Sudah dia hari ini hati saya berdebar tidak karuan. Dua hari yang lalu ada laporan masuk ke saya bahwa ada perbuatan tercela yaitu merobek robek banner di salah satu lembaga pendidikan di sekitar sekolah saya. Parahnya perbuatan itu ( katanya) dilakukan oleh peserta didik sekolah tempat saya bertugas. Saya agak emosi saat itu karena hati seperti tidak rela anak anak murid dituduh sembarangan. Saya minta ditelusuri baik baik, agar ditemukan siapa pelaku yang sebenarnya.

Dan tadi pagi, tiga hari setelah kejadian itu, kejadian menampilkan fakta yang mengejutkan. Jadi perbuatan itu memang dilakukan oleh anak anak kami sebanyak 2 sampai 3 orang. Dilakukan dengan cara menggunting. Dan yang bersangkutan telahengakuinyabdwngan terus terang. Yang membuat saya tak habis pikir adalah pelakunya adalah anak anak kelas dia. Tiga orang dan semuanya berjenis kelamin laki-laki. Secara jantan pun saya memohon maaf sebesar besarnya atas " kelakuan " anak anak kami tersebut.

Agak ragu saya mengambil sikap dan tindakan, jauh kalau masalah itu dilakukan oleh anak anak kelas tinggi. Saya pati bersikap tegas dan biasanya memanggil mereka ke ruangan saya untuk kemudian diajak omong omong tentang kronologisnya dan mendiskusikan apa bahaya dan kemudian tindak lanjutnya. Tapi ini pelakunya anak-anak kelas 2 SD. Meskipun salah, tapi menyampaikan bahwa itu salah membutuhkan banyak pertimbangan. Saya harus memutar otak untuk itu. Bagaimana cara anak anak menyadari kesalahannya, namun tidak ada dendam atau trauma mendalam karena " saya " menangani masalah ini. Kalau dengan wali kelasnya, pasti akan saya lakukan. Dengan anaknya, pasti akan saya lakukan berhati hati melalui wali kelasnya. Tapi dengan orangtua ??? Saya khawatir malah bapak dan ibunya akan menyalahkan anak demikian rupa.

Betul betul masalah yang membutuhkan kajian perasaan