Literasi ABG di Negeri Ginseng
Abaikan foto sefinya. Fokus saja pada narasinya. Sebab ini urusan literasi. Jangan banyak bertanya, tapi banyaklah membaca.Tapi kali ini saya harus banyak bertanya, he he.
Kali ini memang benar-benar tidak biasa. Bertemu tanpa sengaja dengan tiga cewek ABG di kebun bunga, di Korea. Mereka berpenampilan tidak lazim, sebagaimana umumnya masyarakat Korea. Dalam situasi seperti yang saya alami ini, pasti membuat siapapun bertanya-tanya. Tanpa terkecuali saya.
Karena identitas mereka sudah sangat terang benderang; berjilbab, berkukulit sawo matang, dan tentu saja berwajah Indon. Maka, sayapun memberanikan diri sekedar untuk bisa memulai percakapan, dengan menyapa: "Assalamualaikum". Serempak mereka bertiga menjawab "Waalaikumus Salam".
Nah, benar. Dugaan saya tidak meleset. Ternyata mereka anak-anak dari Indonesia. Sudah dua hari mereka berada di Korea. Hanya bertiga dan tanpa guide. "Kok berani, kok tidak kesasar berada di negeri orang, dan tanpa guide lagi?", tanyaku lagi. "Ah, Gampang pak. Jauh hari, sejak di tanah air, tentang Korea sudah kami pelajari. Di-googling saja", jawab mereka, seraya cengar-cengir menunjukkan gadgetnya.
“Ah...benar. Ini era teknologi informasi, ini era digital", gumam saya dalam hati. Dunia ada di ujung jari. Informasi berjibun. Akses informasi serba mudah didapat. Tinggal mau membaca apa tidak? Tinggal mau memanfaatkan informasi untuk menyelesaikan kepentingan kita apa tidak? Masih mau banyak bertanya atau mau banyak membaca? Di korea tidak perlu banyak bertanya untuk urusan kepentingan pribadi kita, yang berkaitan layanan publik. Semua informasi sudah tersedia. Semua tinggal klik di gadget kita. Semua ada di ujung jari. Tinggal mau membaca apa tidak? Tampak terasa sekali detak kehidupan era 4.O berada di negeri ginseng.
Tingkat literasi masyarakat korea tampaknya sudah cukup tinggi. Mereka tidak suka berisik di tempat umum. Kebanyakan membaca dan asyik dengan gadgetnya. Anak saya, yang jadi guide selama saya berada di Korea, tidak pernah banyak bertanya kepada orang, walau hanya sekedar untuk mendapatkan info tentang kesulitannya di tempat publik. Ia cukup buka-buka semua informasi di gadegetnya. Semua layanan publik sudah dilengkapi dengan informasi dan petunjuk yang sangat jelas.
Saya jadi teringat tulisan tentang literasi di media online, Kompasiana beberapa waktu yang lalu. Saya sepakat dengan pengertian literasi yang disampaikan Education Development Center (EDC). Bahwa, literasi itu bukan sekadar kemampuan baca-tulis. Lebih dari itu, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya. Literasi mencakup kemampuan membaca kata dan membaca dunia. Jika kita menggunakan terminologi surat Al ‘Alaq, yang dikenal sebagai wahyu pertama, perintah iqra’, maka membaca di sini mengandung subtansi pengertian membaca yang hakiki, fundamental dan sekaligus luas.
“Membaca” dalam berbagai makna yang terkandung di dalamnya merupakan syarat pertama dan utama bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekaligus membangun peradaban. Sejarah membuktikan bahwa peradaban-peradaban yang berhasil eksis dan tahan lama, justru diawali dari sebuah kitab (bacaan), kata Quraish Shihab.
Sampai di sini semoga kita sepakat bahwa membaca yang dikaitkan dengan (gerakan) literasi memiliki subtansi, makna, ruang lingkup, sasaran, objek yang cukup luas dan beragam. Membaca buku dan menulis merupakan tahap kesekian kali dari upaya “membaca” yang jauh lebih ruhaniah, substantif dan maknawi.
Apabila paradigma tersebut ditransformasikan dalam Gerakan Literasi Sekolah (GLS), maka aktivitas membaca buku setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, bagaikan aktivitas mayat hidup-aktivitas tanpa nyawa, bangunan tanpa pondasi. Mengapa?
Secara sederhana kita membagi objek kajian baca menjadi tiga, yakni membaca diri, alam semesta, dan kitab suci. Proses belajar sekolah yang cenderung bergaya linier robotik justru mengabaikan kenyataan bahwa siswa adalah manusia. Ia yang bukan hanya dibekali Tuhan kemampuan bawaan, tetapi sosok dengan keunikan khas yang akan mengemban amanah kehidupan masa depan.
Robotisasi yang diselenggarakan sekolah sesungguhnya menafikan hakekat membaca, yakni membaca kenyataan diri sebagai manusia. Gerakan literasi yang digelorakan sekolah belum menyentuh sisi paling fundamental yang dibutuhkan siswa sebagai manusia.
Siswa diajak belajar ini dan itu, meneliti fakta sains, menghitung nilai matematis, mempelajari teks-teks keagamaan, namun hal itu justru kontra produktif. Karena semakin diajak bergerak keluar, siswa semakin merasa asing dengan dirinya. Terhadap kenyataan siapa diri ini, sekolah belum menganggapnya penting. Siswa cukup diberi tugas membaca teks yang tertulis dan itu disebut gerakan literasi.
Semakin banyak kata yang disandingkan dengan literasi. Bahkan “informasi” yang semakin melimpah kini menjadi “bahan” tersendiri yang perlu diliterasikan. Literasi informasi, literasi media dan sejumlah frase bentukan lainnya menunjukkan kita sedang tidak dalam keadaan melek mata. Hoax yang membanjiri arus informasi merupakan fakta bahwa gerakan literasi kita masih sepihak, sepenggal-sepenggal, terkotak-kotak dan kehilangan maknanya yang subtansial.
Nampaknya, gerakan sadar literasi harus semakin digelorakan di negeri kita. Literasi yang tidak sekedar berisi aksi membaca dan menulis, tentunya.
Salam Literasi
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen ulasannya, Pak. Sukses selalu. Salam literasi!
Terima kasih pak. Aamiin yra. Salam literasi.