Popon Siti Mariah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Day 5 : Bumi Manusia, Mengapa dibredel ?

Day 5 : Bumi Manusia, Mengapa dibredel ?

Sesungguhnya saya sudah membaca buku ini pada tahun 1984, waktu itu tertarik membacanya karena orang yang meminjamkan menceritakan bahwa buku ini dilarang. Tapi jujur saja nyaris tak ada yang saya ingat mengenai alur cerita dan tokoh2nya. Yang saya ingat hanyalah bahwa settingan waktunya pada masa kolonial Belanda, dan tokoh utamanya bernama Minke serta ada seorang tokoh totok yang terlibat kehidupan di rumah bordir. Saat membaca dulu tidak ada satupun kesan pada diri saya yang menyetujui alasan pembredelan buku ini.

Beberapa bulan yang lalu saya menemukan buku lain yang berjudul jejak langkah, ditulis oleh pengarang yang sama : Pramoedya Ananta Toer. Ternyata nama tokohnya sama : Minke. Oleh karena itu saya balik halaman saya baca sinopsisnya ternyata ini merupakan rangakaian tetralogi edisi pulau buru.

Setelah akhirnya saya berhasil memiliki ke empat nya, saya bertekad membaca ulang tetralogi ini secara tersusun mulai dari buku ke satu hingga ke empat. Tiada lain agar bisa dipahami alurnya secara runtut dan berharap bisa menangkap benang merah pesan dari ke empat nya, yang menjadi penyebab buku ini harus dibredel. Apakah karena tulisannya, atau karena penulisnya?

Bumi Manusia sendiri merupakan buku kesatu, dengan settingan waktu penghujung abad 19. Tepatnya penulis menandai waktu penobatan Sri Ratu Wilhelmina yang cantik rupawan menduduki tahta kerajaan Belanda 7 September 1898 hari Jumat legi.

Dilihat dari sentral cerita dan tokoh-tokohnya, buku ini adalah sebuah roman yang menceritakan kehidupan seorang pemuda pribumi yang sudah berpendidikan yang terlibat dalam kehidupan keluarga gundik tuan Belanda. Minke sang pemuda cerdas dan berpendidikan tinggi itu secara kebetulan masuk ke dalam kehidupan Nyai Ontosoroh yang secara otodidak mampu menjelma menjadi seorang wanita kuat, berwibawa, anggun dan berwawasan luas berkat pengajaran tuan nya dan buku-buku yang dia baca.

Singkat cerita, tokoh Minke akhirnya berhasil memperistri Annelies gadis Indo yang berkepribadian pribumi hasil hubungan Nyai Ontosoroh dengan Tuan Mellema. Akan tetapi kisah percintaan mereka berakhir tragis, dengan terenggutnya sang istri oleh keputusan pengadilan Amsterdam. Begitu juga hasil usaha kerja keras tanpa libur Nyai perkasa itu, harus terampas oleh keputusan pengadilan yang sama dan dilimpahkan pada penguasaan anak dan istri sah tuan Mellema di Nederland.

Alur cerita nya seperti itu, sebuah roman kehidupan. Akan tetapi sesungguhnya ini bukan sekedar kisah kehidupan segelintir Minke dan Nyai Ontosoroh semata. Nama-nama tokoh ini nampaknya oleh penulis dijadikan perwakilan kisah-kisah yang beragam dari banyak Minke, pemuda pribumi yang mencari kesetaraan dan juga ribuan wanita bangsa ini yang dulu disebut bangsa Hindia yang bernasib baik atau buruk menjadi gundik tuan - tuan Belanda atas niat sendiri ataupun dipaksa oleh keadaan.

Penulis berhasil menggambarkan suasan kehidupan manusia Jawa saat itu yang harus tunduk pada kemauan penjajah Belanda.

Tokoh Minke yang berpendidikan, tokoh Nyai Ontosoroh yang berwawasan yang mengadakan perlawanan pada ketidak adilan bangsa Eropa. Adalah cara penulis menyampaikan pesan pentingnya pendidikan yang membuat lebih melek hak-hak nya sebagai bangsa. Itu yang dapat saya tangkap, berdasar asumsi saya. Perlakuan tidak adil yang diterima pada masa itu mulai diberikan perlawanan secara intelektual : tulisan di Media masa. Media masa sendiri, saat itu sudah terbagi dua, seperti juga orang Belandanya sendiri : pro kolonialisme atau dominansi suatu bangsa atas bangsa lain, dan liberalisme yaitu kesetaraan semua bangsa di dunia. Tulisan-tulisan Minke di koran-koran berhasil membakar simpati sesama pribumi dansegelintir Belanda totok. Kelihatannya, hal-hal seperti ini yang akhirnya menjadi spora yang menebar semangat kebangsaan.

Dapat dikatakan, dari sinilah perlawanan masif pribumi sebagai suatu bangsa. Bangsa Hindia, bukan sekelompok atau satu suku bangsa seperti masa-masa sebelumnya. Dan inilah dampak dari pendidikan dan arus informasi yang mulai merasuk saat itu.

Disisi lain para pribumi penggerak itu juga harus melawan kenaifan atau keserakahan bodoh sesama pribumi dengan penyakitnya yang umum : gusar pada diri sendiri memuja semua yang berbau Eropa. Padahal ada banyak prinsip hidup mulia yang dimiliki pribumi dan tidak kalah atau bahkan tidak ada pada bangsa Eropa. Intinya, selain pendidikan dan kemajuan teknologi bangsa Hindia seharusnya tidak menghinakan diri sendiri.

Ada satu kalimat menarik bagi saya : kalau bangsa penjajah hidup makmur di negaranya, tidak mungkin mereka datang meninggalkan kenyamanan keluarga dan pergi ke benua yang jauh

Secara keseluruhan buku ini membakar semangat kebangsaan dan rasa hormat pada pribadi bangsa.

Sejauh ini, saya tidak menemukan bagian mana buku ini yang membahayakan kehidupan berbangsa. Maaf, pernyataan ini tidak bermaksud menentang penguasa negara kita saat itu yang melarang beredarnya buku ini. Pernyataan ini hanya pengakuan ketidak cerdasan, ketidak pekaan saya pribadi atas kalimat -kalimat om Pram.

Mungkin, kalau tulisan saya ini ada yang baca, sudilah kiranya menunjukkan apa yang saya maksudkan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap bu

28 Jan
Balas

Terima kasih....

28 Jan

Wow, ulasan yang keren. Sukses selalu dan barakallahu fiik

29 Jan
Balas

Alhamdulillah....

29 Jan



search

New Post