Dua Ratus Ribu loh (1) - Day 19
Aku terus menggaruk tangan dan kaki ku. Duh, hebat betul ini nyamuk kebon, serangan mereka yang bertubi-tubi membuatku benar-benar kepayahan. Hal yang sama kulihat pada bang Apri. Dia terus saja menggaruk lengannya yang tampak memerah. Tapi semua "kegatalan" ini terbayar dengan si merah yang cantik yang ku temukan di hutan bersama bang Apri tadi. Katanya si cantik ini lagi ngetrend. Aglonema namanya. Jenisnya apa, jangan tanyakan karena aku pun tak tahu.
Lantas mengapa aku dan bang Apri rela menyusuri hutan belakang rumah emakku hanya untuk si merah ini? Yah, ini kebetulan saja. Saat jalan pulang dari ziarah makam kakek dan bapakku, muncul ide untuk mencari bunga. Yah, kali saja ketemu. Eh, beneran ketemu. Dan bang Apri juga tumben mau diajakin berburu bunga di hutan.
Makam keluarga ku memang sebagian ada yang di hutan. Tanah itu, merupakan warisan dari leluhur kami, dan ada beberapa orang keluarga dekatku yang dimakamkan disana. Namun kini, tidak ada lagi yang dimakamkan disana, semua sudah terpusat ke pemakaman umum.
Akses ke pemakaman keluarga ini juga sudah lebih mudah dijangkau. Dahulu, cuma ada satu jalan menuju kesana. Yaitu dari gang belakang masjid, ikut jalan setapak. Sepi, sunyi dan kami pernah tersasar saat aku kecil. Namun keadaan jauh berbeda sekarang. Meski sebagian besar masih hutan, namun akses jalan sudah bagus, bahkan sudah banyak rumah penduduk dan ladang-ladang di sekitar area pemakaman. Sehingga tidak terlalu sulit menjangkau wilayah ini.
Aku sebenarnya bukan hobi sekali pada bunga. Namun, kata emak, di hutan ini masih ada bunga-bunga hutan yang cantik. Asal mau saja memburunya. Dan benar, bunga buruan kami, sungguh cantik sekali.
Bang Apri segera memasukkan bunga ke dalam polibag yang diberikan emak. Emak penasaran bagaimana cara kami membawanya ke rumah hanya dengan sepeda motor. Belum lagi membawa titipan emak buat si adek di rumah. Beberapa buah durian di dalam karung kecil. Tapi setelah disetting sedemikian rupa, akhirnya aku kebagian memegang polibag si cantik, dan bang Apri membawa karung berisi durian. Untung motor matic.
Perjalanan dari rumah emak ke rumah ku tidak begitu jauh. Jika ditempuh naik sepeda motor dengan kecepatan sedang, paling 45 menit sudah sampai. Tapi karena aku membopong polibag berisi si merah cantik ini, rasanya cukup pegal juga. Belum lagi nyeri dan gatal karena gigitan nyamuk kebon tadi. Duh, perjuangan sekali sepertinya ya.
Akhirnya motor kami memasuki halaman rumah. Si adek segera berlari menghampiriku yang sedang kepayahan turun dari motor sambil menenteng tas dan polibag.
"Bun, bunda beli bunga ya? Ih katanya males beli bunga, buang-buang uang. Ini kok beli Bun?". Tanya si adek sambil memperhatikan bunga yang ku letakkan di lantai.
Belum sempat aku menjawab, si adek sudah beralih pandangan, sekarang ia menyasar bau harum dari karung yang diturunkan ayahnya. "Durian ya yah. Horeee durian. " Katanya kegirangan.
Ekor mataku menangkap sepasang mata yang diam diam sedang memperhatikan kami. Siapa lagi jika bukan tetangga ku tersayang, Bu Dena. Aku yakin, matanya pasti langsung menyambar si cantik merah dalam polibag lusuh yang ku bawa dari hutan tadi. Karena di lingkungan ini, beliau terkenal yang bunganya paling banyak dan paling rajin beli bunga.
***
Setelah sholat ashar, aku hendak memindahkan si merah cantikku dari polibag lusuh ke pot bunga yang baru dibeli bang Apri tadi. Duh, suamiku, dapat inisiatif dari mana dia sampai kepikiran untuk membelikan aku pot bunga. Tapi syukurlah, aku tinggal memindahkan bunga yang kami buru di hutan kemarin ke dalam pot putih berbentuk bundar ini.
"Cantik ya Bu As, bunganya. Beli dimana Bu? Berapaan kayak gitu Bu ?" Tiba-tiba sesosok wanita paruh baya memberondong ku dengan pertanyaan dibalik pagar. Pagar rumah kami memang tidak tinggi sehingga tidak perlu saling mengunjungi jika hanya ingin ngobrol.
"Oh, ini. Ini dari emak. Kemarin kesana Bu" jawabku ringkas. "Bagus ya Bu. Emang emaknya banyak bunga ya Bu?" Tanyanya lagi.
"Enggak Bu. Cuma beberapa". Aku Sengaja tidak menjawab lebih detail pertanyaan Bu Dena. Suamiku sudah berpesan jangan terlalu sering mengobrol dengannya. Karena di lingkungan ini semua sudah pada tahu watak tetanggaku ini.
***
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar