Pamula Trisna Suri

Lulusan dari FIK UNY tahun 2009, lahir di Purworejo dan tumbuh besar di kota berhati nyaman, Yogyakarta. Merantau ke Pulau sumbawa selama kurang lebih li...

Selengkapnya
Navigasi Web

P U T R I

Cerbung : #putri (3)

Sampai rumah sakit tidak butuh waktu lama untuk menemukan sosoknya. Bapak dan seorang ibu paruh baya tergeletak tak berdaya di ruang IGD. Menurut informasi dari perawat dokter sedang menuju ke rumah sakit. Truk yang menabrak bapak pun pergi tanpa jejak.

Dari ujung pintu kulihat seorang mengenakan jas putih melangkah dengan tergesa-gesa kemudian menghampiri salah satu perawat. Dengan sigap lelaki itu mendekati bapak dan menutup tirai. Ibu paruh baya yang berada di samping kami ditunggu oleh seorang lelaki muda, mungkin anaknya. Konsdisi bapak lebih parah dari penumpang, ibu paruh baya itu mengalami luka-luka ringan di kaki dan tangannya. Sejak kami datang bapak belum sadarkan diri, tidak banyak darah disana tapi kata perawat justru itu yang menakutkan.

Dokter selesai memeriksa, kini bapak sudah sadar. Dia melihatku dan mamak kemudian tersenyum, seketika mamak menghambur dan menangis terisak di samping pembaringannya.

"Insyallah, bapak baik-baik saja, bu. Benturan di kepala membuat bapak pingsan lebih lama, setelah ini kami akan coba periksa dengan sinar X. Semoga tidak ada pendarahan dalam otak," terang dokter.

Kami hanya manggut-manggut, dokter itu memberikan arahan perawat untuk membawa bapak ke ruang periksa sinar X dan kami mengikuti di belakangnya. Setelah sampai keruang pemeriksaan kami menunggu di luar, kulihat mamak masih mengusap air matanya, dia terlihat sangat cemas. Ku yakinkan mamak agar berprasangka baik, semoga tidak terjadi apa-apa dengan bapak. Kami berdoa memohon pertolongan Tuhan. Tak bisa kubayangkan jika sesuatu terjadi padanya.

Pemeriksaan selesai, bapak keluar dari ruangan dan dibawa ke ruang rawat inap kelas tiga. Satu kamar berisi 3 orang.

"Hasil sinar X kami periksa dulu ya, bu."

"Iya, dok. "

Dokter dan perawat meninggalakan kami. Tak lama kemudian ibu paruh baya dan lelaki yang menemaninya menghampiri kami.

"Ibu, maafkan bapak Putri, mungkin dia kurang hati-hati," kata mamak memohon.

"Gak papa bu, bukan bapak yang salah. Truk itu belok tiba-tiba. Saya pun kaget," jelasnya.

"Soal biaya ...."

"Gak usah dipikirkan, bu. Saya pakai BPJS kok. Ini ongkos becak untuk bapak. Semoga cepat sembuh, ya. Saya pamit pulang dulu."

Ibu paruh baya itu memberikan sebuah amplop berwarna putih kemudian berjabat tangan dengan mamak.

"Mak, bapak ada BPJS-nya gak?"

"Gimana mau ikut BPJS, bayar kontrakan aja masih sulit!"

Mamak duduk, dan membuka amplop. Aku terdiam mendengar jawaban mamak, semoga bapak bisa segera keluar dari rumah sakit, dapat uang dari mana untuk semua biaya ini. Batinku.

"Put, sini, put!"

"Apa mak?"

"Ini ongkos becaknya dikasih tiga ratus ribu, banyak banget ini, put." Kata mamak antusias.

"Alhamdulillah, bisa buat tambah biaya bapak, mak."

Tak lama kemudian terdengar salam dari luar. Pemilik becak datang bersama istrinya. Setelah berbincang-bincang menayakan kondisi bapak hingga menceritakan kronologi kejadian kecelakaan dan kondisi becak terkini akhirnya Pak Saut membuat perjanjian ganti rugi becak.

Kami harus membayar separuh dari biaya perbaikan, menurut perhitungan bengkel sekitar satu juta untuk keseluruhan biaya. Dua minggu lagi kami harus membayarnya, lima ratus ribu rupiah.

"Gimanalah bisa kubayar kalau dua minggu lagi? Kondisi bapak putri belum tahu lagi. Aku pun belum gajian itu," kata mamak memelas.

"Kapan kau gajian?"

"Bulan depan tanggal 7 rasaku."

"Oke. Tanggal 8 kau kasih uang itu, ya! Aku pamit pulang dulu, mudah-mudah bapak putri cepat sembuh."

Pak Saut dan istrinya meninggalkan kami, meninggalkan beban yang harus kami tanggung. Sementara bapak belum bisa berbicara banyak, hanya mendengarkan obrolan tadi.

Suara adzan magrib berkumandang, kuminta mamak pulang mengurus adik-adikku. Kedua adikku yang terakhir masih bersama acik saat kami ke rumah sakit, sementara dua lainnya dirumah. Mereka sudah terbiasa mengurus keperluannya sendiri.

Keesokan paginya dokter dan perawat datang memeriksa dan memberitahukan hasil sinar X. Menurut dokter tidak ada masalah dikepala. Bapak hanya sedikit trauma. Jika kondisi bapak stabil, besok bapak sudah boleh pulang.

Mamak datang saat makan siang, dia membawa sebungkus nasi untuk kami makan berdua. Sambil makan kuceritakan hasil pemeriksaan bapak dan berita gembira bahwa besok sudah boleh pulang.

Hari ini bapak sudah mau makan dan ngobrol dengan posisi setengah duduk. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin dan sudah mau diajak ngobrol.

"Maafkan bapak ya, kalian jadi repot," ucap bapak lirih.

"Gak papa, pak. Namanya juga musibah. Yang penting bapak harus cepat sehat, makan yang banyak, pak!" kataku menghiburnya.

Mamak mengajakku ke bagian administrasi. Total yang harus kami bayar satu juta dua ratus ribu rupiah.

"Gak bisa di bayar dua kali mbak?" tanya mamak.

"Bisa, bu. Tetapi sebelum pulang administrasi harus dibayar lunas terlebih dahulu."

Kami meninggalkan ruang administrasi dan melewati lorong-lorong rumah sakit. Mamak tampak lesu, pandangannya nanar, kecemasan itu terasa olehku.

"Mak, uang kita ada berapa?" kataku sambil ku gandeng lengan mamak.

"Cuma delapan ratus ribu, itu pun ditambah uang becak tiga ratus kemarin. Apalah yang kita jual, ya? Masih kurang empat ratus lagi."

"Jual kalung ini, mak."

Kukeluarkan kalung yang melingkar di leherku, kalung pemberian nenek dari kampung.

Awalnya mamak tidak setuju dengan pendapatku, akhirnya kami kepasar menjual kalung itu.

"Beratnya 3 gram. Ini gak ada suratnya, ya? Jadi harga pergramnya seratus lima puluh ribu. Gimana?"

"Gak bisa ditambah lagi itu? Kami lagi butuh uang untuk biaya rumah sakit, " kata mamak memelas.

Setelah tawar menawar akhirnya diputuskan kami jual kalung itu dengan harga seratus enam puluh ribu pergram. Kami menerima uang empat ratus delapan puluh ribu rupiah.

"Alhamdulillah," kata mamak.

Keesokan harinya kami pulang. Kesehatan bapak berangsur membaik hari demi hari. Hingga jatuh tempo pembayaran perbaikan becak tiba, bapak belum punya kerjaan. Gaji mamak sepertinya tidak cukup untuk membayar itu semua. Gajinya pun sudah dipotong hutang di bank.

"Gimana ini, pak putri? Tiga hari lagi harus kita bayar becak Pak Saut. Tak cukuplah dengan gajiku aja."

Samar kudengar obrolan mamak dan bapak dari dalam kamar. Kutunggu tanggapan bapak, tapi sepertinya tidak ada tanggapan. Bapak hanya diam.

Aku keluar kamar, dan menghampiri mereka.

"Putri ada tabungan, mak."

"Betul itu? Tabungan dari mana rupanya?"

"Dari sekolah, mak."

"Benar itu tabunganmu? Kok, gak pernah cerita kau?Berapa isi tabunganmu itu?"

"Empat ratus ribu, mak."

"Syukurlah, besok bisa kau ambil, kan?"

"Bisa, mak."

Tabungan? Aku tak pernah menabung. Entah bagaimana caranya 3 hari lagi aku harus mendapatkan uang itu.

Tak tega melihat mamak dan bapak sudah coba cari pinjaman sana sini, hingga bapak pasrah dengan kemungkinan yang terjadi jika kami tak mampu membayarnya.

~ bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sangat menyentuh...lanjutkan ya.salam kenal.

17 Nov
Balas

Terimaksih mbak, salam Kenak. Hee

17 Nov

Terimaksih mbak, salam Kenak. Hee

17 Nov



search

New Post