Kisah Pertama di Kota Namlea
"Apa yang kamu pikirkan ketika mendengar sebutan Pulau Buru?. Menyeramkan?, menakutkan?".
********************************************
Sempat mengingat dan termenung sebelum berangkat dari Lembata daerahku, akan sejarah Pulau Buru yang konon katanya menjadi tempat pembuangan dan pengasingan tahanan politik zaman orde baru. Dan saatnya sekarang aku akan menjadi bagian dari orang buangan di pulau tersebut. Namun semua prediksi berdasarkan sejarah itu hilang dengan sendirinya ketika menjejakkan kaki di Pulau Buru.
*****
Jumat malam, 22 September 2017, di atas kapal feri, saat pernyeberangan dari Kota Ambon menuju Namlea, aku bertemu juga dengan teman‐teman dari NTT (Nusa Tenggara Timur) yang sama‐sama sepenempatan di Kabupaten Buru yang berjumlah tujuh orang. Berarti, bukan aku sendiri saja yang dari NTT. Di antaranya saudara Hendrikus Gabu dari Kabupaten Manggarai Timur dan Emilius Dagur dari Kabupaten Manggarai, yang sebelumnya sudah pernah bertemu dalam kegiatan BIMTEK PKB (Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan) di Hotel Twin Plasa, Jakarta Desember 2016.
"Dan saatnya sekarang saya akan menjadi bagian dari orang buangan di pulau tersebut."
Setelah acara penerimaan di Kantor Bupati Buru, teman‐teman yang dijemput oleh masing‐masing kepala sekolah langsung berangkat ke tempat tugas karena lokasi penempatan yang dekat dengan kota kabupaten. Sementara kami yang sisanya, berjumlah sekitar 50‐an orang kambali ke penginapan. Kantor Yayasan Masjid Al‐ Buruuj Namlea, yang belum digunakan untuk sementara kami tempati. Tidak ada satu pun saudara, keluarga, maupun kenalan yang ada di Namlea.
Sementara nasib naas menghampiri temanku Handrikus Gabu. Sepulangnya dari kantor Bupati sekitar pukul 12.00 WIT, ia singgah sebentar ke warung untuk mengisi perutnya yang keroncong. Sekembalinya dari warung, ia langsung mengeluh sambil menahan rasa sakit di kakinya yang sudah membengkak akibat penyakit asam urat. Ia tidak bisa berjalan, hanya berbaring saja di atas lantai. Ke kamar mandi pun, aku dan teman Emilius Dagur harus menggotongnya.
Meskipun letak masjid tempat kami menginap berada di tengah kota, namun cukup jauh dengan warung makan. Saat sarapan, makan siang atau pun makan malam, kami harus sedikit berolahraga menyusuri jalanan di tengah kota untuk membeli makanan. Ketika aku dengan saudara Emilius Dagur keluar untuk mencari makan, kami juga tidak sampai kelamaan di luar, karena teman Hendrikus Gabu yang sedang menunggu dalam keadaan sakit. Sedih rasanya berada di perantauan, dengan kondisi teman yang lagi sakit.
*****
Walau sakit di perantauan adalah satu hal yang sangat tidak diinginkan oleh siapa pun. Terpikir, andaikan orang tua yang jauh di sana tahu, mungkin pikirannya sudah tidak karuan. Namun, menjadi pengalaman pribadi akan amanat dan pesan dari orangtua sebelum merantau yang mengatakan, "Pandai‐pandailah berteman di sana" cukup bisa dilakukan. Punya teman baik di perantauan, sangat berguna dalam kondisi seperti ini. Temanlah yang menjadi keluarga terdekat. Walau mungkin kesan dan perhatian tak seperti orangtua yang dirindukan. Tetapi, setidaknya dalam situasi seperti ini ada yang bisa membantu. Tidak bisa terbayangkan, bagaimana kalau belum kenal siapa‐siapa. Mungkin untuk membeli makanan, harus jalan keluar sendiri sambil menahan rasa sakit.
bersambung...
#GuruPelosok
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Luar biasa, ditunggu lanjutannya
Terimakasih Ibu,