Nurul Ludfia Rochmah

Saya Nurul Ludfia Rochmah, guru MAN 1 Banyuwangi, yang sudah mengenal media guru sejaK MWC pertama di Batu Malang tahun 2017. Buku saya berjudul Kopi dan Karbit...

Selengkapnya
Navigasi Web

KOTAK PERHIASAN

KOTAK PERHIASAN

#day331

13122020

“Mad, ini harta ibu satu-satunya. kamu harus melanjutkan sekolah. Nanti kita jual untuk biayamu.” Bu Narti membuka kota perhiasan miliknya. Ahmad, anaknya yang baru lulus SMA memandangnya dengan perasaan bersalah.

“Bu, tidak perlu menjual perhiasan. Ahmad tahu diri. Kita bukan orang yang banyak harta. Karena itu Ahmad mau kerja saja. ”Perhiasan ini disimpan ibu saja, barangkali suatu saat dapat dipakai untuk hal yang lebih penting.” Ahmad menutup kembali kotak itu dan menyerahkan pada ibunya.

“Tapi Ibu ingin kamu jadi sarjana, jadi orang pintar, mudah mencari pekerjaan.”

“Iya Bu, tapi kita harus melihat keadaan. Biaya kuliah tidak hanya pada saat masuk saja, tapi biaya yang lain masih banyak. Sudahlah Bu, saya mencari pekerjaan dulu, nanti kalau sudah terkumpul, saya tabung untuk melanjutkan sekolah.”

Bu Narti single parent yang membesarkan Ahmad dengan mengandalkan pekerjaan di salon kecil miliknya. Untunglah Ahmad tumbuh menjadi anak yang nerimo dan tidak banyak menuntut. Sekolahnya pun terlambat dan baru di umur 21 dia lulus SMA.

Pagi sekali Ahmad bersiap-siap karena ini hari pertamanya bekerja sebagai pelayan di supermarket, yang ada di jalan besar. Modal bekerjanya adalah berpakaian seragam rapi, sikapnya harus ramah dan cekatan dalam melayani pembeli. Yang paling penting harus jujur. Bu Narti selalu berpesan agar anaknya selalu menjaga kepercayaan orang. Sekali lancung ke ujian, selamanya orang tidak akan percaya.

Siang itu antrean pembeli cukup banyak. Seorang pembeli di depan kasir terlihat marah-marah.

“Harga di rak kok beda dengan yang di kasir. Ini penipuan.”

“Maaf Pak, yang di rak belum diganti.” Ahmad menjawab sepengetahuannya.

“Tidak bisa seperti itu. Nggak bonafide! Kalau gitu saya nggak jadi beli.” Pembeli itu balik kanan sambil ngomel tidak jelas.

“Ya Pak, terima kasih.” begitu jawaban Ahmad meski mungkin pembeli itu tidak mendengar. Namun pembeli lainnya menyaksikannya.

Ketenangan Ahmad dalam menghadapi pembeli mendapat apresiasi dari pembeli yang lain. Ada yang memberi saran.

“Santai saja Mas, tapi memang benar sih, harusnya label harga itu segera diganti kalau memang ada perubahan harga.”

“Ya Pak. Terima kasih sarannya. Ahmad menghela nafas panjang. Baru kali ini dia merasa tegang berhadapan dengan orang yang emosi, dan dia harus menahan emosi. Sebenarnya dalam hati ada juga rasa kesal mendapati orang yang tiba-tiba ‘nyremprot’ berlebihan. Ah, anggap saja orang itu memang punya masalah pribadi sebelum datang ke supermarket ini. Atau ia sedang ribut dengan istrinya lalu dilampiaskan di sini. Atau anaknya suka berbuat onar sehingga memalukan orang tuanya atau hal yang lain. Berpikir demikian akan mengurangi rasa jengkel dan sakit hati.

Di Supermarket ini Ahmad berkawan baik dengan pegawai perempuan yang manis, Ani. Rupanya Ahmad menaruh hati pada Ani. Ia memiliki kulit sawo matang tapi bersih, berkerudung, dan memiliki alis yang tebal. Penampilannya kalem dan santun. Dari pertemanan biasa sampai suatu saat Ahmad menyatakan kesukaannya, semua berlangsung mengalir saja. Mereka sama-sama sedang mencari penghasilan, mencari bekal untuk menata masa depan.

Jatah shift siang sudah habis. Ahmad yang kebetulan satu shift dengan Ani berencana menghabiskan sore ini dengan jalan-jalan. Hal ini jarang mereka lakukan. Umur yang masih muda, bekerja di tempat yang sama, kemungkinan untuk bersenang-senang bersama sangat besar. Namun sore itu mereka membicarakan hal yang penting.

“Jadi bagaimana?”

Ani menatap Ahmad agak lama. “Bercanda apa beneran?”

“Kalau bercanda gimana, Kalau beneran gimana?”

“Jangan bikin aku bingung.”

“Apakah harus ulang permintaanku?”

“Tidak perlu.”

“Kalau gitu, gimana jawabanmu?”

“Kalau sungguh-sungguh kamu harus datang ke rumah.”

“Aku sungguh-sungguh.”

Ani tersenyum.

Malam ini Ahmad menunggu Ibu selesai menutup salonnya.Seperti biasa ia membawa dua bungkus nasi yang menjadi makan malamnya bersama sang ibu. Kesibukan ibu di salon membuat Ahmad mencegah ibunya memasak. Nanti ibu capek, begitu alasannya.

“Bu, Ahmad ingin bicara.” Ia segera membuka pembicaraan setelah selesai ibunya selesai makan.

“Sepertinya penting, ada apa?”

“Ibu, Ahmad ingin jadi anak yang berbakti. Juga Ahmad tidak ingin jadi orang yang salah jalan.

“Ya. Ibu bangga padamu. Kamu sudah dewasa. Belajarlah untuk mengambil keputusan yang benar agar kau tidak menyesal. Apa yang kau inginkan?”

“Bu, maaf kali ini Ahmad menbutuhkan perhiasan yang di kotak itu. Bisakah Ibu meminjamkan untukku?”

“Tidak perlu kau pinjam. Ibu menyediakan untukmu.”

“Meski tidak untuk sekolah?”

Ibu mengernyitkan dahi. “Lalu?”

“Untuk menikah.”

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Uph... Ahmad mau menikahi Ani., Mantapn

13 Dec
Balas

semoga mereka samawa

14 Dec



search

New Post