Cinta Untuk Nia - Day 2
Kejadian Meja Makan
"Lagi, lagi dan lagi" Nia membatin.
Dadanya masih bergemuruh, hatinya masih tak tenang, pikirannya terus mengingat kata-kata ibunya tadi. Ia marah. Ia ingin membela diri. Ia ingin protes. Tapi tak bisa. Ia tak mampu. Ia tak kuat. Ia tak berani. Dan yang pasti, tak ada satu pun yang bersedia mendengarkannya.
Tiba-tiba memori menuntunnya kembali ke masa kecilnya yang kelam. Yang sama kelamnya dengan masa mudanya saat ini. Saat itu, ia masih bocah kelas 5 SD. Yang sangat senang dengan menu makan malam ayam goreng sambal kecap. Sederhana, tapi ia amat menyukainya.
Saat itu semua berkumpul. Ia, kedua kakak perempuannya, seorang adik lelakinya, seorang adik perempuannya, lalu ibu dan ayahnya. Mereka duduk mengitari meja makan. Piring, sendok terdengar beradu, ditambah celoteh-celoteh keluarga itu. Bercerita ini dan itu. Tetapi, hanya dia, hanya Nia yang diam. Ia tampak tekun menyuapkan nasi ke mulutnya, dan dengan mata berbinar, ia terus memandangi ayam goreng miliknya. "Yang paling nikmat, dimakan paling akhir" itu prinsipnya.
Tetapi tiba-tiba, Riska, adiknya yang paling bontot, mengambil ayam itu dari piringnya. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung memasukkannya ke dalam mulutnya, mengunyahnya dengan nikmat.
Nia, yang biasanya selalu diam saat dijahili saudaranya, kini, entah karena apa, ia pun spontan mengambil kembali ayam itu dengan gerakan cepat sambil berkata "Ini ayam kak Nia. Kenapa Riska ambil. Riska sudah makan dua potong".
Riska yang terkejut langsung menangis keras dan tangisannya terdengar sangat menjengkelkan. Ibu yang sedang makan pun terusik. "Ada apa kamu Nia? Tidak bisa mengalah sedikit dengan adikmu?" Ia bertanya dengan pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban sama sekali. Tangannya mengusap kepala anak bontotnya sambil memeluknya.
Tetapi Nia, justru salah langkah saat itu. Ia malah menjawab pertanyaan retorika Ibunya. "Nia juga pingin makan Bu. Riska sudah dapat dua. Kenapa ambil punya Nia. Riska harus belajar sopan santun."
Ternyata, jawaban Nia itu amatlah menyulutkan amarah ibunya. Dengan spontan, ia melemparkan piring bekas makan Riska ke arah Nia sambil berkata "Jadi maksudmu aku tidak pernah mengajarinya sopan santun begitu? Lantas kau sudah sopan? Karena sepotong ayam pun kau ributkan."
Nia menangis. Hatinya amat sedih. Ia berpikir apakah ia benar-benar salah? Ia mendongak ke arah ayahnya. Ayahnya hanya diam. Seperti biasa, selalu diam. Tak pernah membelanya, tak pernah pula ikut menzoliminya. Tapi bukankah diamnya terhadap kezoliman itu juga merupakan bentuk lain dari kezoliman itu sendiri?
Entahlah. Nia ingin mengubur ingatan buruk itu. Namun ia tak pernah mampu. Setiap kali hal ini terjadi, ingatannya selalu menuntunnya kepada kejadian di meja makan malam itu.
Kini ia tidak menangis lagi. Bukan karena ia kuat, tegar atau terbiasa. Tapi justru ia sudah melewati kesedihan level puncak. Air matanya seakan membeku bertahun-tahun. Dan rasanya sungguh menyiksa.
Bibirnya bergetar, mengucapkan istighfar. Ia ingin segera tenang dan tidur. Untuk kemudian besok bangun dan segar kembali. Kejadian tadi pun akan segera sirna, karena dari semua luka, yang paling membekas hanyalah kejadian meja makan itu. Meskipun bertahun-tahun setelah itu, kejadian serupa selalu dan selalu terjadi. Sama seperti tadi, keributan di dapur.
Sepele, Yulia kakak keduanya sedang mengangkat mangkuk-mangkuk kaca. Ia hendak memindahkan mangkuk-mangkuk itu ke lemari piring yang baru. Padahal jelas Nia sudah mengingatkan untuk tidak menumpuknya, karena mangkuk itu lumayan berat. Namun Yulia terlalu malas untuk mengangkat mereka satu persatu. Ia pun menumpuknya.
Saat Yulia berjalan melewati meja makan tempat Nia sedang duduk, ia pun terpeleset. Seisi rumah kemudian heboh dengan suara mangkuk pecah yang begitu keras. Yulia pun ikut terjatuh. Namun ketika Ibu datang, Yulia langsung bangkit dan entah dirasuki setan apa, ia justru menarik rambut Nia, sambil mengatakan bahwa Nia sengaja menyenggolnya. Ia berdalih Nia dendam karena tak dipinjami sepeda motor Yulia.
Keduanya pun sempat saling menarik rambut sebelum teriakan ibu menggelegar, membuat suasana hening. Ibu, seperti sebelum dan sebelumnya, langsung memarahi Nia, dengan sumpah serapahnya. Tak pernah ia bertanya bagaimana sebenarnya situasinya. Ia tidak minta dibela, namun setidaknya, beradalah di tengah.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kasihan Nia, selalu disalahkan.
Ia pak. Kasihan Nia. Tapi Nia kuat karena ditempa.