Waktu itu lelaki kecilku belum genap berumur lima tahun. Pagi yang dingin tak mengurungkan niatnya untuk bermain di halaman. Tiba-tiba ia masuk ke rumah seperti mencari sesuatu. Tangan kanannya ia masukkan ke dalam saku piyama. Curiga dengan kelakuannya aku lantas bertanya, “itu apa Nak?”. “Enggak, bukan apa-apa” katanya. Ia kemudian mengambil sebuah kaleng bekas kue. Kaleng itu dibawanya keluar. Aku mengikutinya dari belakang, penasaran dengan apa yang akan dilakukannya.

“Pluk” suara sebuah benda dimasukkan ke dalam wadah itu. Saat kulihat, ternyata...ulat bulu! Sontak aku berteriak “Nak, cepat buang ulat itu! Lalu injak!” Dengan tenang ia menjawab “Jangan Bunda, kasihan dia juga kan makhluk Allah. Makanya mau aku pelihara, aku kasih rumah”. Oow... jawabannya terasa menampar wajahku. Aku berusaha menenangkan diri. Aku jelaskan bahwa kaleng bukan tempat hidupnya. Maka ulat itu harus segera dilempar, eh diantar ke kebun tetangga.

Entah kenapa, sikapnya terhadap ulat jauh berbeda dengan aku ibunya. Apa karena ia seorang lelaki? Jawabannya masih harus dicari.