Pamula Trisna Suri

Lulusan dari FIK UNY tahun 2009, lahir di Purworejo dan tumbuh besar di kota berhati nyaman, Yogyakarta. Merantau ke Pulau sumbawa selama kurang lebih li...

Selengkapnya
Navigasi Web

ALWI

"Wi, cepetan lompat!" suara Rangga setengah berbisik dari balik pagar.

"Aman?" Alwi celingukan melihat sekitar dan bersiap melompat pagar setinggi kurang lebih 2 meter disamping kelas.

"Bruukk," suara tas Alwi terlempar dan dengan lincahnya dia melompat pagar.

"Nunduk-nunduk! Ayo cepet lari."

Rangga dan Alwi berlarian menuju lorong gang samping sekolah. Itu bukan pertama kalinya bagi mereka.

Setiap hari sabtu akhir bulan pada jam terakhir pelajaran, sekolah mengadakan Pentas Seni yang diikuti oleh setiap kelas. Kehilangan dua orang siswa tidak akan membuat guru dan penjaga sekolah curiga.

Mereka berdua bergegas masuk Warnet yang jaraknya tidak jauh dari sekolah.

"Yees! Gak ketahuan kita cabut. Uangmu masih kan, Wi?" tanya Rangga sambil mengaktifkan username rental internet.

"Tiga ribu nih, lumayan sejam." Alwi menyodorkan uang ribuan.

Mereka berdua asyik bermain COC, game kekinian yang sedang merebak di kalangan remaja.

"Heh! Kalian kok udah pulang?" tanya seseorang.

Rangga gugup, dia lepaskan mouse yang sedari tadi tidak lepas dari jari-jarinya. Alwi melongo menahan napas melihat wajah perempuan didepannya. Kaki mereka saling adu, mata mereka kini saling tatap, Rangga memberanikan diri berkata, "Sudah pulang, Buk."

Perempuan itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "Ini masih jam 11.00, jadwal pulang sekolah masih tiga puluh menit lagi! Kalian bolos?" tanya Bu Ajeng sambil mencondongkan wajahnya.

"Enggak, Bu. Memang sudah selesai Pensinya," timpal Alwi meyakinkan.

"Hmm, besok saya cek. Kalau kalian bohong, tanggung sendiri resikonya!" ancam Bu Ajeng.

"Iya, Bu," jawab mereka serempak.

Bu Ajeng melanjutkan niatnya datang ke warnet untuk scan berkas lamaran CPNSnya. Sabtu itu dia memang pulang lebih awal, banyak urusan yang harus diselesaikan.

"Sebaiknya kalian ganti baju dulu sebelum nongkrong di warnet," kata Bu Ajeng sambil pergi melewati bilik Rangga dan Alwi. Alwi dan Rangga hanya mengangguk.

"Haaahh!! Hampir aja ketahuan," Alwi mengelus dada dan menghembuskan napas panjang.

"Udah ketahuan, bego! Kamu pake bohong tadi, besok kalo dipanggil BP gimana?" Rangga cemas, dia takut orang tuanya terpanggil.

Alwi dan Rangga adalah teman sekelas, mereka sering bersama-sama sejak kelas IX.

Orang tua Alwi pernah dipanggil oleh BP karena sikap Alwi yang kurang sopan serta berani membantah guru. Selain itu beberapa tugas yang diberikan guru tidak dikerjakan. Yang lebih fatal adalah saat ketahuan berpacaran dan melakukan hal diluar batas. Kebiasaan buruk Alwi lambat laun berkurang sehingga pada saat kenaikan kelas dia bisa diselamatkan.

Pada awal semester ini, Alwi mulai bertingkah lagi. Dia mulai sering keluar masuk kelas tanpa alasan dan yang paling fatal adalah cabut pada saat jam pelajaran terakhir dan melompat pagar.

Rangga teman dekat Alwi, kedekatan mereka murni karena game on line. Rangga termasuk anak yang penurut, hanya sesekali membuat keributan dan tidak pernah melanggar aturan-aturan sekolah lainnya. Hingga kedekatannya dengan Alwi membuat Rangga sedikit banyak berani mengikuti sikap buruk Alwi. Dengan iming-iming dibayarin saat bermain game on line, Rangga terbujuk untuk lompat pagar meninggalkan Pensi yang sedang berlangsung.

***

"Alwi ...."

"Wi .... "

"Alwi!" bisik Rangga

Alwi menoleh kebelakang, "Apa?"

"Gak ada panggilan ke BP, kan?"

"Gak ada! Gak akan ketahuan, tenang aja deh ...."

"Kalo tiba-tiba dapat surat panggilan orang tua gimana?"

"Gak mungkin. Gak ada bukti. Tenanglah .... "

"Rangga ..., Alwi ...!" panggil Bu Nur, Guru IPA.

"Coba kalian sebutkan contoh tanaman monokotil? "

Hening, tidak ada jawaban dari keduanya.

"Rangga ..., sebutkan!"

Rangga menunduk dan memainkan ujung-ujung jarinya.

"Alwi ..., coba kamu jawab!"

Alwi tidak bergeming, dia menunduk dan bersandar di kursi dengan santai.

"Alwi Alwi ..., kamu itu udah kelas IX. Coba tahan sedikit aja untuk tidak bermain-main."

"Rangga, akhir-akhir ini nilai ulanganmu menurun. Kenapa?" tanya Bu Nur.

"Ke warnet terus dia, Bu", seloroh salah satu siswa.

Rangga hanya menunduk dan menyadari kesalahannya. Rangga sadar, sejak dia dekat dengan Alwi nilainya menurun dan beberapa aturan sekolah ia langgar. Rangga mulai cemas jika orang tuanya dipanggil pihak sekolah.

"Benar itu, Rangga?" Bu Nur, guru IPA dan sekaligus wali kelasnya memastikan.

Rangga mengaguk.

"Teng Teng Teng ...." bunyi bel pergantian pelajaran menyelamatkan Rangga dan Alwi dari arahan Bu Nur.

"Baiklah, kita lanjut minggu depan. Pelajaran siapa setelah ini?

"Seni Budaya, Bu. Bu Ajeng yang mengajar," jawab salah seorang siswa.

"Mati aku!" Rangga menepuk keningnya dan bergumam.

***

"Selamat siang anak-anak Ibu yang manis. Semua bawa peralatan untuk praktek hari ini, kan?" Bu Ajeng menyapa siswanya saat masuk kelas.

"Bawa, Bu ..., " seluruh siswa kompak menjawab.

Mata pelajaran ini jadi favorit kebanyakan siswa, selain menyanyi, memainkan musik, pada mata pelajaran ini mereka bisa mengeluarkan kreasi mereka dalam sebuah karya. Materi kali ini mereka harus membawa bambu.

"Oh iya, hari Sabtu kemarin kalian pulang jam berapa?"

Rangga sedari tadi berdebar-debar, tangannya dingin berkeringat.

"Alwi, kamu yang tanggung jawab, ya! Awas aja kalo sampe Mamaku kena panggil BP, mati aku!"

"Iya, iyaa ...."

Alwi mulai cemas, dia gak nyangka Bu Ajeng akan menanyakan itu.

"Jam dua belas kita pulang, Bu," jawab ketua kelas.

"Lho, biasanya hari Sabtu kalian pulang jam setengah dua belas, ya?"

"Kemarin yang tampil dua kelas pensinya, jadi agak lambat kita pulang, Bu. "

"Jadi pulangnya bukan jam sebelas, ya? Bu Ajeng bertanya sambil melirik ke arah Alwi dan Rangga.

"Enggak, Bu."

"Okay! Sekarang lihat dulu beberapa vidio ini. Bisa kalian jadikan contoh inspirasi untuk bambu yang kalian bawa. Mau dijadikan apa bambu itu? Nah, ayo kita lihat."

Vidio diputar dan siswa fokus melihatnya, kecuali Alwi dan Rangga. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

****

Ruang BP bernuansa hijau membuat siapa saja yang masuk terasa nyaman walau nasib terancam. Bu Wati, guru BP sengaja merancang ruangan itu agar kesan bahwa ruang BP itu menyeramkan dan hanya untuk anak bermasalah tidak terjadi pada siswa-siswanya.

Berkali-kali Bu Wati menerima keluh kesah para siswa baik masalah pelajaran, keluarga, dan masalah percintaan.

Bu Wati sadar, anak SMP jaman sekarang beda dengan jaman dulu. Kini, anak SMP sudah mengenal berpacaran dan tidak canggung lagi bergaul dengan lawan jenis.

Pentingnya edukasi tentang pergaulan sejak dini harus diterapkan, bukan hanya teori dalam kelas. Untuk itu, Bu Wati menyiapkan bilik mungil khusus ruang konsultasi tentang itu.

Bu Wati sudah menjadi guru BP selama puluhan tahun, dia sangat lihai menggali informasi dari siswa. Siswa yang tadinya tidak jujur, jika sudah bertatap muka dengan Bu Wati maka terbongkar semua apa yang disembunyikannya.

Begitu juga kasus Alwi pada saat kelas 8. Bu Wati berhasil menemukan benang merah kenapa Alwi malas belajar, sering terlambat dan kenakalan lain yang dibuatnya.

"Alwi .... Masih ingat ndak janji Alwi sama Ibuk?" suara Bu Wati terdengar lembut tapi terlihat tegas dari sorot matanya.

Alwi menunduk, hening ....

"Ibu senang Alwi sudah berubah, guru-guru pun tidak banyak yang mengeluh tentang Alwi. Coba apa yang Alwi rasakan saat ini?"

Alwi mengangkat wajahnya, "Gak ada, Bu," jawabnya lirih.

Bu Wati tersenyum dan menatap Alwi dengan tatapan yang meneduhkan.

"Manusia itu tempat salah, lupa dan khilaf. Tidak ada satupun orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Tapi, kita harus jujur, bertanggung jawab mengakui kesalahan dan tidak mengulanginya lagi."

Alwi menunduk, dia teringat beberapa bulan yang lalu saat dia mendapat perhatian lebih dari Bu Wati sampai akhirnya dia berubah menjadi lebih baik dan berhasil naik kelas.

"Ayo, cerita sama Ibuk."

"Saya kecanduan game on line, Bu." kata Alwi lirih.

Alwi mulai bercerita awal tahu game on line dari Rangga, saat dia mengerjakan tugas di

rumahnya. Sejak saat itu Alwi jadi sering ke warnet mengajak Rangga karna Alwi belum fasih menjalankan permainan itu.

Alwi sungkan jika setiap hari ke rumah Rangga, dia pernah ditegur oleh Mama Rangga. Setelah Mama Rangga tahu mereka sering bermain game on line, kuota internet dirumahnya dikurangi. Itulah kenapa Rangga tergoda ke warnet bersama Alwi.

"Jadi, benar kalian berjumpa dengan Bu Ajeng di warnet hari Sabtu kemarin?"

"Iya, Bu."

"Terus lewat mana kalian keluar?"

"Lompat pagar, Bu."

Alwi menjawab semua pertanyaan Bu Wati dengan jujur, sama seperti dulu. Saat kelas 8 Alwi ketahuan berpacaran dan melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh anak seusianya.

"Jadi setiap pensi kalian cabut dan lompat pagar?"

"Enggak, Bu. Kami baru tiga kali melakukannya. "

"Alwi dulu saat kelas VIII pernah lompat pagar, kan? Alwi tahu konsekuensi apa kalo ketahuan lompat pagar?"

"Tahu, Bu," Alwi menunduk dan mulai menyesali perbuatannya.

"Alwi .... Kamu kan sudah kelas IX, beberapa bulan lagi Ujian Nasional. Ini sudah masuk akhir semester. Nama kamu sudah terdaftar on line untuk mengikuti Ujian Nasional."

"Iya, Bu."

"Jadi sekarang Alwi mau gimana?"

Alwi diam, dia tidak tahu harus bagaimana. Lompat pagar tiga kali artinya dia harus pindah dari sekolahnya. Dulu dia pernah membuat pernyataan bermaterai saat kelas VIII.

Alwi menyalahkan diri sendiri kenapa tadi jujur tentang lompat pagar. Harusnya tadi aku bilang aja baru sekali ini, toh yang sebelum-sebelumnya tidak ada yang tahu. Aahh ..., Tapi percuma, Bu Wati akan terus bertanya sampai akhirnya akupun jujur juga, batinnya.

"Bu .... Alwi minta tolong, jangan pindahkan saya dari sini, Bu .... "

"Ini, ada pernyataanmu yang bermaterai disini. Coba kamu baca!"

"Saya tahu, Bu. Alwi mohon, Bu," suara Alwi terdengar parau, dia hampir menangis.

Alwi beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Bu Wati. Dia bersimpuh di hadapannya, memohon agar kasus ini tidak sampai memanggil orang tua yang berujung harus pindah sekolah.

****

Bel pulang sekolah berbunyi. Seminggu ini Alwi dan Rangga senam jantung. Belum ada surat panggilan untuk kedua orang tua mereka terkait pelanggaran peraturan sekolah yang mereka lakukan.

"Wi ...!" terikan Rangga sambil berlarian mensejajari langkah Alwi.

"Bu Ajeng tahu kita bohong, tapi kok kita gak dipanggil Bu Wati ya? Udah semingguan, amankah kita?

"Minggu kemarin aku jumpai Bu Wati diruangannya. Semoga saja Bu Wati berbaik hati lagi kepadaku."

"Aku juga. Setelah pelajaran Bu Ajeng, aku menghadap. Aku mengaku bersalah dan minta maaf."

"Beneran? Terus apa kata Bu Ajeng?"

"Banyaakk, pusing dengernya. Intinya Bu Ajeng udah terlanjur bilang Bu Wati. Tadinya aku berharap Bu Ajeng gak lapor ke Bu Wati."

"Tumben kamu berani?Hahaha .... " Alwi meledek Rangga.

"Daripada berhadapan sama Mamaku. Kamu tahu kan kalo Mama udah marah kayak mana?"

"Hahaha, iya juga sih. Bangunin singa tidur."

"Hush enak aja! Kalo Mamaku singa, aku anak singa dong."

Keduanya tertawa, sejenak mereka lupa kalo statusnya sebagai siswa terancam. Kini mereka kembali akrab sejak minggu kemarin Rangga tidak mau menyapa Alwi dan sengaja menghindar.

"Maaf Wi, aku kemarin sempet jauhi kamu."

"Gak papa."

Mereka berdua berangkulan dan berjalan meniti trotoar menuju rumah masing-masing. Rangga yang berniat menjauhi Alwi akhirnya tersentil untuk mengajak Alwi menjadi anak yang lebih baik, itu saran dari Bu Ajeng.

Alwi yang memang kurang mendapat perhatian dari orang tua mendapatkan teman yang bisa mengerti dia. Perlahan Alwi merubah sikap dan rajin belajar, tentu di temani Rangga.

Hingga akhir semester dan penerimaan rapot sikap dan perilaku Rangga dan Alwi semakin baik. Alwi tidak pernah terlambat, tidak keluar masuk kelas dan tidak pernah lagi membantah guru. Nilai-nilai Rangga mulai naik. Alwi yang biasanya jadi juru kunci kini dia naik beberapa peringkat diatasnya.

Kini mereka sepakat meninggalkan game on line sementara waktu demi Ujian Nasional mendatang.

***

Percakapan beberapa bulan yang lalu.

"Alwi kemarin datang kesini, dia cerita tentang apa yang Bu Ajeng laporkan," kata Bu Wati kepada Bu Nur.

"Bu Ajeng bilang kalo Rangga menemuinya dan minta maaf. Dia minta tolong agar orang tuanya gak dipanggil oleh BP."

"Alwi juga bilang begitu ke saya. Kalo dilihat kebelakang, Alwi masih bisa kita bimbing, Bu. Hanya saja dia melakukan kesalahan yang fatal."

"Apa itu?"

"Tapi ini antara saya dan Bu Nur aja, ya? Saya berniat membantu Alwi agar tetap disini sampai Ujian Nasional tiba. Saya melihat penyesalan dimatanya, dan saya yakin Alwi bisa berubah."

"Iya, Bu. Sebenarnya Alwi anak yang baik. Hanya saja dia kurang perhatian dari orang tuanya. Subuh kedua orang tuanya sudah pergi kepasar, pulang malam. Kapanlah waktu memperhatikan anaknya. Kasihan."

"Saat bolos kemarin, ternyata Alwi dan Rangga melompat pagar. Itu bukan pertama kalinya, sebelum-sebelumnya mereka pernah melakukanya. Bu Nur tahu kan konsekuensi siswa yang lompat pagar?"

"Ya Allah, anak itu. Padahal kemarin dia sudah mulai baik, kok kumat lagi, ya?"

"Pengaruh warnet, Bu. Rangga dan Alwi kecanduan game on line."

"Berarti bener kata teman-temannya, nilai-nilai Rangga menurun akhir-akhir ini. Jadi gimana, Bu?"

"Bu Nur selaku wali kelas, perhatian untuk kedua anak itu agak lebih. Sering-sering ajak mereka ngobrol, terutama Alwi."

"Oke, Bu! Kita lihat nanti sampai akhir semester. Semoga gak ada masalah lagi."

****

Pelepasan siswa kelas IX tiba, perpisahan dengan pentas seni yang meriah. Semua siswa terlihat bahagia dan gembira walaupun hasil Ujian Nasional belum diumumkan, tapi mereka yakin lulus.

"Akhirnya... senang melihat keceriaan anak-anak. Kita berhasil mempertahankan Alwi, Bu. Berkat bimbingan Bu Wati nih," Kata Bu Nur.

"Ahh .... Bukan. Itu karna Bu Nur telaten dan sabar menghadapi Alwi."

"Hehee, berkat kita semua. Guru-guru mata pelajaran pun salut dengannya."

"Yang lebih penting lagi karna Rangga. Rangga bisa membawa Alwi mengikuti arusnya. Seperti kata pepatah, kita adalah siapa teman kita."

"Maksudnya, Bu?"

"Perumpamaan teman yang shalih dengan yang buruk itu seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Berkawan dengan penjual minyak wangi akan membuatmu harum, karena kamu bisa membeli minyak wangi darinya, atau sekurang-kurangnya kamu mencium bau wanginya. Sementara berteman dengan pandai besi, akan membakar badan dan bajumu, atau kamu hanya mendapatkan bau tidak sedap. Itu hadist dari Bukhari dan Muslim, Bu."

"Benar juga, ya? Wah, saya beruntung berteman baik dengan Bu Wati, jadi ketularan sabarnya. Hehehe. "

"Hahaaii, Bu Nur bisa saja. "

****

Dua puluh lima tahun kemudian.

Bandara pagi itu sudah ramai pengunjung. Bu Wati membawa beberapa tas dan kardus berisi oleh-oleh untuk cucu-cucunya.

"Biar saya bawakan barang bawaannya, Bu."

Pemuda berseragam itu sudah membawa stroller dan segera mengangkat tas dan kardus didepannya tanpa menunggu ijin pemiliknya.

"Terimaksih, Pak!" Bu Wati hendak mendorong stroller tetapi pemuda itu lebih cepat sepersekian detik memegang dorongan besi itu.

"Wah, gak usah repot-repot, Pak, biar saya dorong sendiri."

Pemuda itu tersennyum dan berkata, "Biar saya antar sampai tempat chek in, Bu."

Pemuda itu berjalan hingga loket chek in bersama Bu Wati.

"Terimakasih banyak ya, Pak."

"Saya yang terimakasih, Bu. Jika bukan karna Ibu, mungkin saya gak akan berada disini."

Bu Wati mengernyitkan dahi, dia tidak paham dengan kata-kata pemuda itu.

"Kalau bukan karna nasihat-nasihat dan kebaikan Ibu, saya udah putus sekolah mungkin. Ibu gak ingat saya?"

"Alwi Setiawan", Bu Wati mendekat dan membaca nama pada seragam pemuda itu sambil menyempitkan mata, dia tidak memakai kacamata saat itu. Sulit untuk membaca jarak jauh.

"Iya, Bu. Saya Alwi, siswa SMP ibu yang dulu lompat pagar."

Bu Wati mencoba mengingat-ingat nama itu.

"Ya Allah, bisa setinggi ini kamu, ya? Dulu waktu SMP kamu terlihat lebih pendek di banding teman lainnya."

" Ini berkat Ibu. Saat Ibu menyarankan untuk mengikuti ektrakurikuler atletik, saya mengikutinya waktu SMA. Dan ternyata Ibu benar, bakat melompat membawa saya bekerja disini, Bu."

"Ya Allah, Ibu gak nyangka kamu Alwi siswa Ibu dulu, luar biasa, Nak. Kamu banyak sekali perubahannya."

"Ini semua berkat Ibu, terimaksih banyak, Bu."

Alwi mencium tangan Bu Wati. Dia menyerahkan sebuah kartu nama.

"Ini kartu nama saya, Bu. Hubungi saya kalo Ibu kesini lagi. Saya lanjut bekerja, ya, Bu."

"Iya, Nak."

Bu Wati membaca kartu nama itu.

"Alwi Setiawan.

Kepala Seksi Teknik Sipil dan Lingkungan Bandar Udara."

~Selesai.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Luar biasa ceritanya. Sampai menitikkan air mata. Lebay.... Jadi inget masa sekolah, nerobos pager berduri karena terlambat. Terus ngumpet di kantin, saat pergantian pelajaran, masuk dech...

25 Oct
Balas

Begitulah, terhadap yg nakalpun tetap doa seorg guru terukir, krn kita tak tahu apa yg terjadi di kemudian hari. Barakallah

20 Oct
Balas

Heheh, terimaksih bu apresiasinya. jika ada saran ttg kepenulisannya, monggo.

20 Oct
Balas



search

New Post