Nur Syamsiah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Bahtera itu Terhempas Tanpa Terpaan Badai

Bahtera itu Terhempas Tanpa Terpaan Badai

Fatimah, seorang gadis desa berparas manis dipersunting oleh seorang pemuda sholeh bernama Ahmad di usianya yang ke lima belas. Usia yang masih sangat belia untuk ukuran anak sekarang. Dia dijodohkan oleh orang tuanya yang hanya seorang petani di desanya. Tak ada perlawanan dia lakukan. Dia berprinsip, patuh pada orang tua akan membuahkan kebahagiaan.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan sampai berganti tahun. Suasana berbeda menyelimuti rumah mungil Fatimah dan Ahmad. Di tahun kedua pernikahan mereka, lahirlah seorang bayi mungil, laki-laki. Tampan seperti sang ayah. Kebahagiaan nampak dari raut wajah keduanya demi mendapatkan sang buah hati yang lama dinanti.

Fatimah, kini berusia tujuh belas tahun. Dia diberi amanah untuk mendidik dan membesarkan sang buah hati. Bekal yang dia punya hanyalah ilmu yang didapat dari kelas satu SR dan sedikit ilmu agama dari guru ngajinya. Keluarga kecil ini senantiasa diliputi kebahagiaan walau mereka tidak pernah saling kenal sebelumnya. Cinta yang mereka rajut adalah cinta karena Allah yang dibangun setelah pernikahan.

Ahmad, sang suami menghidupi istri dan buah hatinya dengan hasil mengajar dari sebuah madrasah. Penghasilan yang didapat tidaklah seberapa, namun Fatimah tidak pernah mengeluh. Dia, seorang istri yang qonaah, selalu menerima apa adanya. Hal ini membuat sang suami selalu menyayanginya. Bahtera kehidupan mereka yang dilandasi rasa cinta karena Allah tidak oleng oleh hempasan badai dari manapun. Rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah layak disematkan pada keluarga kecil ini.

Satu tahun berjalan, sang buah hati kini mulai bisa menapakkan kakinya untuk melangkah. Bertambahlah keceriaan mereka melihat kelucuan tingkahnya. Jatuh, bangun, tidak putus asa. Ditambah lagi dengan mulai bisa berkata-kata.

Usia buah hati merambat naik. Diapun kini berusia lima belas bulan. Di usianya yang ke lima belas bulan ini Allah amanahkan lagi kepada Fatimah, seorang bayi mungil, perempuan. Bayi mungil berparas manis sebagaimana sang ibu. Bertambahlah kebahagiaan Fatimah dan Ahmad. Lengkap sudah mereka rasakan. Dua buah hati, laki-laki dan perempuan yang akan selalu menghibur mereka dikala penat melanda.

Ahmad, sang ayah yang berprofesi sebagai guru madrasah memiliki banyak teman. Hampir seluruh penduduk desa mengenal dan dikenalnya. Orang sekarang menyebutnya sebagai orang yang supel.

Dia bergaul dengan siapa saja. Tidak pilih-pilih, sampai suatu ketika dia mendengar dari salah seorang penduduk kampung yang merupakan sesepuh menyampaikan berita yang sangat mengejutkan. Dia bilang bahwa dirinya dan sang istri, Fatimah adalah saudara sepersusuan. Bagai disambar petir di hari yang terik, dia lemas dibuatnya.

Ahmad punya iman. Dia tidak percaya begitu saja pada berita yang didengarnya. Diapun tabayyun, berusaha mencari tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Dia berharap berita itu tidak benar.

Dia mulai mencari informasi pada sesepuh lainnya. Harapan disandarkan semoga semua itu hanya isu belaka. Beberapa orang dia temui. Apa mau dikata, semua memberi jawaban yang sama. Dia dan sang istri saudara sepersusuan. Ahmad semakin lemas. Bagaimana dia harus menyampaikan hal ini pada sang istri. Dia sangat menyayanginya demikian juga kepada kedua buah hatinya.

Ahmad sadar akan konsekwensi dari apa yang didengarnya. Dia harus berpisah dari istrinya. Tidak ada jalan lain. Surat An NIsaa ‘ ayat 23 sebagai pedomannya. Di sana disebutkan “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [An-Nisaa’ : 23]

Sebagai seorang yang beriman, Ahmad harus segera memutuskan. Pahit memang, namun untuk mendapat kelezatannya kelak, dia harus bisa.

Ahmad tidak ceria sebagaimana biasa. Dia berfikir bagaimana cara menyampaikan berita buruk itu kepada sang istri. Sebagai seorang istri, Fatimah membaca kondisi ini. Dia merasakan perbedaan yang terjadi pada suaminya. Dia beranikan diri untuk bertanya. Dia berharap akan mampu mengurangi beban sang suami jika itu berkaitan dengan pekerjaannya.

‘Ayah, dari tadi nampak murung. Ada apa?’ tanya Fatimah pada sang suami. Lama sang suami tidak memberikan jawaban. Fatimah mendesaknya. Akhirnya keluarlah jawaban, “ Kita harus berpisah.” “Apa?” tanya Fatimah setengah berteriak, tidak percaya. Dia menganggap sang suami hanyalah bergurau. Dia ulangi lagi pertanyaannya. Sang suami menjawab dengan jawaban yang sama.

‘Mengapa kita harus berpisah, Ayah?’ desak Fatimah. ‘Kita sepersusuan,’ jawab sang suami singkat.

Dunia seolah berputar demi mendengar jawaban itu. Fatimah nyaris terjatuh jika dia tidak ingat semuanya sudah kehendak Allah. Apa yang dilakukannya kini hanyalah menerimanya. Sebagai seorang yang beriman dia tunduk dan patuh pada syariat. Dia ingat sebuah ayat dalam Al Quran yang menyatakan “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” (Qs. Al Ahzab: 36).

Ahmad akhirnya menceraikan sang istri tercintanya. Berat yang sangat dirasakan keduanya. Namun cintanya kepada Allah dan Rasulnya telah mengalahkan cintanya kepada wanita. Bahtera yang mereka bangun dengan cinta dan kasih sayang harus terhempas tanpa terpaan badai.

Demikianlah jika sudah suratan taqdir. Tak ada satupun yang mampu menolaknya. Fatimah pasrah dengan garis hidupnya. Dia sandarkan semuanya kepada Sang Pencipta, Sang Pengatur segalanya.

Semarang, 1 Mei 2017

Catatan : Kisah nyata yang dialami oleh kakek dan nenek penulis.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terimakasih Ibu

02 May
Balas

Cerpen yang sangat menginspirasi. Bagus sekali!

02 May
Balas



search

New Post