Edelweis Merbabu
EDELWEIS MERBABU
#day323
05122020
Kami bersiap-siap dengan ransel di punggung berisi mie, telur dan minuman, sedikit obat-obatan, pakaian hangat, panco, kompor portable, dan topi. Perjalanan kali ini hanya 3 orang; saya, Anik, dan Dik Ana. Kami bersiap di pinggir jalan Kaliurang kilometer 5 untuk menunggu bus antarkota yang akan mengantar kami ke Magelang. Perjalanan hanya satu jam kami tiba di terminal bus Magelang. Kami meneruskan perjalanan dengan angkutan desa ke arah Salatiga, tapi kami akan turun di kaki Merbabu di Kopeng.
Setengah jam saja kami terguncang di atas angkutan yang sesak dengan ibu-ibu bakul yang akan menuju pasar Kopeng. Kami turun di jalan tanah dekat pemandian Srilabuh. Rencananya kami akan transit di rumah Dek Sri, yang memang tinggal di dusun Krasak di kaki Merbabu. Rute mendaki Merbabu lewat dusun ini memang disukai para pendaki pemula karena medannya cukup mudah. Niat kami berjalan kaki menuju rumah Dek Sri sepertinya tidak jadi setelah kami melihat ada truk pengangkut sapi perah yang akan akan naik. Memang ada satu sapi di atas truk. Namun hal itu tidak menghalangi niat kami untuk nunut.
“Nderek Pak, pareng?” tanya saya ke pak sopir.
“Monggo...” Pak sopir menjawab sambil menghentikan truknya.
“Saget Minggah?” tanya pak sopir sambil melihat dari kaca spion. Mungkin dia ragu apakah kami dapat memanjat truk ini. Saya harus meyakinkan sopir ini bahwa kami tidak perlu pertolongan untuk naik.
“Saget Pak.” Hampir bersamaan kami menjawab dengan meyakinkan. Secara baru pertama ini saya naik truk, campur sapi pula. Tapi memang perjalanan ini diawali dengan kenekatan. Menjajal kemudaan untuk sekadar mencari sensasi mendaki gunung yang konon meningkatkan kekuatan, kepercayaan diri dan kesaktian. Haha.
Anik yang pernah ke rumah Dek Sri, karena dulu adik kelasnya di SMU. Saya hanya diberi cerita tentang Dek Sri dan belum pernah bertemu. Truk berhenti setelah Anik sedikit berteriak “stop Pak”. Kami melompat turun truk dan memasuki halaman rumah yang penuh dengan tanaman bunga khas dataran tinggi. Kami disambut wanita manis di depan rumah yang duduk di kursi roda.
“Assalamualaikum, Dek Sri..” Anik menyapa dan disambut senyuman yang manis.
“Waalaikum salam...Mbak Anik, kok nggak ngabari dulu...” sedikit kaget wanita yang dipanggil Dek Sri melihat kedatangan kami.
“Ben kejutan tho...” sahut Anik. “Aku bawa teman, nih kenalkan, Nurul dan Ana.”
Saya mendekati dan menyalaminya diikuti Ani. Dek Sri ini penyandang disabilitas ternyata. Kakinya lumpuh dari lahir dan ada cacat di jari tangan. Sehari-hari dihabiskan di kursi roda. Namun di balik kekurangan fisiknya, wajahnya manis dan cantik, kulitnya putih bersih, dan dia cerdas. Terbukti dia kuliah di fakultas Psikologi UNS semester tiga dan mendapat beasiswa. Beruntung liburan ini dia pulang, biasanya masa libur ini dia tetap ngampus. Banyak kegiatan yang dilakukannya. Sang Bapak yang bekerja di Solo yang selalu mendampingi dan membantunya. Namun mendengar sedikit cerita tentangnya, menurut saya, dia termasuk mandiri dan dapat mengatasi sendiri kekurangannya. Saya salut.
Kali ini Dek Sri dan ibunya menyuguhi kami pisang goreng yang masih panas dan wedang jahe. Sungguh perpaduan yang pas di tengah udara gunung yang dingin meski siang hari gini. Kami akan menunggu malam di sini, karena kami akan naik sekitar pukul sembilan malam. Dek Sri cukup kenes dan memberi kami cerita lucu. Dia riang dan sesekali memberi kami tebakan yang cerdas. Kami tertawa akrab.
Seakan mengerti kalau kami lapar, sesudah maghrib ibu Dek Sri mempersilakan kami makan dengan menu yang menggiurkan. Nasi dengan sayur lodeh dan ikan asin goreng serta sambel pete. Bayangkan, sambel pete itu menari-nari di pelupuk mata, membuat saya menelan ludah berkali-kali ingin segera mencicipi. Segera kami tenggelam dengan menu ini.
Pukul sembilan kami bersiap untuk perjalanan malam naik Merbabu. Kostum dan peralatanku serba biru, Anik merah dan Ana abu-abu. Setelah pamit ke orang tua Dek Sri, kami berangkat. Topi segera kami kenakan untuk menghindari bahaya ular dari bagian atas. Gula merah potongan kecil siap di saku untuk penambah energi di perjalanan. Di tangan masing-masing siap dengan senter untuk menerangi jalan. perjalanan ini kedua bagi saya dan entah berapa kali bagi Anik. Dia kami angkat sebagai leader kali ini.
Menyusuri jalan setapak di kaki gunung, pertama kami lalui sebelum kami memasuki hutan. Beberapa saat lagi kami akan memasuki hutan dengan pohonan menjulang belasan meter. Ternyata kelompok kecil kami tidak sendiri. Ada beberapa kelompok kecil pendaki yang kami temui. Salam rimba dan bertegur sapa menjadi kewajiban yang menyebabkan kita langsung akrab. Bersamaan dengan kami yang sudah mulai masuk hutan, dari arah lain ada ada kelompok kecil pendaki lain yang tampaknya akan mengambil jalur yang sama. Tak ada salahnya beriringan. Kita bergabung begitu saja. Perjalanan masuk hutan baru akan dimulai, ketika tiba-tiba kaki saya kram. Terpaksa kami berhenti sebentar. Teman-teman baru kami juga ikut berhenti.
“Ada masalah?” tanya salah satu orang di antara mereka.
“Iya, kaki saya kram.” Saya menyahut.
“Duduk Mbak, selonjorkan kakinya.”
Dia menurunkan ranselnya, membuka dan mengambil botol kecil.
“Maaf Mbak, saya bantu yaa. Minyak gosok ini mungkin bisa membantu.” Saya mempersilakan. Anik menolong membukakan sepatu dan kaus kaki saya. Dia menggosokkan minyak di telapak dan pergelangan kaki saya. Cukup cepat reaksinya. Kram saya berkurang bahkan beberapa saat hilang. Sepertinya otot kaki saya lebih ringan dan tidak kaku. Mumpung gratis saya minta sekalian untuk kaki yang sebelah.
“Boleh.” katanya.
“Wah, njaluk imbuh.” Anik merasa sungkan. Saya cuma bisa nyengir, antara malu dan minta pemakluman. Saya yakin, langkah kaki saya akan ringan setelah disupport minyak gosok pemberian teman baru ini
“Tak apa Mbak, senang bisa membantu. Saya selalu siap dengan minyak gosok ini setiap mendaki. Tidak hanya untuk terkilir atau kram, juga manjur untuk mengatasi gigitan serangga atau luka bakar.”
“Terima kasih Mas, kalau boleh saya foto botolnya besok pagi. Kapan-kapan saya beli untuk persediaan.”
“Boleh Mbak. Kalau sudah kuat, mari kita lanjutkan perjalanan. Kalau lancar pukul tiga kita akan sampai di puncak.”
Tampaknya mereka bukan kelompok pemula. Ternyata iya. Mereka semacam guide yang beredar di sekitar Merbabu untuk memandu para pendaki, terlebih yang naik dengan tujuan rekreasi tapi belum berpengalaman. Beruntung mereka lewat jalur yang kami lewati, jadi semacam dikawal.
Lepas hutan berarti kita sudah di ketinggian. Sekarang yang dilalui tinggal perdu dan bebatuan. Langit sudah terpampang nyata seluas mata memandang. Mulai tampak hutan yang kita lewati menjelma permadani hitam yang sebentar lagi berubah warna hijau. Tampak kita berdampingan dengan awan tipis yang sebentar lagi menyingkir karena bulan lebih kuasa. Ya Malam ini purnama. Sempurna untuk hasrat yang mencari kekuatan, kepercayaan diri dan kesaktian. Puncak Merbabu ini tak berkawah dan hanya seluas lapangan bola. Saya bermain dengan hati. Menendang jauh-jauh kecongkakan dan membenamkannya ke dalam permadani hutan. Lalu saya duduk di pinggir lapangan sambil memetik edelweis dan membawanya pulang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar