Nurul Hidayah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

super

Sayup-sayup terdengar music yang mengalun. Beberapa wali murid berbondong-bondong menuju aula yang terletak di belakang ruang guru. Satpam sibuk mengarahkan mereka yang baru memasuki gerbang untuk memarkir kendaraan mereka di tempat yang telah ditentukan. Panitia hilir mudik menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan demi suksesnya acara ini.

Ya, hari ini adalah momen pelepasan siswa kelas XII. Acara yang sangat sederhana dibandingkan dengan acara sejenis pada tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada pemandangan para siswa putri berdandan cantik dengan beraneka ragam model kebaya terkini. Tak terlihat pula siswa putra yang tampil rapi dengan balutan jas yang elegan. Bertempat di gedung yang megah dengan hiasan yang dirancang dengan seksama. Bermacam hiburan yang disuguhkan sebagai bukti kreasi para siswa selama mereka menempuh pendidikan di perguruan ini.

“Mom.....Mom....!” tiba-tiba ada yang memanggilku. Aku mendongak mencari asal suara tersebut.

“Mom..... makasih ya atas bimbingannya. Alhamdulillah saya diterima di STAN.” Fani, si empunya suara berlari mendekatiku.

Fani, anak yang di kelas tidak begitu moncer prestasinya. Dia yang kemarin tertunduk lesu ketika sadar bahwa dia gagal dalam SNMPTN. Meskipun tidak begitu bersinar tapi dia anak yang tekun dan teguh memegang prinsip. Nilai bukan segalanya bagi dia..Belajar dengan keras dan kejujuran selalu dia kedepankan. Kadang nilainya kalah bagus dibandingkan dengan teman lainnya. Sering pula dia harus berdebat dengan bapak ibu guru bila dia tidak puas dengan jawaban yang mereka berikan.

“Saya juga Mom, terima kasih atas bantuannya. Saya ini masih bingung kondisinya.” Aldian menyela.

“Lha kenapa kok bingung, khan kamu juga diterima di STAN, Al?”

“Saya bingung, kok bisa ya saya bisa diterima, rasanya masih gak percaya Mom.”

“Alaaaahhh....Kamu ini nggayaa! Tapi Kamu seneng khan!”

“Ya iya lah Mom.” serunya girang.

Aldian dan Fani memang bersahabat. Mereka duduk di bangku yang sama dan mempunyai prinsip yang hampir sama pula. Mereka akrab denganku karena di antara teman-temannya, merekalah yang paling rajin membawakan masalah dengan setumpuk soal-soal TOEFL yang harus dipecahkan.

Pengeras suara menyerukan para wali kelas XII untuk masuk ke aula. Acara akan segera dimulai. Aku beranjak dari tempat duduk di dekat taman itu. Benar saja, rekan wali kelas lainnya sudah mengambil tempat. Untuk mengisi waktu, beberapa siswa kelas X dan XI bergantian bernyanyi dengan diiringi musik electoon. Guru-guru yang berkenan juga diminta untuk menyumbangkan suara emasnya.

Aku yang tidak bisa bernyanyi, langsung nyelonong masuk, mengambil tempat strategis agar bisa mengamati segala polah tingkah orang-orang disekitarku. Kulihat para wali murid duduk dengan sabar menunggu. Beberapa dari mereka terlihat manggut-manggut menikmati alunan musik. Sejenak mereka lupa akan urusan yang ada di rumah, di sawah, di pasar atau di jalan-jalan berdebu di mana mereka sering berpacu dengan waktu.

Sesosok wanita dengan penampilan sangat sederhana menarik perhatianku. Dia duduk di barisan belakang dekat pintu.Sesekali tatapannya tertuju ke panggung . Namun pandangannya lebih sering mengarah ke luar pintu, gelisah. Aku kenal dia sebagai ibu dari salah satu anak perwalianku.

Setelah pembukaan yang disambung dengan sambutan dari Kepala Sekolah, perwakilan siswa kelas XII dan terakhir dari ketua Komite Sekolah, acara ditutup dengan do’a. Tidak ada acara salam-salaman apalagi hiburan untuk meriahkan keadaan. Sungguh super sederhana.

Aku hendak meninggalkan Aula menuju ruang guru ketika ibu yang duduk di belakang dekat pintu mendekatiku.

“Bu Nurul nggih?” tanyanya takut salah.

“Iya. Ada yang bisa saya bantu Bu?”

Kupersilakan ibu tadi untuk duduk disebelahku.

Dengan terbata-bata dan sambil meremas sapu tangannya yang kumal dia mulai bicara.

“Begini Bu. Anak saya tanggungan pembayarannya masih banyak sekali dan saya belum bisa melunasinya.”

“Eee...seingat saya, putri panjenengan khan mendapat beasiswa BKSM nggih?”

“Iya Bu, tapi uangnya sudah terlanjur habis untuk keperluan rumah. Maklum Bu, bapaknya anak-anak tidak bisa bekerja karena Asmanya sering kambuh.”

Aku menghela nafas dalam-dalam. Tidak sengaja mataku tertuju pada sandal jepit lusuh yang dipakai si ibu. Kakinya bergerak-gerak dan menekan-nekan sandal jepit itu seakan menunjukkan suasana hatinya yang resah.

“Tapi ini saya ada bawa sedikit uang.”

“Tanggungan Njenengan apa saja, kalau boleh saya tahu?”

Si ibu menyebutkan tanggungan yang harus dilunasinya. Total keseluruhan ada satu juta tujuh ratus limapuluh ribu rupiah.

“Dan ini saya mau nyicil.” sambil dia keluarkan gulungan kertas yang isinya beberapa uang kertas sepuluh ribuan, lima ribuan, dua ribuan serta beberapa koin seribuan.

“Ini seluruhnya seratus enam puluh lima ribu, ma’af Bu, recehan.” katanya malu-malu.

“Ndak apa-apa Bu. Nanti saya akan matur Bu Kepala Sekolah.” Aku tidak bisa berkata banyak. Pemandangan di depanku cukup membuat hatiku trenyuh. Entah dari mana asal uang tersebut. Mungkin dari celengan yang dipecahkan atau hasil pinjaman dari beberapa orang. Aku mencoba mengalihkan topic pembicaraan

“Rencana putrinya kemana Bu?”

“Sebenarnya dia kepingin kuliah, seperti teman-temannya Bu. Tapi melihat kondisi orang tuanya seperti ini, dia jadi tahu diri. Lha wong untuk makan sehari-hari saja masih harus nyari-nyari. Alhamdulillah sekarang dia sudah diterima kerja jadi penjaga toko, lumayan bisa bantu saya.” kusimak penuturan itu dengan seksama

“Dia masih punya adik dua ditambah kondisi bapaknya seperti itu, sementara saya sendiri hanya mengandalkan upah dari kerja tandur matun di sawah kepunyaan tetangga.Itupun kalo pas ada yang nyuruh.”

Aku jadi teringat apa yang dituturkan tetanggaku yang seorang petani.Bahwa kegiatan tandur matun di sawah dilaksanakan secara berkala. Jadi bila musim tanam selesai dan tinggal menunggu musim panen, maka kegiatan tandur matun untuk sementara juga berhenti.Masa tunggu menjelang panen itulah masa paceklik bagi para buruh tandur matun.

“Tapi alhamdulillah, anak saya akhirnya bisa sampai lulus SMA.Tadinya setelah SMP, dia maunya langsung cari kerja. Tapi setelah saya kasih pengertian, dan saya berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk mencarikan biaya , akhirnya dia mau.” Sekali lagi aku terkesan dengan kegigihan ibu ini.

Akhirnya ibu tadi pamit undur diri. Sekilas kupandangi wajahnya yang agak gelap karena terlalu lama terpapar matahari. Ketika berjabat tangan, terasa kasar telapak tangannya. Lengannya kecil tapi kokoh. Tubuhnya yang mungil harus tetap kuat agar bisa menopang kehidupan suami dan anak-anaknya. Sungguh perjuangan seorang ibu yang tak kenal menyerah.

Aku merenung sejenak. Andai acara pelepasan dibuat gegap gempita dan di tempatkan di gedung nan megah. Apa sanggup ibu tadi mengusahakan biaya untuk menyewa baju kebaya bagi putrinya. Belum lagi harus pergi ke salon yang juga membutuhkan ongkos yang tidak sedikit.

Nasib ibu tadi merupakan salah satu potret kondisi wali murid yang kurang beruntung. Mungkin masih ada yang jauh lebih parah dari itu.Maka kegiatan pelepasan siswa kelas XII yang terkesan super sederhana ini merupakan keputusan yang sungguh super bijaksana.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terenyuh bacanya Bu Nurul.

17 May
Balas



search

New Post