Kebaikan dan Toleransi di Kampung Kaktuan
Hidup ini penuh warna. Tetapi di sanalah keindahannya, aneka warna itu yang membuat gairah hidup terus membara. Mereka pun telah menjadi bagian dari ceritaku, keluargaku, dan kehidupanku. Semua masyarakat di kampung tempat tugasku sangat menghargai, menghormati, dan menyayangi siapa pun termasuk guru-guru. Apalagi guru-guru yang mengabdikan diri di kampungnya.
Setelah menempati rumah dinas yang berada di ujung kampung sebelah timur, kami mendapatkan tetangga. Mereka adalah bapa Ber dan mama Meri. Rumah dinas yang kami tempati, tidak jauh dari rumah yang mereka tinggali bersama keluarganya. Beberapa anaknya juga menjadi siswaku di sekolah. Setiap sore, bapa Ber selalu mendatangi rumah kami. Sekedar untuk melihat keadaan kami, mengobrol, dan menikmati kopi sore. Bahkan tidak segan, beliau langsung menuju dapur dan memeriksa persediaan makanan, jangan sampai kami kekurangan atau kehabisan stok makanan.
Setiap mereka kembali dari kebun atau danau, mereka selalu memberikan barang atau pun makanan yang mereka bawa dari kebun, seperti ikan, pisang, kasbi, jagung, keladi, chili, petatas, buah-buahan dan sayur-sayuran. Itu sudah menjadi kebiasaan untuk kami sampai dengan saat ini. Kadang, jika kami sedang tidak berada di rumah, mereka masuk dan menyimpannya dalam rumah. Kebiasaan ini bukan keluarganya bapa Ber saja, namun hampir semua warga kampung Kaktuan.
Kadang, setiap mereka yang ingin memberikan sesuatu kepada kami, mereka terlebih dahulu menanyakan apakah kami bisa makan makanan tersebut atau tidak. Mereka berpikir bahwa apa yang mereka makan belum tentu kami bisa memakannya juga. Mereka sangat menghargai dan tidak memaksakan jika ada makanan tertentu yang tidak kami makan. Apa lagi teman saya berdua, pak Fani dan Ibu Novi adalah seorang muslim.
Toleransi pun selalu mereka tunjukkan terhadap kami. Dalam upacara-upacara adat atau hajatan yang dilakukan di dalam kampung, mereka selalu mengundang kami. Saat mereka akan mengundang kami, mereka terlebih dahulu menyampaikan dan menjemput salah satu temanku untuk memotong beberapa ekor ayam yang memang sudah dipisahkan sebelumnya. Mereka tau, kedua temanku itu yang beragama muslim, tentu makanan yang disiapkan juga tidak sembarangan atau dicampur, yang akan disajikan saat makan bersama. Karena masyarakat kampung Kaktuan yang mayoritas adalah beragama Kristen.
“Bapa guru, kalau tidak ada makanan atau sayur nanti bilang saja di mama, supaya nanti mama ambil di kebun”, itulah pesan yang selalu di sampaikan oleh bapa Ber ketika ia akan pamit pulang dari rumah. Kadang, kami diajak langsung ke kebun mereka. Saat, mau turun ke kota mereka langsung bertanya “Bapa guru, kapan pulang?, pertanyaan itu selalu muncul kalau mereka tau aku akan turun ke kota. “Iya, tidak lama bapa. Kalau urusan di sana sudah selesai, saya langsung pulang”, jawabku. “Iya bapa guru, jangan lama-lama di sana”, timpal mereka.
bersambung...
#GuruPelosok
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Menyenangkan sekali tinggal di tengah-tengah masyarakat yang penuh pengertian seperti itu. Selamat ya Pak. Salam literasi...
Salam kenal dan salam Literasi Bu,
Luar biasa pak guru
Terimakasih Pak Guru,