Mereka Menyebut Saya Antuan. Antuan geba (orang) eNTeTe, Antuan geba Proles (Flores), Antuan geba Lembata.

"Bapa guru, eNTeTe itu dekat Jawa?, Bapa guru, Proles itu dekat Papua?, Bapa guru, Lembata itu breman tiring (sangat jauh)?".

"Lembata itu kalau naik Kapal Sirimau (orang-orang di sini menyebutnya kapal putih), dari Ambon lama perjalanannya tiga siang tiga malam di atas laut".

"Akeba...a...a...a"

Pulau Buru. Jangankan tau, dengar sekalipun namanya tidak pernah. Pulau Buru merupakan negeri dengan aikon penghasil minyak kayu putih. Pulau ini sempat menjadi tempat pembuangan narapidana atau dikenal dengan pulau isolasi bagi tahanan politik zaman orde baru. Sastrawan Pramoedia Ananta Toer juga sempat sepuluh tahun berada di pulau ini.

Kesan seram yang melekat pada Pulau Buru, perlahan sirna berganti harapan. Tahun 2017, menjadi kesempatan bagi ke - 126 anak muda Indonesia, yang merupakan sebagian dari 6000an peserta setelah melewati beberapa tahapan dan proses seleksi dan dinyatakan lulus, rela meninggalkan zona nyaman, hingar bingar keramaian kota, sanak keluarga, suami, istri maupun anak. Semuanya tergabung dalam salah satu program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Guru Garis Depan yang disingkat menjadi GGD (selanjutnya disebut GGD II Tahun 2016 (GGD I sudah berjalan sejak tahun 2015)), untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di daerah 3-T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Dalam rangka mewujudkan salah satu Program Nawacita yang dicanangkan oleh Presiden Jokowidodo.

Hari Pertama di Pulau Buru.

Penghujung bulan September 2017, bersama teman-teman yang berjumlah 126 orang menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Bumi Bupolo (Julukan Untuk Pulau Buru). Pulau Buru dapat ditempuh dengan menggunakan kapal feri dari Kota Ambon dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam. Dengan harga tiketnya sekitar Rp. 120.000. Harga yang masih bisa dijangkau oleh masyarakat kalangan umum. Sabtu, 23 September 2017 bertempat di Aula Kantor Bupati Buru, menjadi langkah awal kami diterima oleh Bupati Buru, Wakil Bupati, Ketua DPRD, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta dihadiri sejumlah pejabat penting lainnya. Setelah acara seremonial penerimaan, ada teman-teman yang langsung dijemput oleh masing-masing Kepala Sekolah (Kepala sekolah saya, tidak hadir waktu itu). SMP Negeri Danau Rana (sekarang SMP Negeri 18 Buru) menjadi tempat pengabdian saya. Tepatnya di Kampung Kaktuan - Desa Waemite - Kecamatan Fena Leisela.

Asa dan harapan yang awalnya penuh semangat dan optimis untuk secepatnya bisa 'naik' (berangkat ke Kampung Kaktuan karena letaknya di gunung) sedikit terhentak dengan rasa pesimis yang menyiutkan nyali oleh cerita dari orang-orang dan masyarakat yang saya temui di Namlea. "Kampung Kaktuan itu jauh, ada di Rana. Danau Rana itu pusat Pulau Buru. Yang tinggal di Rana itu orang belakang (masyarakat setempat menyebut orang belakang karena tinggalnya di gunung atau pedalaman)". "Beta sendiri juga asli orang Buru, lahir dan besar di Pulau Buru, tapi belum pernah sampai di atas (Danau Rana). Itulah sedikit cerita dari mereka yang saya temui di Namlea (Ibu Kota Kabupaten Buru).

Catatan perjalanan dua tahun pengabdian.

bersambung...

#GuruPelosok