Purbo Kuncoro

Namaku Purbo Kuncoro. Saya lahir di Pekalongan pada tanggal 26 April tahun 1960. Ayah saya bernama Sijam Sami Adji dan ibu saya bernama Sudijanti....

Selengkapnya
Navigasi Web

Gen 60. Bisnis (1)

Hari ke 356 kolom

Gen 60

Bisnis (1)

Kali ini saya akan menulis mengenai bisnis yang pernah saya lakukan. Sedangkan tentang permainan yang dilakukan Gen 60 saya tunda dulu. Hal itu disebabkan sebagian besar Gen 60 hampir sama permainannya, dan itu oleh kacamata sekarang dinamakan permainan tradisional.

Bisnis atau usaha atau dagang merupakan kegiatan hidup manusia yang mendasar. Di dalam bisnis tentu ada produsen atau penjual (pedagang) dan pembeli (konsumen). Orang yang bergerak di bidang bisnis sesungguhnya perantara antara produsen dan konsumen. Penyalur barang dari produsen baik petani, maupun industri rumah tangga atau pabrik kepada pembeli (konsumen) maupun pedagang kecil (eceran). Dengan kata lain orang bisnis itu bisa berkedudukan sebagai distributor alias penyalur barang.

Orang yang bergerak di bidang bisnis disebut sebagai bisnisman. Satu hal yang menjadikan seorang disebut bisnisman jika ia selalu memandang sesuatu itu bisa menghasilkan. Yang penting jadi duwit atau uang dan menguntungkan walau serupiah. Untung satu rupiah kalau sehari bisa menjual sampai jumlah satu juta, maka akan dapat penghasilan satu juta rupiah. Contoh jual tusuk sate. Satu tusuk sate dijual dengan keuntungan satu rupiah per biji. Jika sehari bisa menjual sejuta biji (tusuk), maka sehari mendapat keuntungan satu juta rupiah. Itulah otak seorang bisnisman.

Ada sebuah cerita seorang perajin batik tulis menjual batiknya kepada juragan batik atau pemilik toko batik. Perajin itu membawa dua kodi kain batik ditawarkan pada juragan dengan harga per kodi satu juta rupiah. Juragan batik menawar per kodi tujuh ratus lima puluh ribu. Perajin tadi setuju sehingga dua kodi dibayar sejuta lima ratus ribu rupiah. Juragan segera memasukkan batik tersebut ke dalam etalase.

Perajin belum beranjak dari toko batik dan belum menerima uang dari juragan, tiba-tiba masuk seorang kaya dengan mengendarai mobil menanyakan kain batik terbaru.

"Bos, apa punya kain batik terbaru?"kata orang itu.

"Ada. Ini baru masuk,"jawab juragan batik. Setelah ditunjukkan kain batik yang baru saja dimasukkan etalase orang kaya itu langsung menanyakan harga.

"Berapa per kodi?"tanya orang itu.

"Dua juta,"jawab juragan batik.

"Sudah dua kodi saya ambil semua. Jadi berapa?"kata orang kaya itu.

"Empat juta."

"Apa tidak bisa kurang?"tanya orang kaya itu.

"Pas harganya,"jawab juragan batik. Orang kaya itu langsung membayarnya. Setelah dua kodi batik dibungkus, orang kaya itu lalu pergi. Si perajin menyaksikan transaksi tersebut.

Si juragan begitu menerima uang dari pembeli tadi, langsung membayar lunas pada perajin.

"Bos, tambahi dong lima puluh lagi, tidak tujuh ratus lima puluh,"kata perajin.

"Tadi kesepakatan per kodi tujuh ratus lima puluh. Ini saya bayar lunas,"jawab juragan batik.

"Tapi bos tadi menjual dua juta rupiah per kodi. Bos sudah untung banyak. Masa tidak menambahi?"kata perajin batik.

"Lha, menjual itu terserah saya. Saya tawarkan dua juta, orang tadi langsung bayar. Itu hak saya. Tadi anda sepakat tujuh ratus ratus lima puluh ribu ya saya bayar lunas,"kata juragan batik. Perajin batik itu cuma diam.

Itulah sebuah contoh pemikiran seorang bisnisman dan perajin.

Saya dilahirkan bukan dari keluarga pedagang atau bisnisman. Jadi tidak terbiasa berpikir bisnis atau usaha dagang. Apalagi cari untung.

Saya teringat ketika sudah punya sepeda motor merk Honda Prima tanpa sengaja ikutan berbisnis emping. Hal itu dikarenakan saudara sepupu saya pada suatu sore bulan Ramadhan tiba-tiba datang ke rumah "dinas" dengan mengendarai mobil bak terbuka.

"Mas Pur, apa bisa mencarikan emping?"tanya adik sepupu.

"Bisa Butuh berapa kg?"kata saya balik bertanya.

"Dua kwintal, mas. Berapa harganya?"kata adik sepupu.

"Sebentar, biar mbak Lis yang tanya,"jawab saya. Lalu istri saya ke tempat tetangga yang kebetulan juragan emping. Istri cepat kembali.

"Ada dik Pendi, sekilo empat ribu lima ratus,"kata istri saya.

"Pas, harganya, dik,"jawab istri. Adik sepupu langsung setuju, dibayar tunai. Mobil lalu digeser ke rumah juragan emping. Ia minta dibungkuskan per kg karena untuk THR karyawan dan anggota koperasi tempat ia bekerja.

Lumayan mendapat untung seratus ribu rupiah. Uang segitu pada tahun 1990an masih memiliki aji atau nilai. Cukup besar.

Setelah adik sepupu memesan emping, istri saya minta agar saya setiap pulang sekolah jual emping keliling kampung di Kedungwuni.

"Lumayan, pak. Bisa untuk beli pakaian anak-anak dan buat lontong opor. Bisa memberi bingkisan lebaran untuk ibu bapak,"kata istri saya memberi motivasi.

Pada waktu itu sudah memasuki pertengahan bulan ramadhan. Hari raya idul Fitri hampir tiba. Mulai jualan saya hanya membawa emping mentah 10 kg dan emping klethuk 10 kg. Emping itu kami bungkus per kilo. Emping itu saya letakkan dijok sepuluh kilo dan di depan juga sepuluh kilo.

Pertama saya edarkan di desa saya , Podo kecamatan Kedungwuni. Emping dua puluh kilo itu habis dalam waktu sesore. Emping klethuk saya jual lima ribu per kilo dan emping biasa saya jual empat ribu lima ratus. Pulang dari Kedungwuni saya mampir di pasar Sentiling kota Pekalongan, survei harga emping biasa. Ternyata harga emping di pasar enam ribu per kilo. Berarti emping yang saya jual masih di bawah harga pasar.

Hari kedua saya membawa dua puluh kilo lagi. Emping masih saya jual di desa Podo Kedungwuni. Kadang dari siang sampai sore menjelang berbuka saya dua tangkep ( dua kali pp Limpung-Kedungwuni). Saya jualan emping sampai menjelang H-3 hari idul Fitri. Kurang lebih selama 12 hari saya bolak balik Limpung-Kedungwuni. Keuntungan yang saya dapatkan lumayan, kira-kira seratus dua puluh ribu rupiah.

Demikian di tahun-tahun berikutnya setiap bulan Ramadhan, terutama dua minggu menjelang lebaran saya mremo, jualan emping keliling desa di daerah Kedungwuni dan kota Pekalongan. Rata-rata meningkat hingga empat kwintal lebih selama dua belas hari. Itulah bisnis yang pernah saya jalankan pada tahun-tahun awal sebagai guru PNS.

Kemudian istri saya menyuruh saya jualan baju dari anak-anak sampai orang dewasa. Mendreng istilah orang kampung. Tapi usaha tidak kami lanjutkan karena setiap menagih tidak bisa 100 persen dapat. Hem dewasa seharga dua puluh ribu saja jual dua puluh lima ribu. Angsuran per Minggu lima ribu. Kadang orang yang utang tidak di rumah. Kalau di rumah bayar tiga ribu rupiah sambil bilang.

"Mas, aku punya uangnya segitu thok. Minggu depan saya dobel."

Itu hanya sekedar alasan. Oleh karena itu saya putuskan berhenti. Modal mendreng ternyata harus tiga kali lipat. Satu yang beredar, satu untuk pengadaan dan satu untuk cadangan. Modal lima ratus ribu waktu itu habis tak kembali.

"Saya tidak cocok mendreng, Bu,"kata saya pada istri.

Limpung, 26 Januari 2021.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post