NURPAN HASPANDI

Nurpan Haspandi, seorang guru di daerah yang ingin terus belajar dari hal-hal kecil yang positif. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Renungan

Renungan

Panas terasa menyengat siang ini, pulang dari aktifitas mengajar aku memarkirkan sepeda motorku di cafe langgananku. Kerongkongan terasa kering, aku duduk ditempat biasa. Tak lama kemudian datang seorang pelayan membawa segelas jus jeruk dingin. Setiap aku nongkrong di cafe tersebut si pelayan udah paham apa yang kuinginkan. Terkadang seminggu dua kali aku menghabiskan waktu hanya untuk minum dan makan di tempat favoritku ini. Tak lama kemudian gelas jus jeruk dingin tadi sudah setengah kosong, isinya transfer melalui kerongkongan. Rasa segar mulai terasa menepis cuaca yang tadinya terasa panas.

Sambil menunggu menu makanan yang belum siap disajikan, aku mengambil hape sambil jemariku bermain di layar mencari informasi terkini yang penting dan viral. Ada sebuah informasi yang lagi viral seperti kematian suami dari artis dan penyanyi BCL, belakangan ini menghiasi berita di layar tv ataupun sosial media. Informasi-informasi lain juga tidak luput dari pantauanku termasuk info tantangan menulis di gurusiana. Karena asiknya berhape ria, aku tak menyadari seseorang menepuk bahuku perlahan. Permisi pak, maaf saya telah mengganggu bapak sapanya. Sejenak aku terkejut menatapnya. Ya ia memang telah mengganggu keasikanku. Hape ditanganku hampir terjatuh. Lama aku menatapnya sambil menetralisir keadaanku.

Kini aku menyadari, dihadapanku berdiri seorang pengamen yang ditaksir usianya masih remaja. Diapun memetikkan gitarnya menyanyikan lagu tentang perjuangan seorang ayah yang bekerja keras untuk keluarga, lagu yang diciptakan dan dipopulerkan oleh Ebiet G. Ade. Bait demi bait lagu kudengar sambil kuletakkan hape dimeja, aku layaknya seperti juri pencari bakat, batinku dalam hati. Aku pandangi sekitar tempat dudukku, beberapa pengunjung juga terkesima dengan lagu yang dibawakan pengamen tersebut. Sebelum lagu selesai, pelayan datang membawakan menu makanan beserta air putih hangat. Aku membisikkan sesuatu kepada pelayan sebelum ia berlalu dariku.

Setelah selesai bersenandung, pengamen tadi menyeka air matanya. Sepertinya ia menangis, tanyaku dalam hati. Pengunjung cafepun terharu dan tanpa disadari kantongan kecil yang dibawanya mengamen telah terisi penuh dengan uang, dari yang benominal kecil, sedang hingga besar sekilas terlihatku. Sebelum dia beranjak pergi, kupegang tangannya untuk duduk dihadapanku. Aku memintanya untuk menemaniku makan. Mulanya ia menolak dengan sopan, aku setengah memaksa dan ia pun bersedia.

Makanan dan minuman yang kupesan tadi buat pengamen telah datang. Kami pun menyantap makanan bersama-sama. Sesekali aku menatapnya, anak remaja yang didepanku ini dengan lahapnya menikmati makanan. Mungkin dia lapar sekali, pikirku. Beberapa menit kemudian, setelah seluruh makanan berpindah tempat ke lambung kami masing-masing, ia ingin beranjak dari tempat duduknya. Aku tahan dia untuk pergi. Akupun menanyakan tentang lagu yang dinyanyikannya tadi dan air mata yang berlinang. Sejenak dia tertunduk, kemudian ia tegakkan kepalanya dan menceritakan segala yang dialami dirinya. Ia mengatakan kepadaku bahwa awalnya ayahnya menginginkan dirinya untuk melanjutkan kuliah di fakultas ekonomi dengan tujuan dapat meneruskan usaha keluarga, dia menghentikan ceritanya sambil meneguk minuman yang tinggal sepertiga lagi.

Tapi keinginan yang kuat untuk menjadi seorang pemusik membuatnya tidak bisa menerima keputusan ayahnya. Keinginannya yang tidak sejalan itu menyebabkan ayahnya tidak bisa menerima. Perdebatan sering terjadi, si ibu hanya bisa terdiam dan terkadang menangis melihat anak tunggal dan ayahnya selalu berdebat. Ibunya tidak bisa berbuat banyak untuk menyelesaiakn perselisihan ini. Seluruh aturan yang di buat ayahnya harus ditaati dan dilaksanakan. Beberapa minggu kemudian, ibunya meninggal dunia karena sakit, pengamen tersebut melanjutkan ceritanya.

Setahun kemudian usaha ayahnya terkena imbas dari krisis ekonomi yang mengakibatkan usaha ayahnya gulung tikar. Pengamen tersebut mulai berkaca-kaca matanya tatkala ia mengatakan bahwa sebulan kemudian ayahnya telah tiada, tinggallah ia sebatang kara. Rumah dan segala aset peninggalan ayahnya telah di sita. Rasa bersalah menyelimuti hatinya, kenapa tidak menuruti keinginan ayahnya dan membahagiakan mereka, pengamen remaja itu mengakhiri ceritanya. Ada pelajaran yang begitu berharga dari perjalanan hidup anak remaja ini, batinku dalam hati. Semoga bisa menjadi sebuah renungan dikehidupanku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Jadi baper! Saya ikut terharu Pak. Salam kenal.

21 Feb
Balas



search

New Post