IRONI, PIRANTI BAHASA PEMEKA RASA
IRONI, PIRANTI BAHASA PEMEKA RASA
#day384
27102020
Pada puisi Ganda Cipta berjudul ‘Kita yang Merumahkan Cemas’ yang di muat di harian Jawa Pos, 18 Oktober 2020 lirik-liriknya bermuatan hal yang ironis. //Duka kita, duka yang penuh gejolak Sophia// Lihatlah/ orang-orang yang merumahkan cemas/ tapi kata berhamburan ke mana-mana// Korona! Korona! Aku terpana//Korona! Korona! Dunia merana// Dari balkon/ pada hari yang lain/ kita saksikan seorang lelaki bermain saksofon/ tanpa bayar/ tapi terasa mahal// lalu jarak jadi bikin sadar// Setiap tatapan kita tak lagi sekadar rindu,/ sayang,/ Begitu ujarmu//
Puisi di atas memaparkan sebuah kondisi yang sedang kita alami. Masa pandemi ini merupakan duka bagi dunia. Dunia jadi merana. Yang merngherankan, yang membuat terpana, meski semua percaya pandemi ini membuat cemas siapa pun dan ketakutan akan terjangkiti virus ini, ada perasaan tenang dan terhibur dengan sajian mahal pemain saksofon. Sepertinya memang mereka sedang melakukan aktivitas imunisasi. Mereka mengebalkan bodi dengan meningkatkan aktivitas yang menyenangkan. Karena selama ini dalam teori yang kita baca, hormon dopamin yang bisa meningkatkan imun tubuh itu bisa muncul dengan melakukan aktivitas yang menyenangkan dan menghibur seperti menikmati permainan musik.
Perkara di atas mungkin tidak berdampak serius namun juga bukan hal yang bisa dianggap bercanda. Mereka yang terlanjur cemas merasa harus waspada. Kecemasan akan menurunkan tingkat keimunan. Sebagian orang yang mengaku cemas, akhirnya berdiam saja di rumah sambil meningkatkan imunitas tubuh. Dalam puisi ini, yang terjadi adalah hal-hal sebaliknya. Hal-hal tersebut termasuk ironi. Meski banyak orang melakukan hal yang benar, tak jarang ada juga yang menantang keadaan. Ia merasa sehat dan tak perlu cemas. Ia meletakkan rasa cemasnya di rumah. Ia tetap melakukan aktivitas sebagaimana sebelum pandemi terjadi. Tetap beraktivitas ke mana-mana dan seakan tidak peduli bahwa ia bisa menulari orang lain.
Di mana letak keironian yang lain pada baris puisi di atas? Pada puisi yang saya kutip sebelumnya, pengarang mungkin saja ingin mengemukakan hal sebaliknya. Bisa jadi ada maksud protes dalam baris puisi yang disuguhkan. ‘Meletakkan cemas di rumah’ memang sengaja dilakukan. Jalan-jalan dan beraktivitas ke mana-mana juga mungkin dimaksudkan sebagai bentuk protes dan sengaja dilakukan. Masyarakat dipaksa berdiam di rumah namun di luar, hal-hal besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak sedang ‘disembunyikan lalu dikebiri bahkan dihilangkan.’ Ini ironis yang bikin miris. Ternyata ironi bisa dipakai untuk menandai kemirisan yang kita rasakan, menandai kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi.
Ironi yang kita temui dalam komunikasi dan kenyataan sehari-hari atau ironi sebagai piranti bahasa dalam puisi adalah jembatan untuk mengutarakan sesuatu dengan kelembutan rasa, menjauhi ketersinggungan, menyuarakan protes dan hal-hal yang membuat miris dengan pernyataan yang elegan dan menjauhi kekasaran berbahasa. Bila hal ini menjadi kebiasaan, secara tidak sadar kita telah membangun kepekaan rasa dan kesantunan berbahasa. Semoga selalu melekat pada kita bangsa Indonesia untuk tetap santun berbahasa, karena dari bahasalah yang dapat menunjukkan jati diri bangsa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar