Menuju Rana Yang Disebut Sebagai Penjara
Hawa yang dingin menyelimuti tubuh, membuat orang malas untuk bangun dari tidurnya. Namun pagi yang begitu dingin itu tidak ikut membekukan semangat kami mempersiapkan diri untuk segera berangkat. Sayang jika momen indah ini dibiarkan berlalu tanpa meninggalkan jejak. Mentari pagi belum juga beranjak dari peraduannya, sementara jam pada layar HP sudah menunjukkan pukul 05:30 WIT.
Bersama teman-teman yang berjumlah tujuh orang, kami berkumpul di rumahnya Bapak Ode Hartawan (salah satu bapak piara di kampung Wamlana yang berasal dari Sulawesi Tenggara), sementara mobil yang akan kami tumpangi sudah menunggu. Sebentar lagi kami akan berangkat menuju Rana, didampingi Bapak Abas Salasiwa (waktu itu menjabat sebagai Kepala UPTD Kecamatan Fena Leisela). Rasa penasaran dengan jalur yang fenomenal menuju Rana, tempat yang biasa disebut sebagai ‘Penjara’ bagi guru-guru yang berstatus PNS yang mendapatkan SK penempatan di sana.
Jalan menuju Rana, bekas jalan loging Perusahaan Wahana Potensi yang belum beraspal dan tentunya berlumpur, terdapat jurang di pinggir kiri kanan yang kondisinya sangat menguji nyali siapapun yang melintasi jalan tersebut. Sulitnya akses jalan menuju Rana sebanding dengan pemandangan pegunungan yang indah. Naik turun bukit dan lembah, kita bisa menyaksikan berbagai jenis pohon besar yang tinggi menjulang bebas ke atas langit. Sementara kabut perlahan-lahan mulai menutupi kawasan pegunungan. Sesayup suara burung dan binatang hutan lainnya terdengar bersahut-sahutan.
“Rasa penasaran dengan jalur yang fenomenal menuju Rana, tempat yang biasa disebut sebagai ‘Penjara’ bagi guru-guru yang berstatus PNS yang mendapatkan SK penempatan di sana”.
Harapan untuk bisa mencapai kampung Waegrahi yang menjadi terminal masyarakat setempat yang berdiam di sekitar Danau Rana untuk bepergian ke kota, ternyata harus pupus di tengah jalan. Jembatan kayu darurat di kali Nipa yang berjarak sekitar 35 Km sebelum kampung Waegrahi putus akibat hujan besar yang mengguyur. Di pinggir kali Nipa kami harus turun dari mobil, selanjutnya makan siang dengan bekal yang sudah kami siapakan dari Wamlana dengan kondisi basah dan hujan yang terus mengguyur. Sebelumnya kami sudah mendirikan tenda sederhana, beratapkan terpal milik warga yang dimuat juga dalam mobil yang kami tumpangi. Selesai makan siang sekitar pukul 13.00, kami melanjutkan perjalanan menuju Waegrahi dengan berjalan kaki di bawah guyuran hujan. Berliku-liku, naik turun gunung. Bekal sisa yang dibawa terpaksa harus kami habiskan di jalan supaya bisa mengurangi beban yang kami bawa. Kurang lebih enam jam berjalan kaki, tibalah kami di kampung Waegrahi sekitar pukul 18.00.
bersambung...
#GuruPelosok


Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar