NONA
NONA
#DAY328
10122020
“Ayo Bu masuk Kelas, sekarang waktunya jam pelajaran Ibu di kelas saya.”
“Iya, kau ke kelas dulu, nanti Ibu nyusul.” sahutku. Dia Nona, murid yang paling rajin menjemputku di ruang guru. Aku suka gayanya yang manis dan seolah ingin bermanja pada gurunya. Beberapa kali aku membawanya dalam ajang lomba menulis dan menang. Ia berbakat di bidang itu. Nilai sekolahnya sangat bagus dan beberapa kali dia peringkat satu pararel. Wajah hitam manisnya sempat mencuri perhatian teman sekelas yang ingin dekat dengannya.
“Ciyeee, ditaksir cowok Indo.” godaku.
“Apa sih Buuu, Indo-Arab itu. Nggak mau Bu, hidungnya ketinggian.” cengir Nona.
“Siapa bilang Indo-Arab, Indonesia kok.”
“Aaaaaa, mesti wes, Nona ke kelas dulu Bu.” Dia pamit sambil lari ke luar ruang guru.
Ada yang berbeda dengan Nona akhir-akhir ini. Tiba-tiba jadi pendiam. Aku jadi ingin tahu penyebabnya. Anak sekarang mengatakan kepo. Tuh kan, jadi buka gugel deh biar tahu arti kepo. Ternyata itu akronim dari Knowing Every Particular Object. Oke, aku memang kepo padamu Nona, karena aku sayang kamu.
Ku-stalking medsosnya, kucari tahu barangkali dia update status yang bisa menjawab kengintahuanku. Ternyata benar, dia update status ‘sedang galau karena diberi PR Matematika seabrek’. Katanya bukan karena tidak bisa, tapi dia tidak mau mengerjakannya. Kutanyakan pada guru matematikanya bagaimana responnya selama pembelajaran matematika di kelas. Sang guru menjelaskan kalau Nona termasuk anak yang cerdas, tapi semacam tidak bersemangat kalau mengikuti pelajaran matematika. Saya mengejar dengan bertanya tahu cerdasnya dari mana. Guru matematika cantik itu menilai dari caranya berkomunikasi, kelihatan kalau banyak membaca.
Selama ini dia sering bertanya tentang pelajaran kepadaku khususnya pelajaran yang kuampu, tapi dia tidak pernah cerita tentang pelajaran yang lain. Di kelasku jelas dia menonjol. Selalu semangat disuruh bercerita atau selalu memberi jawaban panjang lebar kalau diberi pertanyaan uraian.
Sengaja kuminta dia menemuiku setelah jam sekolah berakhir. Kali ini aku akan menanyainya dengan serius. Kuajak dia ke perpustakaan.
“Nona, kalau boleh Ibu tanya, kenapa akhir-akhir ini kelihatan tidak bersemangat. Aku tidak perlu cerita kalau sudah men-stalking-nya.
“Bu, boleh terus terang ya....Nona merasa tidak ingin belajar matematika, tidak ingin mengerjakan soal matematika. Saya ingin cepat lulus dan tidak bertemu matematika.”
“Masa sampai segitunya Non. Ingat lho matematika itu ada dalam kehidupanmu kelak. Jangan terlalu tidak ingin. kelak kalau kau membutuhkannya, repot juga kan...”
“Iya Bu, saya bukan tidak bisa. Saya bisa, tapi saya tidak mau. Gimana terus Bu...”
Aku tahu dia termasuk anak yang keras kepala. Namun dia konsisten. Dulu dia pernah bilang ingin membaca buku sebanyak-banyaknya dan itu dia lakukan. Saya sebagai gurunya kalah tekun. Dia cerita sudah lunas membaca Pramudya Ananta Tur, Khalil Gibran, dan buku-buku sastra yang cukup berat menurutku untuk ukurannya. namun memang guru tidak boleh meremehkan kemampuan muridnya yang mau tekun berusaha dan Nona membuktikannya.
“Nona, kadang murid tidak menyukai pelajaran karena gurunya yang tidak enak cara mengajarnya. Apakah itu termasuk kamu?”
Ia menatapku lekat.
“Ibu, ibu tahu, kemarin Pak Arif menghampiri saya. Saya sudah menduga beliau akan menyuruh saya maju mengerjakan soal persamaan kuadrat. Ternyata Bu, beliau menanyakan setelah lulus saya akan melanjutkan ke mana? Saya bilang ingin menjadi penulis. Kalau ada sekolah yang mengajarkan saya cara menulis, saya akan masuk ke sana. Bu, saya beruntung mendapat guru matematika seperti Pak Arif yang tahu saya tidak suka matematika. Beliau tidak pernah menunjuk saya ke depan, tidak pernah memaksa saya atau mempermalukan saya di depan teman-teman. Beliau malah menyemangati saya agar fokus belajar menulis, kalau itu membuat saya bahagia.”
Duh, ternyata perkara ini, yang menurut orang mungkin tidak berat, bagi seorang Nona menjadi beban berat. Untung ia mau bercerita, sehingga mungkin akan membuatnya lebih plong. Aku jadi teringat dengan keinginan Ibuku dulu. Ibu ingin aku menjadi dokter, tapi aku tak ingin. aku ingin jadi guru. Sewaktu SMU aku disuruh memilih jurusan biologi, supaya sejalan dengan jurusan kedokteran kelak. Aku menurut, tapi waktu ujian masuk perguruan tinggi aku memilih mengikuti jalur kependidikan.
“Ibu sependapat denganmu Nona. Melakukan sesuatu yang kita suka merupakan kebahagiaan tersendiri, bukan? Teruslah menulis.”
“Ibu membaca tulisan saya?”
“Iya, malah selalu. Yang kau posting di FB itu. Keren Nona. Bu gurumu kalah tekun.”
“Ibu, saya jadi malu. Saya bisa menulis karena Ibu yang menyemangati saya. Waktu lomba menulis artikel dulu, saya kalah, tapi ibu tidak memarahiku, padahal saya tahu ibu kecewa. Saat itu saya juga menyalahkan diri sendiri karena tidak berusaha maksimal.”
“Buat apa marah Nona, lagi pula saya tidak kecewa. Ibu mengikutkanmu lomba untuk mendapatkan pengalaman supaya kamu percaya diri. Menang tidak lebih hebat dibandingkan tumbuhnya rasa percaya diri.”
“Ibu... “
Saya tidak menyangka. Nona menubruk dan memelukku. Matanya basah. Tidak ada kata-kata. Kuelus bahunya. Mataku yang mulai memberat kutahan kuat-kuat. Menjadi guru dan merasakan tumbuhnya keluhuran pekerti pada anak didik adalah bayaran terbaik.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar