Etika Bisnis Syari'ah Dalam Konsumsi
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia konsumsi diartikan dengan pemakaian barang hasil produksi (pakaian, makanan,dsb). Konsumsi merupakan tindakan untuk menggunkakan atau menghabiskan suatu produk untuk memenuhi kebutuhannya baik secara primer maupun sekunder. Perilaku konsumsi menyangkut terhadap proses keputusan sebelum pembelian dan tindakan saat memperolehnya. Perilaku konsumsi juga meliputi perilaku yang dapat diamati seperti jumlah yang dibeli, dengan dan oleh siapa serta bagaiamana barang tersebut baik cara membelinya ataupun wujud kehalalannya.
Yusuf Qardhawi menjelaskan beberapa prinsip perilaku konsumsi dalam islam, yaitu : pertama, dasar pemikiran konsumsi dalam islam yaitu mengurangi kelebihan keinginan biologis dengan maksud membebaskan manusia untuk tujuan spiritual. Kedua, anjuran islam mengenai perilaku konsumsi dituntun oleh prinsip keadilan, kebersihan, kesederhanaan, kemurahan hati dan moralitas. Ketiga, kebutuhan manusia digolongkan kedalam tiga hal, yaitu kebutuhan pokok, kebutuhan kesenangan dan kebutuhan untuk kemewahan. Dalam tiga kelompok ini islam menggarikan prioritas sesuai dengan maqashid syariah dengan istilah daruriyah, hajiyah dan tahsiniyah. Keempat, tidak hanya mengatur dalam hal-hal yang dilarang, tetapi juga harus menyadari konsep dinamik pada pola konsumsi yang menuntun untuk mementingkan konsumen muslim lainnya.
Dapat kita simpulkan bahwa prinsip perilaku konsumsi tidak hanya memberikan kepuasan kepada konsumen, tetapi juga memerhatikan barang-barang yang dibeli harus halal dan suci menurut syariat. Selain itu perilaku konsumsi haruslah dalam porsi wajar artinya tidak berlebihan (isyraf) dan tidak juga boros (mubazir) meskipun konsumen tergolong kaya ataupun mampu untuk membelanjakan hartanya. Allah swt. Berfirman :”Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-boros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada tuhannya.” (QS Al-Isra’:26-27).
Islam telah mengatur batasan seorang muslim dalam mebelanjakan hartanya. Pertama, dalam segi kualitas, Melarang konsumsi miras dan sejenisnya yang memabukkan dan merusak akal dan tubuh serta Melarang konsumsi sesuatu yang dapat menimbulkan/menyebabkan kemaksiatan kepada Allah Swt. Kedua, dilihat dari segi kuantitasnya yaitu berlebihan dalam konsumsi yang menyebabkan “Hutang”, berlebihan dalam konsumsi yang menyebabkan “Kesombongan” dan berlebihan dalam konsumsi yang menyebabkan orang lain tidak bisa mengkonsumsinya.
Adapun etika dalam membelanjakan hartanya yaitu: pertama, menafkahkan hartanya dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir yaitu dengan cara membelanjakan hartanya secukupnya tidak kekurangan ataupun kelebihan, tidak boleh menimbun harta, Rasulullah Saw melarang keras bagi orang yang menimbun harta, beliau berkata :”Saudagar diberi rezeki, sedangkan penimbun dilaknat.” (HR ibnu Majah). Harta harus dibelanjakan baik untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga untuk beramal baik dengan mensedekahkan harta yang kita miliki kepada orang yang membutuhkannya. Kedua, menjauhi mubazir dan memerangi tindakan tersebut dengan cara menyeimbangkan pendapatan yang diperoleh dengan pengeluaran, jangan sampai pengeluaran lebih besar dari pendapatan, kemudian mejauhi hutang dan mejaga aset pokok sebagai dana cadangan ketika diperlukan sewaktu-waktu, menjauhi kemewahan dan pemborosan harta. Ketiga, dalam konteks bernegara, islam memerintahkan pengelolaan harta secara tetap sasaran dan sederhana, dengan orientasi hidup normal dengan persiapan krisis, kebebasan individu diatasi dengan mementingkan kemashlahatan bersama, hemat dalam membelanjakan uang negara.
Etika dalam konsumsi dalam islam bertujuan untuk tercapainya aspek materil dan aspek spiritual dalam konsumsi, kedua aspek tersebut akan tercapai dengan menyeimbangkan nilai guna total dan nilai guna marginal dalam konsumsi. Sehingga setiap muslim akan memaksimalkan dalam melihat nilai guna dari barang yang di konsumsi, sehingga menjadikannya semakin baik dalam menjalani kehidupan. Membelanjakan harta ini tidak lepas dari konsep ibadah untuk mendorong beredarnya harta tidak hanya pada pihak tertentu saja, yaitu sebagaimana Allah Swt. berfiman dalam QS. Al-Baqarah ayat 261 : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah maha luas (karunianya) lagi maha mengetahui.”
Sumber: Andri Bahri S., Etika Konsumsi Dalam Perspektif Ekonomi Islam. Vol. 11, No. 2, Desember 2014:347-370
Ruston Nawawi., Etika Terhadap Harta Dalam Perspektif Al-Quran, QOF, volume 2 nomor 2 Juli 2018Penulis :
Euis Juhrotul Hasanah
(Mahasiwa Stei SEBI)
Prodi Hukum Ekonomi syariah
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar