Pamula Trisna Suri

Lulusan dari FIK UNY tahun 2009, lahir di Purworejo dan tumbuh besar di kota berhati nyaman, Yogyakarta. Merantau ke Pulau sumbawa selama kurang lebih li...

Selengkapnya
Navigasi Web
Pantulan
Hari ke 6 #tantangangurusiana

Pantulan

Hari ke 6 #tantangangurusiana

Cerpen: Pantulan

#pantulan

Suatu sore aku menemani sang jagoan bermain di taman kota. Dia sibuk memantul-mantulkan bola dan mencoba memasukkannya ke dalam keranjang. Kulihat gerakanmu terhenti, seorang anak perempuan mendekatimu dan mengulurkan tangan tanda meminta bola untuk berbagi atau untuk bermain bersama. Kalian terlihat akrab dan tertawa bersama.

Semburat langit kemerahan, tenggelamnya matahari yang selalu kau tatap tanpa berkedip. Disini, di taman ini kata-katamu membuat dadaku berdesir dan berdetak kencang. Kali ini kau abaikan sang matahari dan katamu akulah mataharimu, matahari yang tak pernah tenggelam meninggalkanmu.

Rangkaian kenangan mengalir begitu saja. Pandanganku kabur, aku seolah melihatmu tersenyum padaku kini. Senyum tipis dengan lekukan lesung pipit dan rambut yang sengaja kau biarkan berantakan.

Kuusap wajahku, khayalanku berlebih. Aku sudah bahagia bersama lelaki pilihan orang tuaku.

Saat kedua tangan lepas dari mata kulihat sosokmu semakin jelas, sekali lagi kuusap wajahku memastikan bahwa itu hanya khayalan. Tidak, itu benar-benar kamu menggandeng anak perempuan berjalan bersama anakku dan kini kamu tepat berdiri di depanku, tersenyum.

Dadaku berdesir, aku tidak siap dengar pertemuan ini. Lebih tepatnya ini adalah pertemuan yang tidak pernah kuharapkan. Rasa bersalah menghantuiku walaupun ucapan maaf tak terbilang kuucapkan tanpa pernah mendapatkan jawab dan aku pergi.

Pantulan bola menyadarkanku, sapaanmu belum kujawab, aku masih menata degup jantung yang makin lama semakin kencang dan aliran darah semakin deras. Entah dari mana angin merasuk kedalam tubuh membuat tangan terasa dingin dan basah.

"Hai, apa kabar?"

Suara itu, khas. Aku telah menyimpan rasa jauh kedalam bilik hati yang tertutup rapat.

"Eh, baik."

Canggung memang, namun kamu bersikap biasa seolah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu.

"Maafkan aku."

Tiba-tiba kalimat itu keluar begitu saja tanpa bisa kukendalikan dan aku menyesalinya.

"Sudahlah. Bukankah kita sudah sama-sama bahagia?"

Aku diam dan mencoba menebak perempuan mana yang mampu melumpuhkan benteng keras itu.

"Terimakasih, anakmu mau berbagi bola bermain dengan anakku."

Dia berbalik badan dan melambaikan tangan. Anak perempuan itu cantik sekali, dia tersenyum. Senyuman yang sama yang pernah selalu kunantikan dulu.

Langkahnya terhenti, menoleh dan berkata, " Setidaknya kita pernah ditakdirkan untuk saling mencintai walaupun tidak ditakdirkan untuk bersama."

Selesai.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post