Rinduku Melesat Bersama Kereta Malam (H 4)
Goncangan kereta membawaku melesat menuju ke peraduan bapak Pertiwi. Tempat dimana aku menghabiskan hari-hariku bersama keluarga kecilku.
Bertemu keluarga tercinta adalah dambaan setiap insani setelah sekian lama pergi. Tidak bertemu sehari seperti sewindu lamanya. Apalagi ini sudah beberapa hari aku tidak memeluk anak semata wayangku. Bagiku mereka adalah separo nyawa dalam jiwaku. Rasa cinta dan sayangku kepadanya tak tergantikan oleh apa pun. Terus kupandangi kilauan lampu jalanan dari dalam kereta, kelip sinar dari kejauhan menandakan kalau keretaku telah melesat jauh dari pusat keramaian. Mungkin. Karetaku berjalan cepat secepat kilat, semakin lama semakin kencang, menembus malam di jam sebelas lewat satu malam. Dinginnya gerbong kereta dengan dingin 16% C selaksa di kutup dengan dingan 8%C. Berrr... Semakin malam semakin terasa dingin. Tanpa jaket, selimut, dan bantal aku tetap bertahan dengan dingin dan perasaan iba karena mengingat si buah hati yang selalu bertanya,
"Kapan pulang," tanyanya. Sesekali aku telp dan video call untuk mengobati rasa rindunya. Supaya hatinya tenang walau berjauhan.
"Besok sudah sampai rumah", jawabku tenang. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehku adalah syarat kepulanganku dari bepergian yang notabene tempat dinasku adalah zona merah (salah satu cluster terbesar virus Corona di Indonesia).
"Kalau sudah sampai rumah harus isolasi mandiri, tidur di kamar sendiri, kamar mandi sendiri, jangan makan minum memakai peralatan rumah dulu, jangan ngumpul dulu dengan kami, selalu memakai masker, demi keselamatan kita semua". Begitu banyak syarat yang harus aku penuhi. Tetapi biarlah tidak apa-apa dari pada aku harus menentangnya dan jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sama saja aku tidak menghargai keputusan anak semata wayangku. Dan aku takut selamanya dia pasti merasa menjadi orang yang tidak berguna. Tidak-tidak, aku tidak mau mendidik anakku dengan didikan yang salah. Aku mau dia menjadi intan yang bersinar. Menerangi kegelapan menebas kemunafikan.
Suara lonceng kereta telah berbunyi lagi. Pertanda kereta akan berhenti di salah satu stasiun pemberhentian. Ya, benar ternyata harus berhenti di Solo stasiun balapan, jadi teringat lagunya almarhum Didi Kempot Stasiun Balapan.
Seperti biasa petugas kebersihan yang lalu lalang menawarkan jika ada sampah akan dibawanya beserta karung yang dia bawa. Petugas berseragam laksana tentara juga terlihat sibuk lalu lalang di lorong gerbang kami. Lama kereta ini berhenti di Solo. Semua bertanya-tanya sambil menoleh ke lorong depan serta belakang. Sementara belum ada informasi apa pun dari petugas melalui suara. Semua semakin panik dan riuh. Hampir 1 jam kami menunggu kereta berjalan. Tetapi tidak kunjung berjalan. Semua panik, karena sekali lagi tidak ada informasi apa pun dari petugas. Kami hanya melihat petugas mondar mandir dari gerbong satu ke gerbang lain.
"Ada apa ini, ada apa?", tanya penumpang dalam gerbong mulai ricuh. Tiba-tiba petugas bagian informasi memberikan keterangan terkait kereta kami yang lama harus berhenti.
"Para penumpang yang terhormat, perlu kami sampaikan bahwa gerbong kereta kami telah mengalami masalah di bagian mesin, karena itu dimohon semua penumpang tetap tenang sambil menunggu perbaikan.... ". begitulah kira-kira isi pengumuman dari petugas, dan beberapa pengumuman yang tidak dapat aku ingat lagi.
Bagiku tidak apa-apa harus menunggu lama. Tetapi beberapa penumpang lain harus panik karena keterlambatan kereta tiba di tempat tujuan.
"Kita turun saja, karena bakalan terlambat tiba di tujuan kalau", tukas penumpang lain di sebelahku..
"Terus, kita akan naik apa?" tanya penumpang lain yang mungkin saja satu rombongan.
"Naik bus saja, bagaimana?" tanyanya kepada teman-temannya.
"Okelah", turunlah rombongan sekitar 5 orang dari kereta.
Tidak ada yang mencegah karena itu adalah keputusan penumpang yang resikonya harus dia terima jika ada apa-apa nantinya.
Selang dualuluh tujuh menit lewat sepuluh detik, berbunyilah informasi kalau kereta akan segera melanjutkan perjalanannya.
"Alhamdulillah", ucap syukur para penumpang seiman.
Yang aku pikirkan dan mungkin seiisi gerbong pikirkan adalah rombongan penumpang yang turun tadi. Apakah sudah mendapatkan kendaraan untuk melanjutkan perjalanan? Atau mungkin masih menungu-nunggu kendaraan lain. Mengingat mereka harus turun dan naik kendaraan umum sebelum menuju ke terminal naik bus.
Ah, biarlah itu urusan mereka. Yang jelas keretaku sudah mulai berjalan, satu jam lebih harus berhenti di Solo karena sesuatu hal. Dan kini perjalanan bisa kita lanjutkan.
Goncangan lembut gerbong kereta telah kami rasakan seperti alunan melodi dalam caffe berkelas. Suara peluit petugas bagai seruling lagu Lesti KDI.
Alhamdulillah, kupejamkan mata sambil kunikmati guncangan gerbong kereta. Sambil kubayangkan bagaimana senangnya semata wayangku menunggu kedatanganku, tanpa peluk tanpa cium, tanpa berjabat tetapi kami akan saling mengungkap.
Keluarga kecilku, tunggu aku. Sebentar lagi aku telah sampai di pangkuanmu. Keretaku telah membawa anganku menari membayangkan bagaimana berada di pelukanmu kembali. Saat nanti.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bu pipik... semangat terus ya
Terimakasih Bu Enik, semoga tidak terjun bebas ,,, hehehe
keren Bunda, Salam Literasi
Alhamdulillah, terimakasih. salam Literasi
Keren bu guru
Alhamdulillah, terimakasih, salam.literasi
Alhamdulillah, salam Literasi kembali