Sudah tiga hari saya merasakan sakit. Saya uring uringan karena sakit ini menghambat aktivitas. Saya sampai menyumpah nyumpah kenapa sakit ini datang ketika saya amat membutuhkan stamina lebih. Peralihan tahun pelajaran memang dipenuhi dengan berbagai penyelesaian administrasi pembelajaran. Menyelesaikan administrasi tahun lalu dan menyiapkan administrasi untuk tahun pelajaran yang baru. Betul-betul membutuhkan tenaga ekstra untuk melaluinya. Dan saat itulah, sakit ini datang.

Karena sumpah serapah tak kunjung usai yang saya ucapkan, istri sampai mengingatkan berapa banyak nikmat Tuhan yang telah diterima. Kamu baru sakit tiga hari saja sudah menyumpah nyumpah, sementara nikmat sehat berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun seakan lewat. Diingatkan semacam itu tentu saja batinku mendingin. Saya merasakan kebenarannya. Namun kembali memanas ketika tuntutan kerja mendekati batas akhir. Saya capek, saya lemas, tapi apapun bentuknya saya harus terus bekerja dan bergerak.

Hari kedua sakit saya tidak tahan untuk tidak menyambangi mantri kesehatan langganan keluarga. Sebetulnya mulai hari pertama sakit istri sudah menyarankan periksa ke pak mantri, tapi saya menganggap penyakit ini ringan dan tidak membutuhkan penanganan serius. Rasa sombong ini akhirnya berakhir di hari kedua sakit karena di samping mata yang panas, tubuh dan urat nadi sudah seperti kacaunya dan mengalami konsleting. Saya menyerah dan mengikuti saran istri. Hitung hitung semoga dukungan psikologis mampu menyembuhkan penyakit ini. Biasanya keluarga kami akan sembuh setelah berobat ke pak mantri ini. Tuah itu yang saya harapkan terjadi saat ini.

Dan pengobatan itu sampai saat ini baru separuh jalan. Masih tersisa separuh obat yang mesti saya habiskan dalam dua hari ke depan. Meskipun rasa nyaman itu tumbuhnya pelan pelan, tetapi saya berharap tuah itu akan terjadi saat ini. Semoga penyakit ini segera diangkat oleh Allah. Semoga kondisi tubuh kembali bugar sebelum tahun pelajaran baru itu datang.

Ah, dua minggu lagi akan datang.