebelumnya benci menjadi suka. Itu sudah merupakan keberhasilan yang sangat layak untuk dirayakan. Jadi, saya tidak selalu menggunakan angka-angka dalam menentukan keberhasilan saya dalam proses belajar mengajar di kelas karena bagi saya angka-angka masih perlu untuk dideskripsikan, tetapi raut muka ceria dan gembira yang terpancar dari wajah peserta didik tak perlu lagi dijelaskan dengan kata-kata. Bahkan, angka-angka pun tak akan mampu menilai besarannya.

Kembali ke cerita tentang pohon-pohon cabe tadi. Ada dua kelebihan dari buah cabe hasil kebun saya tadi. Yang pertama, cabe tersebut neicerel alias alami tanpa bahan kimiawi karena saya sama sekali tidak melakukan pemupukan dan penyemprotan. Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa lubang pada daun bekas gigitan ulat. Jika dedaunan tadi terkena obat-obatan kimia, biasanya ulat tidak akan mau memakannya, kecuali ia adalah ulat yang kepepet dan nekat. Kelebihan yang kedua adalah sebuah kabar gembira bagi jamiyyah mulessiyah yang sering menghindari rasa pedas. Ketika saya lihat dalam jarak yang sangat dekat, cabe saya tadi sama sekali tidak terasa pedas. Jadi, Anda semua tak perlu takut akan merasa mules. Eh, itu tadi baru saya lihat dari jarak dekat lho ya. Entah kalau dipetik lalu dikunyah.

Nganjuk, 10 Februari 2022

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post