Nulis apa? Sebuah pertanyaaan spontan pada hari pertama Pelatihan Menulis tercetus dari mulutku. Pertanyaan tersebut meluncur begitu saja saat Pa Eko Prasetyo salah seorang pengisi pelatihan memberi tugas menulis. Bingung? Iya. Bagaimana tidak, sehari-hari aku menulis tak lebih dari lima menit untuk sekedar memutakhirkan status facebook. Kali ini aku harus menulis selama dua puluh menit.

Jari terasa berat menyentuh huruf-huruf dalam keyboard di telepon genggam. Ingin rasanya bertopang dagu sembari melihat para peserta lain yang tengah berasyik masyuk dengan laptop. Ah, lupa membawa laptop bisa saja menjadi alasan untuk diam. Namun, untuk apa aku mengikuti pelatihan kalau tak hasilkan barang satu saja tulisan.

Pelatihan ini bukan kali pertama aku ikuti. Tiga pelitihan sejenis telah aku ikuti sebelumnya dengan penyelenggara berbeda. Tak terhitung jumlah penulis yang memberikan motivasi. Hasilnya hanya membuat semangat menyala di hari H kemudian perlahan meredup bahkan hampir sirna. Judul buku Pa Muhammad Ihsan “ Guru Mati Meninggalkan Buku”, bagaimanapun telah mengusik hati terdalamku. Kali ini aku tak boleh mengelak! Aku harus menulis!!!

Sebuah tulisan akhirnya bisa aku setorkan. Pak Eko menyadarkan bahwa aku ternyata bisa membuat tulisan. “Iya juga” hatiku membenarkan. Aku kan punya tangan.

Pak Eko tak hanya memberi semangat namun juga mengaduk-aduk perasaan. Ada rasa bangga menyelinap karena telah berhasil menulis meski sederhana. Namun kekesalan juga berkecamuk dalam dada. Bukan karena sakit hati tentunya. Gaya Sang Penulis sekaligus Editor ulung itu mengoreksi tulisan justeru menghangatkan hati. Lugas, tegas, sedikit pedas namun tetap santun. Aku kesal. Mengapa aku tak mulai menulis sejak dulu. Nulis apa? Apa saja. Bukankah pertanyaan tersebut nyatanya bisa juga menjadi ide sebuah tulisan?

Cisarua Bandung Barat, 20 Februari 2017