Nurul Hidayani

An English teacher at SD Negeri 1 Percontohan Karang Baru, Aceh Tamiang. A teacher and a learner 😊...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dua Ratus Ribu loh (2) - Day 20

Seperti pagi-pagi yang lain, aku selalu berbelanja sayur mayur ke warung bang Oni. Warung ini menjadi warung favorit ibu-ibu di sekitar lingkungan tempat tinggal ku. Tidak hanya lengkap, namun juga murah. Warung ini juga menjadi favorit berkumpulnya para ratu gosip di lingkungan ku. Kalau tak berhati-hati menjaga sikap, bisa-bisa aku yang jadi bahan gosip. Duh.

Untuk menghindari hal itu, aku selalu mengatur waktu berbelanja. Biasanya para penggosip itu berkumpul dan berbelanja di warung sekitar pukul 7 pagi. Mungkin butuh waktu sekitar satu jam bagi mereka untuk berada di warung. Sehingga, aku selalu ke warung itu sekitar pukul 9 pagi.

Namun berbeda dengan hari ini. Pukul 9 pagi aku menginjakkan kaki ke warung bang Oni. Tapi kulihat ibu-ibu disana masih ramai. Kasak kusuk aku mendengar perbincangan mereka. Tak perlu mencuri dengar, karena suara mereka cukup keras sehingga mudah bagi siapa saja di warung untuk ikut menikmati obrolan mereka.

"Berapa Bu, bunga kayak gitu. Cantiknya". Bu Suri terlihat bertanya kepada Bu Dena sambil jari telunjuknya menunjuk hp Bu Dena.

"Dua ratus ribu loh Bu. Nanti sore kita mampir yuk" Bu Ratih menjawab pertanyaan Bu Suri.

"Mahalnya Bu. Apa rata-rata bunga yang ibu beli harganya segitu." Tanya Bu Suri lagi.

Bu Dena yang sedang ditanya malah senyum senyum saja. Beberapa detik kemudian matanya menangkap kehadiran ku. Lalu dengan cepat ia pun bereaksi.

"Tapi ini loh, Bu As juga punya bunga bagus loh ibu-ibu. Ya kan Bu As. Merah warnanya. Bagus sekali, sudah tak lirik kemarin" kata Bu Dena.

"Beli juga toh Bu? Wah, saingan antar tetangga kayaknya ini ya" kata Bu Ratih seraya tertawa.

"Enggak beli Bu. Itu dari rumah emak. Emak bilang bawa aja. Lagipula bunganya biasa aja kok Bu". Kataku berusaha menyelamatkan diri.

"Kalau enggak beli, berarti aku boleh minta ya anakannya?" Pinta Bu Dena. Pertanyaan nya sungguh tidak ku duga. Mungkin memang dia sudah jatuh cinta dengan si cantik merahku hingga memikirkan cara untuk meminta nya.

"Boleh Bu. Nanti kalau sudah rimbun, saya beri anakannya" kataku seraya meninggalkan mereka untuk membayar belanjaan ku pada bang Oni.

Ku percepat langkahku untuk sampai di rumah. Mata ku langsung mengawasi bunga merahku. Huh, gara-gara kamu, aku jadi kerepotan. Pikirku.

***

Keesokan harinya, aku kembali berbelanja di warung bang Oni. Si adek minta dibuatkan bakwan jagung sore ini dan aku mengiyakannya.

Dari kejauhan sudah kulihat para ibu-ibu itu berkumpul. Duh, kok mereka ngumpul lagi sih. Ada apa lagi sebenarnya. Biasa jam segini udah pada pulang. Gerutuku dalam hati sambil melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan ku, hadiah ulang tahunku yang ke 32 dari suamiku tercinta.

"Kok bisa sih Bu. Ibu apa gak dengar suara - suara aneh" tanya Bu Ratih kepada Bu Dena.

"Lah tadi malam kan hujan. Deres lagi. Mana dengar suara apapun" jawab Bu Dena.

"Laporin ke polisi aja Bu" saran Bu Suri.

"Bunga satu pot hilang masa lapor polisi. Buang energi Bu" Bu Endah menyeletuk sambil tertawa.

"Berarti mulai sekarang, bunga-bunga harus dimasukkan ke dalam rumah kalau malam. Banyak maling bunga berkeliaran" Bu Ratih mencoba memberi solusi.

"Capek bener dong Bu Dena. Secara bunganya mahal-mahal dan bagus-bagus. Malam dimasukin, pagi dikeluarin. Ah ribet bener" Bu Suri menyela.

Bu Dena hanya terlihat diam saja. Tak ada senyum dan gairah semangat dari wajahnya seperti yang kemarin ku lihat. Mungkin ia amat kecewa dengan si maling yang begitu tega mencuri bunga dua ratus ribu miliknya.

Setelah memilih barang -barang yang kubutuhkan, aku pun menyerahkan pembayaran kepada bang Oni lalu bergegas keluar dari warung itu. Aku benar-benar tidak suka banyak bicara disana. Cucianku sudah menanti di rumah untuk ku garap.

Aku berjalan perlahan menuju rumah. Jarak warung bang Oni tidak begitu jauh. Hanya 200 meter. Masih bisa kutempuh dengan berjalan kaki. Sinar matahari terik sekali pagi ini, sinarnya terasa menembus kelopak mataku.

Aku merasa agak pitam, pandanganku tidak begitu jelas, seperti ada merah -merah di mataku. Aku pun memasuki halaman rumah ku dengan santai. Namun tak kutangkap bayangan bunga merah yang ku jajarkan di terasku. Kemana dia? Siapa yang memindahkan nya?

Hanya aku, suamiku dan anakku si adek yang tinggal di rumahku. Si kakak sedang menimba ilmu di pesantren. Si adek dan suamiku sudah berangkat sejak jam tujuh tadi, dan aku masih menyiram bunga ku itu saat itu.

Gawat, jangan jangan bungaku juga turut dicuri. Tapi kapan?

Ternyata setelah ku cari, memang tidak ada. Duh, akhir nya maling bunga mampir juga ke halaman ku.

Tamat

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post