Pagi ini, anak-anak sudah bersiap dengan peralatan mereka. Layaknya serdadu perang, ransel mereka terlihat penuh. Bukan buku atau seragam ganti, tapi peralatan dan bahan untuk memasak.

Antusiasme siswa nampak dari kedatangannya lebih pagi dari biasanya. Rupanya mereka telah bersiap untuk menjadi koki cilik. Pembagian tugas membawa alat telah dilakukan sehari sebelumnya begitu juga bahan yang harus dibawa. 6 kelompok siap bertempur mengasah rasa di dapur mini dalam kelas. Kelas pun disulap menjadi restoran mini.

Adegan memasak pun dimulai. Waktu yang diberikan dari jam 7 hingga 9. keseruan mulai nampak. Kericuhan, kelucuan, kebingungan, dan kegalauan terlihat dari wajah mereka. Ada yang beberapa kali melihat jam dinding, ada yang asyik mengelap piring sajian, dan ada pula yang membolak balik gorengannya.

Pembagian tugas yang menarik. Bahkan anak laki-laki tidak canggung untuk menggoreng atau mengiris-iris. Kepiyawean anak-anak ini seolah mereka ingin menunjukkan,"aku bisa!". Ya, itu lah yang aku harapkan.

Ada juga yang gosong bumbu nasi gorengnya sehingga harus mengulang kembali. Teman yang lain tidak marah justru bersedia membuat bumbu baru. Ada yang minumnya tumpah, dan ada pula yang kesulitan mengupas melon utuh. Hambatan-hambatan itu bisa teratasi berkat kerja sama antara mereka. Kali ini, aku tidak terlalu banyak membantu. Hanya sebagai pengamat dan ber-whataps an dengan wali murid.

Pemandangan yang jauh berbeda. Dibalik pesan WA ini, nampak kecemasan orang tua. Beberapa pesan seolah anak-anak mereka tidak sanggup melakukannya. Aku tidak menjawab pesan-pesan mereka yang panjang lebar. Setiap pesan masuk, aku balas dengan foto. Ya, foto anak-anak yang sedang memasak. Mereka keheranan. Bahkan ada yang komentar.

" Lho ustazah, Amir kalau di rumah tidak mau disuruh Uz. Maunya makan saja."

" Alhamdulillah ustazah."

Begitu harunya orang tua melihat adegan demi adegan di foto.

Anak-anak ini menyajikan hidangan sebelum batas waktunya. Tak lupa, mereka bersihkan tempat dan alat bekas memasak. Semua terlihat rapi.

"Aduh...capek ya!", celoteh salah seorang.

"Iya, alhamdulillah selesai", lanjut lainnya.

Begitulah dialog diantara mereka. Terlihat wajah-wajah ceria dibalik kelelahan.

Ada penanaman karakter dalam kegiatan ini. Aku lemparkan kembali pertanyaan kepada mereka.

" Apa yang kalian lakukan sehingga cooking class ini berhasil?"

"Kerja sama".

" Kekompakan."

" Kemandirian."

" Saya mau makan buah ustazah", sahut si Jamal.

Semua tertawa keheranan. Ternyata selama ini Jamal tidak suka buah. Dari kegiatan ini, si Jamal jadi mau makan buah. Wow...kok bisa, batinku.

Menurutku, ini salah satu bentuk core skills dalam pendidikan. Selain having fun, ada penanaman karakter, belajar memadu-padankan bumbu sehingga menghasilkan rasa dan aroma yang nikmat.

Tidak kalah pentingnya lagi, anak-anak belajar menghargai masakan ibu dan tidak membuang-buang makanan setelah mengetahui betapa susahnya proses mengolah bahan menjadi makanan yang siap saji.

Spaghetti, nasi goreng, pisang keju, dan kentang goreng yang dibuat anak-anak tidak kalah nikmat dengan jajanan depan sekolah. Yang pasti lebih sehat.

Yuk, cooking home...mama! Mari, kita bekali anak-anak dengan makanan sehat.

Surabaya, 6 September 2017