Kenyang Tanpa Nasi
“Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau….” Kalimat tersebut merupakan cuplikan dari lagu nasional Indonesia, “Dari Sabang Sampai Merauke”. Lagu tersebut menyatakan bahwa Indonesia merupakan satu negara kesatuan yang luas dan terdapat banyak pulau. Pada hakikatnya, lagu tersebut ingin menyatakan keanekaragaman Indonesia, walau begitu Indonesia tetap berdiri sebagai satu bangsa satu negara. Keanekaragaman Indonesia sangatlah banyak jenisnya. Dari keanekaragaman suku, adat budaya, agama, hayati, hingga keanekaragaman masakan.
Siapa pun yang sudah pernah menjejakkan kaki di Maluku, pasti tidak asing lagi dengan makanan yang satu ini. Adalah Papeda, makanan khas orang Maluku umumnya, yang terbuat dari bahan dasar sagu. Pada saat ini daerah perkotaan di Maluku, orang sudah lebih banyak mengkonsumsi beras sebagai bahan makanan sehari-hari. Sagu yang dibuat papeda sudah jarang ditemui hanya pada saat-saat tertentu, atau acara khusus saja papeda disajikan.
Di pulau Buru sendiri terdapat dua jenis bahan dasar untuk papeda. Ada papeda sagu dan papeda kasbi (singkong). Penampilan papeda mirip seperti bubur dengan tekstur kenyal dan lengket seperti lem. Ketika disantap, sajian berwarna putih bening ini punya rasa tawar. Untuk mengambil papeda dari tempatnya menggunakan gata-gata (dua bilah kayu yang terbuat dari belahan bambu yang diraut halus seperti sumpit). Papeda dimakan tidak memakai sendok tetapi disantap langsung dari piring, bagi yang belum terbiasa, bisa memakai sendok untuk memasukannya ke dalam mulut.
Menyantap papeda tak pas bila tidak ditemani kuah ikan kuning. Setelah papeda siap, tuangkan kuah ikan ke dalam piring, lalu tinggal bale papeda ke dalam piring. Setelah dilepaskan dari bilah penggulung itu, papeda kita celupkan ke kuah ikan dengan sendok, suapkan ke mulut, lalu telan langsung tanpa dikunyah. Satu demi satu isapan papeda benar benar memberi kenikmatan sendiri.
Ketika menjejakkan kaki di dataran Rana, kita tidak akan menemukan nasi. Yang ada hanyalah papeda dari bahan dasar kasbi (singkong). Di sini menu utama masyarakat setempat adalah hasil kabun, berupa kasbi, petatas, keladi, dan pisang. Kita benar-benar dimanjakan dengan pangan lokal. Makanan-makanan inilah yang menjadi pengganti nasi.
Matahari baru saja hilang ditelan bumi, menuju ke peraduannya beberapa jam yang lalu. Malam itu, saat duduk mengobrol di depan rumah bersama bapak Anton tiba-tiba kami dikejutkan dengan suara panggilan dari arah dapur dengan menggunakan bahasa daerah Buru. Aku dengan teman Pak Fani tidak mengerti apa yang dibicarakan itu. Ternyata kami dipanggil menuju ke ruang belakang untuk makan malam. Bergegas kami menuju ke sana, aku langsung mengambil tempat di bagian paling pinggir dekat jendela. Di atas meja sudah tersedia beberapa jenis makanan yang siap untuk dinikmati. Mataku langsung tertuju pada mangkuk putih besar berisikan sesuatu menyerupai lem. Aku memperhatikan itu beberapa saat, bapak Anton langsung menangkap gastur mukaku yang sedikit aneh itu. Langsung ia bertanya “Bapa guru dong pernah makan ini ka seng?, sambil menunjukkan mangkuk putih dengan isinya tersebut. “Belum pernah, apa ini bapa?, kembali aku bertanya. “Ini namanya papeda, makanan orang Buru, dibuat dari kasbi yang diparut”, jawabnya lagi menjelaskan. Tanpa lama ngobrol lagi, kami langsung menikmati menu yang sudah di saiapkan malam itu. Papeda kuah asam ikan mujair danau Rana, kasbi dan keladi rebus, dengan sayur paku (pakis).
Selesai makan, tiba-tiba ada celotehan dari bapak Anton “Bapa guru mereka dua sudah makan ini sayur, seng bisa bale lagi ke lao, bapa guru dong sudah dapat paku mati di sini”. “Maksudnya bapa?, aku bertanya dengan rasa penasaran. Kembali ia menjelaskan, “Bapa guru mereka sudah makan sayur paku tadi, nanti seng pulang lagi ke bapa guru punya kampung, karena sudah dapat paku di sini sampe mati nanti”. Namun, Itu hanyalah sejenis mitos atau ungkapan bahwa barang siapa yang sudah makan sayur paku ia akan tinggal atau menetap sampai mati di kampung ini. Biasanya dilontarkan sebagai bahan candaan untuk sekadar mengerjai para tamu, pendatang, atau orang baru yang menetap atau tinggal di kampung Kaktuan.
bersambung...
#GuruPelosok
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar