Ketukan Polpen
KETUKAN POLPEN
#day330
12122020
Murid difabel itu istimewa. Menerima mereka juga keistimewaan. Sekolahku salah satu yang menerimanya. Imam, penyandang tuna netra yang lulus dari SMPLB, meneruskan di SMU umum karena dianggap dapat bergabung dengan teman-teman yang normal. Ia anak yang ramah dan aktif. Sebentar saja banyak memiliki teman. Keistimewaannya menarik perhatian warga sekolah. Karena body languagenya yang percaya diri dan tidak minder, teman-teman seakan lupa ia tuna netra.
Hari ini kelas Imam ulangan harian. Semua menyiapkan kertas dan polpen. Tidak terkecuali Imam. Aku siap memdikte pertanyaan sebanyak lima nomor. Ruangan sepi sekejap, kecuali suara kethak-kethok dari meja Imam. Majalah bekas itu penuh lubang dari polpen paku milik Imam. Sebenarnya ketukan itu tidak terlalu nyaring kalau se-isi kelas masih bersuara. Sedang kali ini sedang ulangan. Soalnya didikte pula.
Ada yang menyeletuk, "Suaranya Mam, pelan-pelan ndak bisa tah?"
Imam berhenti sejenak dan menjawab, "Maafkan saya teman, saya mengganggu. Habis gimana lagi?" Suaranya memelas dan seperti meminta pengertian.
Teman lain yang sebenarnya tidak terganggu mendukungnya. "Kalau konsentrasi, ndak akan terganggu." suara Saddam yang duduk di sebelah Imam membela.
Kelas pun mengamini terlihat dari ekspresi wajah yang kurang suka celetukan miring pada Imam.
Kegalauan sesaat di kelas berpengaruh pada keceriaan Imam. Aku mendekati Imam yang duduk di bangkunya. Biasanya saat istirahat begini ia ikut ke kantin, njajan. Mungkin masih risau dengan celetukan temannya.
"Kok melamun Mam, nggak istirahat?" sapaku sebelum keluar kelas.
"Ndak Bu!" Ekspresinya sedih.
"Mungkin temanmu bercanda." Aku mencoba menafsirkan kesedihannya.
"Saya tidak ingin mengganggu teman Bu, biasanya kalau pelajaran biasa saya berhenti saja menulis, daripada mengganggu. Tapi ini ulangan."
Saya ingin menguatkannya tapi tidak ingin membuatnya cengeng.
"Kamu tahu, temanmu tadi banyak yang memaklumi dan tidak terganggu dengan keadaanmu. Jadi tidak perlu hilang ceriamu gara-gara hal ini. Memaklumi teman yang usil kepadamu itu lebih membahagiakan lho Imam. Teman-teman yang menerimamu lebih banyak kok."
Wajahnya berangsur ceria. Saya lega dan meninggalkannya setelah menepuk pundaknya.
Memperlakukannya sama dengan yang lain sangat dia harapkan. Namun bagaimana halnya dengan keterbatasan keadaan. Guru matematika pernah mengeluh kesulitan memberi penjelasan secara konkret tentang gambar dan rumus matematika. Guru sekolah umum tidak memiliki kapasitas mengajar siswa berkebutuhan khusus. Guru bahasa juga memiliki kesulitan ketika ada tugas menulis. Mungkin ada komputer braille, tapi sekolah kami tidak memiliki.
Untuk pembelajaran bahasa masih ada alternatif cara bagi Imam untuk menyelesaikan tugas menulis dengan cara meminta teman atau orang lain menuliskan idenya. Namun tentu itu cukup merepotkan. Hal ini membuat guru jadi galau. Solusi terburuk adalah memberi nilai sesuai KKM bagi Imam. Itu pun dengan pertimbangan kemanusiaan.
Sambil jalan ke ruang guru saya mengingat pendapat seorang widyaiswara tentang siswa inklusi. Beliau kurang setuju dengan kehadiran siswa inklusi karena termasuk mendholimi. Meskipun mereka bahagia bisa berbaur dengan kawan-kawan yang normal, nyatanya masih banyak kekurangan sekolah umum dalam melayaninya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
salam sukses selalu bunda
terima kasih Bunda