Danau Rana (Surga Yang Tersembunyi?)
Ada tiga danau di Indonesia yang namanya rada-rada mirip. Yakni Danau Ranau di perbatasan antara Kabupaten Lampung Barat - Provinsi Lampung dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan - Provinsi Sumtera Selatan, Danau Rana Mese di Kabupeten Manggarai Timur - Propinsi Nusa Tenggara Timur, dan Danau Rana di Kabupeten Buru - Propinsi Maluku.
Di pulau Buru sendiri, tidak hanya menawarkan wisata keindahan pantai dan laut, tetapi juga menyimpan keindahan alam di tengah hutan. Namanya Danau Rana, yang merupakan danau terbesar di Provinsi Maluku. Terletak di Kecamatan Fena Leisela, skitar 75 KM dari Wamlana dan berada pada ketinggian 30 KM dari atas permukaan laut, dan tidak heran jika suhu di sekitar danau ini pada malam harinya terasa dingin. Danau Rana menjadi salah satu pusat peradaban budaya di Pulau Buru yang masih terus dijaga. Di sekeliling danau yang dikenal keramat itu masyarakat adat hidup bersama membaur dengan alam. Alam yang menciptakan dan membentuk mereka dengan segala kekayaan budaya. Hingga kini, begitu akrab di telinga masyarakat sebagai danau yang kental dengan aura mistis. Oleh masyarakat penduduk setempat, danau ini dianggap sebagai tempat yang suci dan sakral. Perahu yang melintasi di atasnya tidak boleh bermesian, harus mendayung dan juga tidak diperbolehkan membunuh binatang yang ada di sekitar danau. Kelebihan lainnya danau ini dikelilingi kampung-kampung adat yang masih memegang teguh budaya dan tradisinya.
Ketika berkunjung sebagai wisatawan, fasilitas yang ditawarkan di Danau Rana tidak seperti di tempat-tempat wisata lainnya. Kita tidak akan menemukan tempat-tempat yang siapkan untuk menginap, tidak akan menemukan hotel berbintang, atau pun restoran yang menyediakan kuliner dengan menu special, atau menyewa kapal-kapal pesiar yang bisa menghantar untuk berkeliling danau. Yang bisa dijumpai adalah keramahan penduduk lokal. Atau saat mengunjungi perkampungan adat warga sekitar danau, pasti akan disambut dengan senyum ramah masyarakat adat Rana, sekaligus bisa mencicipi berbagai jenis ubi-ubian dengan ikan bakar dan juga papeda khas Maluku.
Rasa kagum dengan keindahan danau yang berada di depan mataku seakan tidak hilang. Matahari sedikit sudah mencondong ke arah barat. Sinarnya masih dapat menembus melewati celah-celah pepohonan. Burung-burung lebih banyak terbang jauh atau menempati dahan yang tinggi. Meski demikian, kiacaun-kicauan tak pernah habis meningkahi teduhnya danau. Ingin rasanya berada terus di pinggir danau, bergurau dengan harmoni alam yang mendamaikan. Dari kejauhan dibeberapa titik di tepi danau, tampak perahu para pemancing tradisional dari kampung terdekat tertambat pada akar-akar pohon yang mengangkang ke dalam danau.
Masih berada di sanabang (pelabuhan), sementara jam pada layar HP sudah menunjukkan pukul 15:35 WIT. Sebelum naik ke dalam perahu, Bapak Anton mengenakan lestari atau lengso kepala (pengikat kepala tradisional masyarakat Buru) Bali : Udeng, Jawa : Blangkon)* sambil mengucapkan mantra dalam bahasa daerah Buru dan melemparkan dua lempeng uang koin ke dalam air. Sebagai pertanda meminta izin kepada empunya pemilik danau karena kami berdua adalah orang baru yang akan menyeberang melintasi danau tersebut. Setelah melewati ritual itu, kami dipersilahkan untuk naik ke dalam perahu.
Perlahan-lahan perahu mulai bergerak meninggalkan sanabang mungikuti arah bapak Anton mendayung sambil memutar sahin (penggayung), semakin lama semakin berada di tengah danau. Rasa khawatir dan cemas menyelimuti perasaanku, karena tidak bisa berenang. Dalam pikiranku, jangan sampai perahu yang kami tumpangi itu bisa tenggelam. “Bapa guru, orang Kaktuan semua itu pung (punya) kebun ada di sebelah danau”. “Setiap pagi, baru menyeberang dari kampung pergi ke kebun”, kata bapak Anton memecahkan keheningan di atas perahu menjelaskan. Dari raut wajahku, bapak Anton sudah bisa menebak kalau ada perasaan takut dan gelisah yang sedang bergejolak. “Bapa guru tau berenang ka seng (tidak)?”, kembali ia bertanya dengan logat Malukunya. “Seng bisa bapa”, jawabku. “Bapa guru, seng usah takut. Kita seng akan molo (tenggelam). Kalau kita menyeberang sekitar jam-jam begini seng ada ahut (ombak, arus, gelombang)”. Sambil menyaksikan beliau mendayung, kami berdua mulai banyak bertanya dan bercerita supaya menghilangkan rasa takut dan cemas. Satu jam mendayung melewati riak air yang tertiup angin sore, sampailah kami di sanabang. Laju perahu semakin perlahan mengikuti arah berputarnya sahin yang dimainkan bapak Anton.
bersambung...
#GuruPelosok
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar