Telo (singkong) dan roti merupakan makanan yang menunjukkan status sosial. Telo identik makanan masyarakat kelas bawah. Kuliner kaum the have not. Bahkan telo menjadi simbol kebodohan. Buktinya, anak yang lambat belajar mesti dikatakan, "oooo pancene telo"

Pada musim kemarau, telo dijemur. Setelah kering namanya berubah menjadi gaplek. Gaplek ini disimpan. Baru dipakai saat paceklik. Gaplek menjadi bahan dasar gatot dan tiwul yang menjadi makanan favorit rakyat kecil saat kemarau panjang.

Secara perlahan, telo mulai naik kelas seiring adanya proses kreatif dari tangan tangan terampil dari orang orang yang visioner. Lahirlah bakpia telo, kripik telo. Bahkan gaplek pun sudah diolah dan tersedia dalam kemasan. Tinggal menanak saja jika ingin membuat thiwul.

Berbeda dengan roti, menunjukkan makanan kelas atas. Zaman dulu, kalau tidak dari kalangan the have tidak bisa makan roti. Masyarakat tidak heran kalau anak anak dari kaum Borjuis itu cerdas, karena tiap hari makan roti. "Pantas wong tiap hari makan roti, " katanya.

Hingga saat ini roti, bertahan menjadi simbol makanan kelas atas. Roti juga merupakan lambang kemewahan. Untuk mendapatkannya butuh perjuangan yang keras. Buktinya, masih ada yang mengatakan luwih becik mangan telo tapi nyoto tinimbang mangan roti tapi ngimpi. (Lebih baik makan singkong beneran dari pada makan roti tapi mimpi