Nurul Hidayah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Evolusi Membaca Pada Anak

Tak sengaja saya pemperhatikan perjalanan anak dalam membaca. Pada masa awal-awal perkembangannya, saat ia berusia beberapa bulan saya biasa membaca jurnal keras-keras sambil sesekali sengaja menghadapkan wajah padanya. Dia akan tertawa. Mungkin disangkanya saya tengah mengajaknya bermain. Padahal saya sedang dikejar deadline untuk segera menyelesai tesis.

Saat memasuki usia hampir satu tahun saya membelikannya buku yang terbuat dari karton tebal dengan ujung-ujung tumpul. Saat itu saya belum mengenal buku bantal/kain. Bukannya dibaca, buku itu malah digigiti bahkan ia seperti ingin merobeknya. Saat ia berusia dua hingga tiga tahun, saya sering membacakannya buku cerita sebelum tidur. Memasuki usia empat tahun, dia yang minta dibacakan buku cerita.

Ketika memasuki usia enam tahun, saya memintanya membaca sendiri karena ia sudah bisa membaca. Namun ia menolak, “Enggak rame kalau bukan Bunda yang baca” begitu katanya. Di usianya yang ketujuh saya membuat strategi membaca bergantian. Mulai dari saya tiga halaman dia satu halaman, saya dua halaman dia satu halaman hingga masing-masing satu halaman bergantian.

Suatu ketika, ia mendapat hadiah berupa buku komik edukatif. Ia meminta saya membacakan untuknya. Namun, karena kelamaan menunggu saya yang masih berkutat di dapur ia akhirnya membacanya sendiri. Tak tanggung-tanggung, setengah buku habis sekali duduk. Setengahnya lagi ia habiskan keesokan harinya. Sejak saat itu, ia keranjingan beli buku komik edukatif kalau ke toko buku. Ia tak mau membaca buku yang bukan komik, padahal di rumah tersedia komik.

Belakangan saya membatasinya membeli buku komik cukup dua saja yang dia lahap dalam waktu dua hari sepulang sekolah. Ia kebingungan, mau membaca apa setelah komik habis. Kini ia mulai membuka buku-buku cerita non-komik. Di usianya yang hampir Sembilan tahun, ia berujar “Bun, aku mau nulis buku tentang ibadah, tentang kebaikan. Biar kalau aku meninggal, terus ada orang yang berbuat baik setelah baca buku aku, aku kebagian pahalanya”. Oalah Nak, Ibumu di usia segini saja belum pernah membuat buku kecuali modul pelajaran. Hmm, Saya jadi terpacu untuk menulis buku.

Begitulah anak-anak, mulai dari melihat buku, mendengar buku, menggigiti buku, menyobek buku, mendengar buku dibacakan, membaca buku hingga akhirnya bercita-cita menulis buku dan mengispirasi orang untuk menulis buku. Alhamdulillah, sejatinya anak mengajarkan banyak hal kepada kita.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

"Uyah mah tara nees ka luhur" kata orang Sunda. Mungkin bukan sebatas orang tuanya yang rajin membaca tetapi bagaimana orang tua menciptakan iklim membaca juga perlu diperhatikan. Cerita yang luar biasa Teh.

22 Mar
Balas

Nuhun Pa Asep. Setuju sekali, "menciptakan iklim membaca".

22 Mar



search

New Post