Nurokhim Sag

Nurokhim, S. Ag. S. Kons. adalah seorang Motivator & Trainer Pendidikan, Pembicara Seminar Parenting, Guru Bimbingan Konseling, Dosen, danPenggiat Pen...

Selengkapnya
Navigasi Web
KETIKA ANAK KECIL BERCANDA DALAM SHALAT

KETIKA ANAK KECIL BERCANDA DALAM SHALAT

Oleh: Nurokhim, S. Ag. S.Kons.

Rasanya ada yang hilang ketika sekian lama tidak mengunggah tulisan ke Gurusiana. Terbesit kerinduan dengan tulisan dan tegur sapa para Gurusianer yang hebat. Mohon maaf para Gurusianer kalau sudah lama tidak SKSS. Kesibukanlah yang membuat saya begitu susah membagi waktu untuk menulis (hehehe cari alasan). Mudah-mudahan tulisan saya bisa mengobati kerinduan saya dengan teman-teman Gurusianer semua.

*****

Bermain merupakan sifat naluriah dan fitrah seorang anak. Melalui bermain anak dapat mengekspresikan berbagai perasaan dirinya dengan leluasa, sehingga membuat bermain menjadi aktifitas yang menyenangkan bagi anak. Namun bagaimana jika bermain yang menjadi fitrah anak atau lebih tepatnya bercanda dan bersendau gurau itu dilakukan di masjid saat shalat berjamaah, yang terkadang candaan mereka menggangu kenyamanan jamaah dewasa yang sedang mendirikan shalat?

Beberapa hari yang lalu, saat penulis sebagai ketua DKM mendirikan shalat dzuhur berjamaah di Mushalla Nurul Iman, saat itu terbilang jamaahnya cukup banyak karena hari itu hari Ahad dimana masyarakat banyak yang libur dari pekerjaannya dan menunaikan shalat berjamaah di musholla Nurul Iman. Tidak ketinggalan anak-anak kecil usia sekolah dasar yang ssudah datang lebih dahulu berkumpul di depan mic membaca shalawat bersama sama sebelum masuk waktu shalat. Bagi penulis ini hal yang menggembirakan karena dapat memupuk mereka cinta dengan musholla.

Saat waktu shalat berjamaah tiba, usia iqamah, mereka pun ikut sembahyang berjamaah bersama orang dewasa. Hanya saja mereka sesekali bercanda sesama temannya yang tentu saja menimbulkan ketidaknyamanan dan kegaduhan yang mengganggu kekhusyukan bagi orang dewasa. Meski sebagai ketua DKM, penulis sudah seringkali menasehati mereka, tetap saja masih sering terjadi sendau gurau anank-anak saat shalat berjamaah didirikan.

Usai salam, mereka segera berlari keluar dari Mushalla kembali asyik bermain dan bercanda dengan tema-teman sebayanya di luar Mushalla. Sementara penulis dan sebagian orang dewasa meneruskan dengan shalat ba’diyah dzuhur 4 rakaat.

Namun alangkah terkejutnya ketika penulis beranjak dari mushalla dan hendak pulang menuju rumah, ada seorang anak yang sedang menangis “mesesegen” atau sesenggukan dikelilingi oleh teman-temannya. Pikir penulis anak itu menangis pasti karena bercanda dengan teman-temannya dan mereka berusaha menghibur. Penulis saat itu segera mendekati anak tersebut dan bertanya kepada teman-temannya yang mengelilinginya.

“Kenapa menangis, apakah kalian bercandanya keterlaluan sehingga dia menangis?” tanya penulis pada anak yang paling besar.

“Kami tidak bercanda ustadz, dia menangis karena ditampar sama pak Imam!” jawabnya polos dengan rasa takut.

“Pak Imam yang mana, disini tidak ada yang namanya Pak Imam?” jawabku masih belum tau maksud jawaban anak itu. karena setahu penulis, dilingkungan mushalla tidak ada orang yang bernama Imam.

“Itu ustadz, bapak yang suka mengimami shalat maghrib kalau ustadz berhalangan,” jawab anak itu lagi. Memang sebagai DKM, penulis sudah menunjuk orang yang penulis anggap banyak hafalan al-Qur’annya untuk menggantikan penulis menjadi Imam jika berhalangan hadir. Tapi, tidak pernah terpikir kalau dia sampai berlaku sedemikian.

“Maksud kamu “Pak X”?” tanya penulis memastikan.

“Iya ustadz, tadi dia ditampar sama Pak X,” jawabnya nampak ada rasa takut menyampaikannya.

"Benar Pak X yang melakukannya?" tanya penulis seakan tidak percaya.

“Iya ustadz, tadi di tampar di bagian telinganya 3 kali,” jawab anak yang besar itu yang mulai berani menatap penulis. Penulis yakin anak ini bicara jujur.

“Astaghfirullahal 'adzim, kenapa Pak X begitu tega dan tidak bisa mengendalikan emosi!” jawabku memekik lirih. Adakah Pak X yang selama ini kelihatan santun dan sudah dianggap tokoh masyarakat tega berbuat seperti itu?

"Coba tolong kamu ceritakan kejadiannya?" pinta penulis kepada anak yang paling besar yang menemani anak yang ditampar.

"Tadi memang dia bercanda saat shalat, dan Pak X persis ada di belakang kami. Kemudian sehabis shalat kami berlari keluar dari Mushalla, tetapi dikejar oleh Pak X dan dia lalu menampar teman kami ini 3 X," ujar anak itu menceritakan dengan runut dan penuh kepolosan.

"Astaghfirullah," ucap penulis kembali.

Istri penulis yang juga guru PAUD dari anak yang ditampar tadi melihat salah satu anak didiknya menangis segara datang mendekat menghibur anak itu untuk pulang. Namun anak itu tidak mau beranjak dari tempat berdirinya dan masih terus menangis sesunggukan. Istri penulis kemudian memeriksa bekas tamparan yang nampak memar memerah dan lecet di bagian pipi di bawah telinga.

“Sepertinya tamparannya cukup keras,” bisik istriku.

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un,” ucapan yang keluar dari lisanku.

Tidak lama kemudian ibu dari anak itu datang. Ia nampak sedikit berlari kemudian memeluk anaknya yang masih menangis.

“Ada apa dengan kamu nak? Apa yang terjadi?” tanya sang ibu dengan nada panic.

Istriku kemudian berusaha menghibur sang ibu dari anak itu dan meminta teman-teman anaknya yang menyaksikan kejadian tadi untuk menceritakan kembali kejadiannya kepada ibunya.

Mendengar penuturan dari teman-teman anaknya tentu saja sang ibu sedikit syok akan peristiwa penamparan yang dialami oleh anaknya. Apalagi hal itu dilakukan oleh orang yang selama ini sudah dianggap sebagai tokoh masyarakat yang sangat dihormati.

“Ya Allah! Kenapa dia sebagai orang dewasa begitu tega menampar anakku. Kalau memang ia salah kenapa nggak ditegur atau dimarahi saja, kenapa harus di tampar?” ucap sang ibu dengan nada emosi.

“Ibu, maafkan kami jika kami lalai, seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi hanya karena dibuat jengkel dengan tingkah putra ibu yang bercanda ketika shalat. Saya berharap hal ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan dengan yang bersangkutan,” ucap penulis yang juga merasa bersalah dengan tingkah salah satu pengurusnya yang kurang bertangungjawab.

“Iya Ibu. Semoga putra ibu baik-baik saja. Tapi untuk berjaga-jaga ibu bisa memfoto bagian yang memar akibat tamparan tadi. Mungkin akibat tamparan ini bisa saja berdampak bahaya pada putra ibu,” ucap istri saya memberikan masukan untuk antisipasi jika nantinya ada dampak hal yang kuran baik terhadap kepala anak itu akibat tamparan.

Sebagai seorang pendidik, penulis dan istri penulis menyadari bahwa menampar atau memukul bagian kepala sangat tidak dianjurkan karena bisa berakibat fatal. Terutama bagian telinga yang bisa berakibat meretakkan hingga gendang telinga anak rusak. Hal itu, bisa membuat pendengaran anak terganggu. Belum lagi terjadinya trauma yang berkepanjangan akibat penamparan tersebut, yang dapat berpengaruh terhadap menurunnya Intelligence Quotients (IQ). Selain itu juga dapat membuat anak menjadi rendah diri dan memiliki citra diri negatif tentang dirinya, dan trauma untuk datang ke mushala atau masjid untuk mendidirkan shalat berjamaah.

“Nanti kami coba menyampaikan kepada yang bersangkutan untuk bertangungjawab terhadap perbuatan yang ia lakukan. Sekali-lagi saya mohon maaf, semoga kejadian seperti ini tidak terung lagi,” kata penulis kepada sang ibu yang sudah mulai tenang mendengar ucapan penulis dan istri penulis.

Bersambung….

Sumber gambar: dari internet

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ulasan yang keren

26 Jul
Balas



search

New Post