Day 7 : Hitam Putih Ken Arok (Wajah kelabu sejarah Nasional )
Novel Arok Dedes Pramoedya Ananta Toer telah menorehkan kepenasaranan saya untuk mengetahui sejelasnya dari versi sejarah asli. Didaptlah buku ini : Hitam Putih Ken Arok, dari kejayaan hingga kejatuhan, yang ditulis oleh Drs. H. Muhammad Syamsudin, M. Si.
Apa yang didapat di bagian-bagian awal buku ini membuat saya terkejut, dan jujur kecewa. Mengapa...? Karena seperti yang disampaikan diawal, saya membaca buku ini adalah untuk konfirmasi atas apa yang ditulis di novel Arok Dedes. Tapi apa yang didapat, bahkan sejak bagian awal buku ini sudah banyak kutipan rujukan kepada novel tersebut!
Saya balik lagi sampul buku ini, jelas tertulis the fact of history. Penulisnya...? Dosen. Bagaimana ini? Masa buku ilmiah merujuk ke novel?
Untungnya saya segera dapat penawar kekecewaan itu. Seorang teman yang kebetulan mengajar bahasa Indonesia menjelaskan bahwa, novelnya om Pram adalah novel sejarah. Ceritanya merujuk pada sejarah,sumber sejarah, yang karanagan hanyalah bagian pengembangannya saja bukan bagian pokoknya. Peristiwa, tokoh dan tahun masih bisa dipertanggungjawabkan sesuai sejarah yang tertulis resmi.
Ok.... Saya paham. Kalau begitu saya lanjut membaca buku ini. Walau, dalam hati saya berjanji untuk konfirmasi pada pihak-pihak lain nya untuk second opinion.
Namun, nampaknya saya tidak lantas sepenuhnya bahagia membaca buku ini.
Dari buku ini kemudian saya menyadari bahwa sesungguhnya sejarah nasional Indonesia yang selama ini kita yakini, ternyata tidak sepenuhnya sesuai pakta yang akurat. Terbukti, di buku ini, pak Muhammad Syamsudin berkali-kali menurunkan kutipan rukukan mengenai suatu dari beberapa buku,ternyata ada beberapa perbedaan.
Sebagai contoh : asal-usul Ken Arok. Mengenai siapa ibu dan ayahandanya ternyata ada beberapa pendapat. Begitu juga beberapa tokoh keturunan Ken Arok yang kemudian menduduki tahta kerajaan Tumapel yang kemudian menjadi Singasari. Ada beberapa nama yang tidak jelas. Demikian juga penyebab kematian Anusapati, ada yang mengatakan karena sakit, ada juga yang mengatakan karena dibunuh oleh Tohjaya.
Demikian juga dalam kitab-kitab kuno seperti Negarakertagama, Pararaton, yang disinggung di buku ini juga ada perselisihan mengenai nama tokoh dan tahun. Ada kesan, kitab kuno tersebut juga tidak ditulis berdasarkan fakta sebenarnya. Tetapi disesuaikan dengan tuntutan situasi saat itu. Jadi, dapat dikatakan sebagai dipolotisi saat itu.
Hal ini, sungguh membuat syok saya yang awam sejarah. Padahal, selama ini saya berpendapat kita bisa belajar dari analisa sejarah untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Atau kalau kita ingin menciptakan situasi yang kita kehendaki, kalau mau menggunakan analisa sejarah, maka bisa saja hasilnya malah gagal total.
Ini adalah tantangan bagi kita semua. Akankah mewariskan keaslian atau kepalsuan sejarah, bagi generasi penerus bangsa ini?
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar