NURROHMAH PUJI MASTUTI

Guru IPA yang sejak kecil gemar sastra. Seringkali menulis puisi dan cerpen di sela kegemaran traveling.Lebih suka diam dan suka dengan ketenangan. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Menunggu Durian Jatuh

Menunggu Durian Jatuh

Ketika dulu saya masih kecil, yang terbayang tentang pohon durian mungkin mirip dengan pohon nangka. Buah-buah durian bergerombol di batang, dan beberapa lainnya dapat bergelantungan di dahan.

Saat itu, penjual durian belum banyak seperti sekarang. Mungkin karena bahan makanan masih sangat mahal dan sayang jika uang dibelikan durian yang mahal. Saat nasi pecel masih seharga seratus rupiah, ketika itu harga durian sudah mencapai seribu lima ratus rupiah. Bagaimana tidak mahal?

Karena penasaran dengan buah durian dengan aroma yang menyebar, saya pun sering bilang kepada bapak tentang buah durian. Secara langsung saya tentu saja tidak berani meminta untuk dibelikan. Sebab jatah jajanan hanya sepuluh rupiah untuk sehari.

Suatu hari saat Bapak pulang dari bepergian, betapa gembira keluarga kami. Bapak dengan wajah cerah menjinjing dua buah durian yang merekah. Tinggal membuka dan siap dinikmati bersama.

Tak lama, buah durian pun dibuka untuk dinikmati satu keluarga. Ternyata oh ternyata, beberapa anggota keluarga pun tidak turut menikmatinya. Aroma menyengat tidak sesuai dengan harapan semula.

Daging-daging buah durian yang menguning pun ditinggalkan begitu saja. Saya pun sendirian menikmati durian hingga tinggal isinya. Saat itu, isi buah durian yang saya sebut pongge, ukurannya lumayan besar. Lebih besar dari ukuran ibu jari kaki orang dewasa. Sayang kan jika dibuang?

Biji-biji durian tersebut saya masak. Ada yang saya rebus, ada pula yang saya bakar dengan memasukkannya ke dalam tungku bekas memasak. Ternyata keduanya enak rasanya. Biji yang direbus cenderung basah dan ada lendirnya. Sedangkan biji yang dibakar tampak kering dan lebih gurih rasanya.

Saya pun mulai menyukai durian. Bertahun-tahun menyimpan rasa ingin menikmatinya lagi. Tetapi tidak pernah terulang lagi hingga saya dewasa dan berumah tangga.

Kebetulan tempat kerja suami dekat dengan masyarakat desa yang memiliki kebun durian. Sejak saat itu, hampir setiap ada durian enak, saya selalu dibawakan. Kadang dengan membeli, kadang memang ada yang memberi.

Semakin hari, saya semakin mengerti tentang keanekaragaman durian. Ada yang besar, ada yang kecil. Ada yang berkulit kuning, ada pula yang hijau. Walaupun sama-sama berduri pada kulitnya, ternyata lekukan buahnya tidak sama. Rasa daging buahnya pun beraneka rasa.

Saya paling suka buah durian dengan kulit hijau berdaging tebal dan kering. Rasa daging buahnya biasanya manis dan ada sedikit rasa pahit. Jenis ini pun beragam. Ada yang pahit ringan,, ada pula yang pahitnya bikin ketagihan.

Berwisata ke kampung durian atau ke perkebunan memang menyenangkan. Buah-buah yang dulu saya kira mudah dan bisa dipetik kapan saja, ternyata ada masa panennya. Buah-buah yang masih muda diikat dengan tali, dan buah yang sudah menggantung pada tali menandakan sudah matang dan siap dimakan.

Buah durian tidak hanya disukai manusia. Ada juga hewan, misalnya tupai yang juga menyukainya. Durian dengan isi yang kecil sebesar biji nangka sangat enak untuk kita nikmati.

22 Januari 2023

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi

22 Jan
Balas



search

New Post