Priya Santosa

Priya Santosa, M.PdI ...

Selengkapnya
Navigasi Web
“RAMALAN RONGGOWARSITO: HAI GURU DAN SARJANA MENULISLAH!”

“RAMALAN RONGGOWARSITO: HAI GURU DAN SARJANA MENULISLAH!”

Bekal perjalanan abadi adalah, Iman dan amal baik, sholeh dan benar. Pada era yang penuh hikmah ini, informasi disruptif di lini masa selalu menggerakkan hati nurani kita. Menggerakkan persepsi kita, menggerakkan imajinasi-imajinasi kita, menggerakkan cara kita menyikapi peristiwa demi peristiwa. Bahkan, pada satu titik ia mampu menggerakkan fisik kita dalam tindakan-tindakan kasat mata. Kehidupan seperti debu dalam literasi masyarakat membaca terbukti melonjak luar biasa. Membaca celotehan di grup Whatsapp, caption Instangram, membaca unggahan di Facebook, membaca caption Instagram,termasuk membaca tulisan-tulisan dari situs-situs web yang sayarasinya ada pad level wallahualam. Lho, ini bukan sarkas lho. Semua kegiatan itu tetap merupakan aktivitas membaca, to?

Masyarakat kita ini, saya rasa, membuat lompatan peradaban inovasi disruptif yang tidak taat silabus. Kita belum selesai dengan budaya literasi cetak, tahu-tahu tradisi literasi online sudah berkuasa dengan begitu cepatnya. Fondasi kita belum cukup kuat untuk menyaring banyak hal dan menyingkirkan sampah-sampah yang terlalu cepat memenuhi ruang-ruang akses informasi kita. Membunuh media cetak dengan mekanisme yang namanya viral! Waktu yang masih tersisa. Terjawab dengan keriuhan dunia baca-membaca di zaman ini dihidupi oleh siapa pun. Revolusi media sosial menyajikan parade kebebasan bersuara. dalam layar multi tasking kecil di genggaman tangan kita. Mulai pakar pakar Astronomi, Bioengenering, hingga anak geng motor yang menyentuh buku saja seumur-umur belum pernah membaca, semua bisa menyajikan cerita. Semua orang sekarang bisa menulis, dan semua jenis tulisan bisa terbaca! Luar biasa, bukan? Indonesia adalah gudangnya penulis produktif! Ini harus kita rayakan ! bersulang! Nah, setelah berpesta ria dengan keriuhan tulisan , mari duduk sebentar. Kita lihat dulu, sebagian besar tulisan yang menghegemoni terpola diseminasi hingga WA remaja remaja masjid, grup grup kampong, grup bimtek, atau arisan desa , itu tulisan yang seperti apa? Betulkah sebagian besar tulisan-tulisan itu mencerdaskan, memberikan data sayarat dan bertanggung jawab, atau minimal mengajarkan pembenahan cara berpikir dan bersikap? Tidak? Kenapa begitu? Ya karena yang lebih tekun menulis adalah populasi "penulis nomaden" dan "penulis aborigin ranting patah" yang memang tidak melandasi aktivitas mereka dengan pertanggungjawaban ilmiah apa pun. Contohnya: keponakan saya sendiri. Ini bukan omongan genit sok rendah hati. Tapi keponakan saya memang tidak memiliki kualifikasi keilmuan tertentu. Keponakan saya menulis asal sesuai dengan apa yang terlintas di pikiran, asal merasa bahwa yang ia pikirkan itu benar. Itu thok, tanpa landasan ilmiah yang sepantasnya. Dan malangnya, spesies seperti keponakan saya inilah populasi terbanyak penulis dunia maya! Sampai di sini, muncul pertanyaan pentingnya: lalu di mana para guru guru, dan sarjana kita? (Ketika saya menyebut istilah "guru", maksud saya tentu tidak sesederhana lulusan S1 perguruan tinggi, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi akademis hebat, hingga level master dan doktor sekalipun.) Memang sih, lumayan juga ada beberapa orang berpendidikan tinggi yang mengisi keriuhan dunia maya. Namun bisa dibilang cuma itu-itu saja, dan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan angka jumlah guru yang sarjana atau master atau doktor kita secara keseluruhan. Nggak usah jumlah sarjana S1, lah. Di antara para doktor Indonesia yang jumlahnya cuma tigapuluh ribuan orang itu, cuma ada berapa biji yang mendominasi percakapan di dunia maya? Saya menduga, penyebab minimnya jumlah guru dan sarjana aktivis dunia maya setidaknya ada tiga. Pertama, para guru dan sarjana terlalu membatasi diri dengan menulis jurnal ilmiah. Harga diri intelektual mereka ditancapkan semata dengan jurnal. Tentu saja itu tidak salah, sebab menulis jurnal wajib hukumnya, dan memang itulah salah satu tugas utama yang harus dipenuhi oleh para akademisi. Namun jika berhenti di situ saja, gagasan mereka hanya akan dilahap oleh sesama kalangan elite pengetahuan. Tidak bisa lebih dari itu. Dalam bahasa yang lebih kejam, para guru dan sarjana yang semata menulis jurnal sekadar mengabdi kepada dunia keilmuan, tapi lupa mengabdi kepada masyarakat dari mana mereka dilahirkan. Maka saya agak merasa melow, ketika dua tahun silam seorang profesor ternama yang mengajar di sebuah universitas negeri berceramah di hadapan para akademisi UNESA Surabaya dalam sesi Presenter Utama,Sympoisum Nasiona Biologi, : "Kalau kalian akademisi, ya jangan nulis di koran. Itu jatahnya para penulis. Akademisi ya nulis jurnal ilmiah!" Saya memang kenal betul dengan Profesor ini. Ungkapannya serasa mendengar sejenis kesombongan, bahkan kampanye sikap antisosial. Mungkin saya salah, atau cuma lagi PMS saja. Tapi belakangan muncul di beranda Facebook ku tulisan Asit Biswas, profesor di National University of Singapore, dan Julian Kirchherr, peneliti di Oniversity of Oxford. Keduanya membuat pengamatan dan estimasi bahwa sebuah tulisan di jurnal ilmiah rata-rata hanya dibaca hingga tuntas oleh 10 orang. Ya, sepuluh orang! Bayangkan, betapa elitisnya wacana yang dibagikan dalam jurnal-jurnal, dan betapa terbatas jangkauannya. Lalu bagaimana gagasan orang-orang pintar di universitas memberikan faedah berlimpah bagi para jelata sudra pengetahuan macam kita-kita? Kedua, banyak guru dan sarjana memiliki wacana, kalau toh menulis untuk publik, bahwa media cetak tetap lebih berwibawa. Maka mereka terus menulis di media cetak, sembari tak percaya media online. Ini riil, Lalu lonceng kematian Koran sindo, Suara Merdeka, Harian Rakyat , Surabaya Post, belum mengubah paradigm itu. Mereka tak sadar, bahwa koran cetak terkuat di Indonesia yang kusebutkan , oplahnya konon sekarang cuma 300 ribu eksemplar. Anda menulis opini di koran tersebut, belum tentu terbaca oleh separuh dari ke-300 ribu pelanggan. Sebab terlalu banyak pelanggan yang tak punya waktu untuk membaca halaman opini. Romantisme jargon klasik, "Ah, rasanya bau kertas tetap romantis, dan tak tergantikan oleh bau layar sentuh semutakhir apa pun." Mesti ditinggalkan Bandingkan dengan tulisan di dunia maya. Sebuah tulisan laris sangat mungkin dibaca oleh lebih dari sekadar 300 ribu orang. Sebab ada satu mekanisme di dunia online yang tidak dimiliki dunia cetak, yakni viral. Secara teknis, membagi sebuah tulisan di dunia maya sangat mudah. Dalam hitungan menit, sebuah gagasan tertulis bisa tersebar kilat ke puluhan grup Whatsapp, grup BBM, Maka kadang saya malah geli kalau ada penulis yang memaksa diri memviralkan tulisan cetak dengan cara memotretnya, mengunggahnya di sayan Facebook, lalu orang-orang membacanya sambil memicing-micingkan mata hehehe.. Ketiga, karakter dunia maya yang cair agaknya membuat martabat intelektual para guru sarjana terluka. Tulisan-tulisan dunia maya sering diracik dengan enteng, lentur, kadang sangat dipengaruhi warna “tradisi kearifan local:” style bertutur oral. Sementara banyak guru dan sarjana yang masih percaya bahwa tulisan bermutu adalah tulisan yang bisa membikin stroke pembacanya, dengan tumpukan istilah ilmiah, kutipan-kutipan hebat, serta nukilan referensi yang menggetarkan hati. Maka, dunia maya pun terlalu nista untuk dijadikan wadah gagasan adiluhung mereka. Koheren dan terintegrasi, peran para akademisi, para guru dan sarjana, para orang pintar yang jelas kualifikasi keilmuannya, ditantang untuk Nyolot Tanpo Sothang, Lalaku Andhap Anshor, kalau orang Jawa mengungkapkan. Melompat ke depan tapi tidak meremehkan dan memojokkan orang lain. Melompati dan berlari dikeriuhan peradaban yang sudah sedemikian tak terlawan, masuk ke dalam siklon puting tornado dumay. Fenomena badai literasi hari ini telah diyakini dan diramalkan oleh pujangga mashur keraton Surakarta, Raden Ngabei Ronggo Warsito ( 1802-1873) yang menuliskan fenomena tersebut dalam Serat kalatidha : Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunya ruri, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sarjana sujan kelu, Kalulum Kalatidha, Tidhem tandaning dumadi, Hardyayengrat dening karoban rubeda. ( Kini martabat Negara tampak jadi sunyi sepi, Rusak pelaksanaan aturannya, karena tanpa keteladanan, adat tata susila ditinggalkan, orang bijak dan ahli terseret , hanyut dalam zaman bimbang, hilang tanda tanda kehidupan, Dunia sengsara didera pelbagi ujian cobaan). Wallu Alam bi Showaf.

Madiun, Maret 2018

Penulis

Alumni SAGUSABU KELAS NGAWI DAN P4TKIPA

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Setajam SILET saya suka. Salam literasi. Saya menulis dengan hati saja. Biar lah mau diklasifikasikan klas embek, atau klas jangkrik. Pokoke nulis..

26 Mar
Balas

Jenengan sudah senior jeng saya baru latihan menulis he he he

26 Mar

Hebat, mantap,namun kita tetap menulis,menulis, dan membaca. Benar begitu Pak

26 Mar
Balas

Benar . saya baru Latihan menulis

26 Mar

Superrr Pak. Salam literasi

26 Mar
Balas

Salaam kembali b is. Latihan menulis

26 Mar

Mantab .... Lebih-lebih kalau ikuti tantangan membuat Antologi di gurusianer's ...

26 Mar
Balas

Siaap

26 Mar

Baru latihan saja sudah luar biasa. Mantabbbb...Pak. Salam Literasi dari Medan. Sukses selalu. Baarokallah.

26 Mar
Balas

Ya b Raihana salam kembali untuk saudara saya yang ada di medan

26 Mar



search

New Post