Jangan Ragukan Kedasyatan MG

Sagusabu Semarang telah berlalu. Ada kenangan yang tersisa yang tak bisa aku lupa dari acara itu. Ada satu pertanyaan dari seorang teman,”Bu, bukankah njenengan tahun lalu sudah ikut?” Ya, jawabku, tapi kali ini aku ajak serta anakku. Karena di samping merefresh ideku, tujuanku yang sesungguhnya adalah aku ingin anakku juga menulis. Walau sebenarnya dia juga sudah sering menulis, karya ilmiah.

Sering aku pameri buku-bukuku (kebanyakan tentang cerpen), dia bilang, “Passionku tuh beda, jangan disamakan dengan Ummi.”

Aku memakluminya. Aku memang tidak memaksanya. Namun aku sangat menginginkan dia mengabadikan pengalaman-pengalamannya mengikuti lomba baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sehingga aku sering bilang padanya,”Mas, pengalamanmu ditulis dong, biar orang lain bisa mengambil hikmahnya.” Tak pernah dia merespon permintaanku.

Oleh karena itulah, saat ada info kegiatan sagusabu di Semarang, aku langsung bertanya apakah mahasiswa boleh ikut. Alhamdulillah ternyata diperbolehkan. Dengan niat memotivasi anakku, maka aku ajak anak keduaku yang bestatus sebagai mahasiswa.

Aku tawarkan kegiatan ini padanya. Berikut adalah dialogku dengannya.

Aku : Mas, Ummi mau ikut pelatihan menulis, pulangnya sore. Kamu temeni ya?

Anak : Ya Mi. Aku nemeni aja to? Jangan disuruh nulis lho.

Aku :OK. Don’t worry. Nemeni aja.

Anak :Beneran lho.

Aku :Ya, ya. Tapi tetap bawa laptop ya. Nanti kalau acara tulis menulis kan kamu kelihatan bawa juga walaupun nggak nulis.

Anak : Lho, kok bawa juga.

Aku : Ya lah. Masak yang lain nulis, kamu ngapain?

Hari H pun tiba. Dia mau juga membawa laptop sesuai permintaanku. Kami pun berangkat. Ada harapan dalam hatiku semoga dia berubah pikiran. Aku yakin para narsum MG mampu memengaruhinya.

Hari pertama acara pelatihan, ada sesi pembuatan sinopsis dan outline buku yang akan ditulis. Saat itu aku masih memilih beberapa judul yang akan kujadikan bahan tulisan. Sementara aku lihat anakku sudah mulai menulis. Beberapa paragraf untuk sinopsis sudah dia selesaikan. Outline pun sudah.

“Mas, kamu nulis?” tanyaku seolah tidak tahu.

“Udah Mi, udah selesai,” jawabnya.

“Oh ... mantap,” pujiku.

Aku masih belum mempunyai judul yang cocok.

“Ummi udah belum to?” tanyanya.

“Belum,” jawabku.

“Lho piye to?” tanyanya lagi.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Menjelang usainya acara, barulah sinopsisku selesai.

Ada secercah harapan saat kusaksikan dia menyelesaikan sinopsisnya. Harapan semoga dia akhirnya mau menulis juga.

Tak salah rupanya. Dia akhirnya terhipnotis dengan kelihaian para narsum MG dalam memberi motivasi. Setiba di rumah, dia terus menanyakan kapan cover bukunya jadi karena dia merasa sudah mengirim sinopsis. Aku minta dia untuk bersabar.

Dia bertanya dan bertanya saat cover peserta lain bermunculan. Dari sini aku membaca, sesungguhnya dia juga ingin seperti yang lain, menulis sebuah buku.

Kurang lebih dua minggu setelah pelatihan, muncullah covernya. Aku lihat dia begitu bahagia. Hal ini terbukti dia berani mengaploadnya untuk dijadikan status fb.

Ada sesuatu yang menarik dari apa yang ditulisnya. Dia, yang awalnya bilang lebih suka ilmiah, ternyata (jika dilihat dari covernya) mau juga menulis fiksi.

Inilah cover yang ditunggu-tunggunya.

Terimakasih MG, kedasyatanmu tak perlu diragukan lagi. Daya tarik yang sungguh luar biasa. Memukau.

Semarang, 17 Februari 2018