Priya Santosa

Priya Santosa, M.PdI ...

Selengkapnya
Navigasi Web
“ MENGUPAS PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN !”

“ MENGUPAS PENDIDIKAN YANG MEMERDEKAKAN !”

Sebagai pendidik hari hari ini serasa kiamat!. Betapa tidak selaku guru dihadapkan berbagai aturan serta kebijakan mulai ditingkat propinsi hingga ke pusat. Berbagai perubahan kebijakan kebijakan tersebut yang terkait sekolah begitu tidak istiqomahnya, dan kadang memojokkan guru di luar tugas tugas dinasnya. Selayaknya diketahui, Sekolah adalah salah satu penyebab hierarki sosial yang terjadi di masyarakat. Kira-kira begitulah ungkapan Bourdieu tentang perbedaan status sosial masyarakat berkaitan dengan modal sosial dan simbolik yang terbentuk setelah seseorang mengenyam pendidikan. Siapa sangka dengan pendidikan tersebut justru menjadikan seseorang seolah merasa lebih perlu dihargai dari orang lain dalam konteks bermasyarakat. Tak jarang terdapat hal sederhana yang terjadi di institusi pendidikan kita dan bisa membuat gelak tawa jika mengingatnya. Suatu waktu salah seorang siswa yang akan meminta tanda tangan guru pengajar tidak mau tanda tangan hanya karena gelarnya lupa ditulis, atau salah seorang pengajar geram ketika mengetahui tugas akhir buat laporan karya wisata siswanya satu pun menulis daftar pustaka. Dan, masih banyak sederet kisah yang tidak substansial dengan konsepsi pendidikan yang memerdekakan.

Ini artinya, ketika seseorang mendapat pendidikan lebih tinggi, secara tidak langsung berharap kapital budaya dan kapital simbolik itu melekat pada mereka yang secara serta merta menuntut masyarakat sekitar untuk mengamininya pula. Karakter seperti ini cukup banyak bergentayangan di kalangan mahasiswa kita dengan lingkup borjuisitas di kalangan mereka. Lalu karakter yang melekat itu pun seakan menjadi kebiasaan yang terus direproduksi dan akhirnya mengakar secara turun temurun. Patut kita renungkan ungkapan Tan Malaka: Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya lebih tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali"

Jika menelusuri tentang kutipan di awal, apa yang diungkapkan Tan Malaka bukan hanya terjadi dalam konteks ketika zamannya para kaum terdidik mencari aman dengan diberikan posisi di pemerintahan kolonial, namun hal ini sering terjadi juga dalam konteks kehidupan modern saat ini. Kaum terdidik lebih banyak terpusat di satu titik dengan alibi ketidaktersediaan lapangan kerja ketika kembali ke kampung halaman. Jadilah mereka menjadi tenaga yang dieksploitasi meski dengan bekerja tidak sesuai dengan kompetensi yang pernah digeluti.

Lalu ketika berbicara tentang sederet problematika pendidikan kita saat ini, jika para pelajar, ataupun mahasiswa kita masih tertanam dalam pikiran mereka bahwa pendidikan yang tinggi adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak nantinya, maka dikotomi antara layak dan tidak layak tersebut perlu didefinisikan secara tuntas. Misalnya, ketika seorang sarjana peternakan yang notabenenya akan bergelut dengan ternak dan kandang, lebih memilih untuk sekedar sebagai tenaga penyuluh yang hanya berkoar-koar tentang kesehatan ternak dan pakan yang baik dari pada mempraktikkan langsung sebagai peternak. Dan itu menurut mereka hal layak dengan status mereka yang lebih mengetahui tentang peternakan.

Sementara masyarakat yang memang pekerjaan mereka sebagai peternak, mencari rumput, atau memberi makan ternak dan membersihkan kandang, itu hal yang wajar mereka lakukan, dengan alasan mereka yang terikat dan bertanggung jawab atas itu. Seolah para sarjana terdidik tidak layak untuk melakukan apa yang dilakukan masyarakat kita yang tidak mengenyam pendidikan tinggi. Layak dan tidak layak menjadi hal yang tidak substansial jika merujuk pada kiprah yang bisa dilakukan dalam konteks bermasyarakat. Tentu saja sebab masih adanya gengsi yang menjadi barikade untuk seorang terdidik melakukan pekerjaan yang menurut definisi relatif mereka antara layak dan tidak layak tersebut.

Pendidikan yang memerdekakan bukan pula sebatas membebaskan diri berpikir melewati batas-batas yang distandarkan masyarakat secara umum. Namun juga memerdekakan akal budi untuk berperilaku sosial positif yang persuasif dan emansipatoris terhadap masyarakat sekitarnya. Misalnya, seorang terdidik harus berupaya melawan batas-batas sistem yang selama ini menjadikan masyarakatnya tertindas, dan menjadi pelopor untuk sebuah perubahan yang berorientasi pada pembebasan masyarakat untuk tidak terus menerus terkungkung dalam pemikiran yang terkotak-kotak dan cari aman sendiri. Akan tetapi mendobrak kesadaran mereka untuk berpikir bagaimana sebuah tatanan sosial yang setara untuk kesejahteraan bersama menjadi hal penting untuk diwujudkan.

Lalu terkait dengan upaya memerdekakan masyarakat dalam hal intelektualitas, banyak hal yang bisa dilakukan para kaum terdidik kita untuk sekitar mereka dengan kompetensi keilmuan yang telah mereka dapatkan. Salah satunya menjadi pegiat pendidikan untuk generasi bangsa di sekitar mereka, tidak mesti bergelut dalam situasi formal, pendidikan secara non formal pun merupakan hal yang cukup luar biasa untuk mereka mau meluangkan waktu membagikan ilmu kepada orang lain. Bahkan di beberapa daerah, pegiat pendidikan atau pegiat literasi bukan dari orang yang pernah mengenyam pendidikan tinggi, akan tetapi mereka yang mempunyai kepedulian tinggi untuk memerdekakan generasi bangsa agar berwawasan luas. Hal tersebut seharusnya menjadi lecutan bagi guru dan stake holder pendidikan. Guru notabene menjadi agen perubahan untuk menjadikan orang lain terdidik juga, alih-alih sekedar mencari aman dengan status ketinggian pendidikan yang telah mereka dapatkan. Maka hal pokok yang mesti juga dibangun dalam pendidikan kita bukan hanya soal kognisi dan kompetensi dalam bidang keilmuan yang mereka geluti, melainkan kognisi sosial untuk sebuah kepedulian dengan mata dan hati terbuka. Untuk sekitarnya sangat vital untuk ditanamkan sejak dini.Wallu Alam bi showaf!

Madiun, Maret 2018

Penulis Alumni Sekolah Penulis

Kelas Ngawi dn P4TKIPA

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Hebat Pak. Salut atas artikel bernas ini. Salam Kenal ....

18 Mar
Balas



search

New Post