Menyingsing Kesunyian di Kampung Kaktuan
Sanabang Berilahing namanya, tempat menambatkan perahu, pintu masuk kampung dari pinggir danau. Segera aku mengayunkan kaki begitu turun dari dalam perahu. Meski masih terasa lemas, aku berusaha untuk berjalan. Kuluruskan kedua kakiku yang sedari tadi menekuk di dalam perahu, kutarik kedua tanganku ke atas supaya otot yang tegang kembali rileks.
“Bapa guru, kampungnya masih di atas”, kata bapak Anton. “Jauh ka dekat?”, kembali aku bertanya. “Iya, kita jalan kaki sekitar dua puluh menit begitu”, jawabnya. Dari pinggir danau kami melanjutkan perjalanan menuju kampung. Letaknya yang berada tepat di atas bukit, mengharuskan kami kembali mendaki. Tanjakan terjal sangat menguras tenaga siapa pun. Tanjakan dari pinggir danau, membuat otot-otot kakiku harus kuat menahan berat badanku ini. Beberapa kali aku harus beristirahat, sekadar mengambil napas yang agak panjang. Dua puluh menit kemudian, sampailah kami di kampung. Terlihat, segerombolan anak-anak yang berbondong mengikuti langkah kami menuju rumahnya bapak Anton. Setibanya kami di sana, langsung disambut oleh istrinya bapak Anton dengan senyum ramahnya dan mempersilahkan masuk ke dalam rumah. Kami pun masuk ke dalam rumah, dan segera duduk di ruang depan.
Beberapa saat kemudian, muncul lagi istri bapak Anton dari dapur dan menyuguhkan kami masing-masing segelas kopi dengan kacang tanah khas Rana yang sudah dishangrai. Sambil mengobrol, datanglah beberapa bapak yang adalah tokoh masyarakat dan juga aparat dusun kampung Kaktuan. Kami pun berjabatan tangan saling berkenalan, dan kembali melanjutkan ngobrol. Dari obrolan kami sore itu, aku bisa menangkap apa yang disampaikan oleh beberapa bapak itu seperti yang diucapkan sebelumnya oleh Bapak Porwisi sewaktu masih di Waegrahi. Sepertinya ada harapan dan rasa terimakasih dengan kehadiran kami yang akan mengajar di kampung Kaktuan, baik SD maupun SMP.
Dari balik jendela matahari bergerak perlahan menuju peraduannya. Kemudian, perlahan menghilang menyisahkan semburat jingga yang turut memudar. Terlihat dari celah-celah dinding papan, beberapa rumah yang menyalakan lampu pelita meski hanya temaram, pun hanya di bagian teras dan beberapa bagian rumah. Obrolan malam sudah selesai. Makan pun sudah tuntas. Kuah asam ikan mujair Danau Rana dengan papeda jadi sajian istimewa yang terasa begitu alami dan nikmat. Satu persatu semua tamu yang berdatangan dari sore tadi, setelah beberapa jam ngobrol mulai berpamitan pulang. Waktu sudah menunjukan pukul 22:55 WIT.
Di depan rumah, sudah tidak tampak lagi lalu lalang orang atau pun anak-anak muda yang sekedar duduk untuk nongkrong. Semua orang seakan, sudah menyusupkan badannya ke dalam selimut tebal dan hanyut dalam mimpi. Hingga gulita malam menyelimuti, kesunyian di kampung Kaktuan kian bertambah. Angin bertiup kencang dan guruh terdengar menyambar-nyambar di kejauhan. Suara binatang malam pun mulai tidak terdengar. Dingin dan sepinya malam, mengiringi langkah jarum jam menuju keheningan tengah malam. Satu jam, dua jam, dan waktu terus terasa begitu lama. Semua penghuni dalam rumah tertidur dengan pulas.
Sementara di luar rumah mulai terdengar lolongan anjing membelah malam, melengkingkan suara memecah kesunyian dalam sepinya malam seperti ratapan narapidana menjalani hukuman gantung dihadapan serdadu abad pertengahan. Apakah ia melihat rombongan malaikat atau setan gentayangan? Malam ini, jeritannya mendentum penuh aura kematian. Susana kampung jadi mencekam. Rasa takutku semakin memuncak.
Dalam hatiku bertanya “Apakah aku sendiri yang sedang berada di kampung ini?, apakah aku sendiri atau merasa sendirian?” Pertanyaan yang muncul dalam hati dan tak pernah mendapat sebuah jawaban pasti. Aku sendiri di tanah rantau, pulau Buru. Tanah kelahiranku, tempat di mana aku berasal nun jauh di sana, Lembata. Sebagai orang asing di sini, tentu aku merasakan kesunyian. Batinku perlahan terusik. Rasa rindu pada pelukan hangat orang tua dan aroma punggung telapak tangannya melekat dalam memoriku. Aku ternyata tenggelam beberapa jam untuk memikirkan semuanya itu. Malam semakin larut, namun rasanya mata ini sulit ditutup. Tiba-tiba aku disadarkan dari pikiran itu, ketika hembusan angin malam mulai menusuk tulang yang semakin dan terus menghantarku hingga terlelap dalam tidur.
bersambung...
#GuruPelosok
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren PakSalam Literasi
Terimakasih Pak, salam Literasi...
Mantul pak guru
Hhhh, terimakasih Bang
Hhhh, terimakasih Bang