Purbo Kuncoro

Namaku Purbo Kuncoro. Saya lahir di Pekalongan pada tanggal 26 April tahun 1960. Ayah saya bernama Sijam Sami Adji dan ibu saya bernama Sudijanti....

Selengkapnya
Navigasi Web

Malam mencekam

Malam mencekam

Aku pernah dapat cerita dari teman yang ikut transmigrasi tahun 1980 di Riau. Rumah yang ditempati berdinding papan beratapkan seng. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sekitar 100 m. Penerangan dengan lampu minyak tanah. Ada yang menggunakan petromax, dan ada yang menggunakan lampu teplok. Ada yang berpatungan membeli diesel untuk penerangan beberapa rumah. Penerangan dengan diesel hanya dilakukan oleh orang yang ahli mesin diesel. Lagi pula mencari bahan bakarnya, bensin juga sepekan sekali jauh di kota.

Mendengar cerita temanku itu, aku tidak bisa membayangkan betapa berat perjuangan kaum transmigran di tanah Sumatera. Apalagi jika malam hari. Sepi. Sunyi.

Ternyata aku yang tinggal di Jawa pun mengalami. Tak jauh berbeda dengan orang yang ikut transmigrasi. Tinggal di rumah dinas yang berdinding papan dan beratapkan seng. Jauh dari tetangga. Tetangga terbatasi lapangan milik sekolah berjarak kurang lebih 100 meter.

Saat siang hari pada musim kemarau hawa di dalam rumah terasa panas. Gerah di badan, berkeringat. Untung di sekitar rumah dinas banyak tumbuh pepohonan. Persis di depan rumah ada dua pohon mangga dan pohon rambutan. Satu besar dan yang satu kecil. Pohon rambutannya agak ke utara sekitar 2 meter dari pohon mangga yang kecil. Kemudian sebelah timur laut ada 10 batang pohon melinjo. Depan rumah sebelah timur dari pohon mangga yang besar tumbuh pohon flamboyan dengan ketinggian kurang lebih10 meter. Di belakang rumah, arah barat daya ada dua batang pohon randu. Batangnya berdiameter dua dekapan tangan orang dewasa. Di belakang rumah sekitar sumur terdapat dua rumpun pohon pisang aneka jenis, seperti pisang kapok, pisang Ambon dan pisang susu. Sepanjang wangan tumbuh beberapa batang pohon kelapa dan rumpun bambu ori. Dengan dikelilingi pepohonan hawa sekitar rumah sejuk. Adem.

Penerangan sekolah menggunakan listrik diesel. Jaringan listrik diesel ini milik pak Muchlis, kepala desa Pungangan. Listrik diesel ini untuk satu pedukuhan, dukuh Mojo. Sekolahku juga menggunakan listrik ini untuk penerangan bagian depan dan beberapa ruang di belakang seperti laboratorium dan perpustakaan serta rumah penjaga malam yang sekaligus digunakan sebagai warung makan atau kantin untuk melayani kebutuhan siswa saat istirahat. Akupun menyalur listrik dari ruang guru, hanya 10 watt. Satu bolam di luar rumah dan yang satu bolam lagi di ruang tamu. Sedangkan penerangan kamar tidur, kami menggunakan lampu teplok berbahan bakar minyak tanah. Listrik diesel menyala dari pukul 05.45 sampai pukul 21.00. Setelah jam 9 malam, diesel akan dimatikan, sehingga seluruh kampung menjadi gelap gulita. Sebagai gantinya setiap rumah menyalakan lampu teplok.

Malam setelah listrik diesel padam penerangan tinggal lampu teplok di kamar tidur. Lampu teplok itu aku tempelkan dengan paku di dinding. Selain lampu teplok, kami juga menyediakan lampu ceplik.

Lampu ceplik ini aku buat dari botol tinta pulpen. Tutup botol tinta itu aku lubangi. Lalu lubang itu aku masukkan sepotong kecil seng yang kami bentuk seperti sedotan. Tekukan seng aku pasangi sumbu dari sobekan kain bekas. Kemudian botol tinta aku isi dengan minyak tanah. Didiamkan beberapa menit agar minyak tanah merambat ke sumbu. Lampu ceplik ini aku nyalakan saat subuh ketika mau memasak persiapan berjualan. Atau ketika malam hari mau ke sumur.

Suasana malam terasa mencekam setelah listrik diesel padam. Sekeliling sekolah dalam keadaan gelap gulita. Deretan gedung sekolah bagaikan raksasa tidur. Bayangan hitam legam membujur. Warung makan penjaga malam yang berjarak 50 m dari rumah dinas hanya tampak kelip lampu teplok lewat kaca jendela.

Musik pengantar tidur mulai mengalun. Suara burung hantu di pohon mangga depan rumah dinas berirama teratur. Huk...huk...huk. Burung hantu lebih dari seekor. Burung hantu ini sedang berburu mangsa. Tikus dan katak. Tikus sawah yang berlarian di sepanjang teras gedung bercericit menjadi mangsa lezat bagi burung hantu. Katak galur yang bersembunyi di bebatuan atau akar pohon berbunyi sesekali. Krok. Beberapa keluarga katak hijau bersahutan di persawahan belakang sekolah. Kepak sayap kelelawar mencari serangga memukul-mukul dinding sekeliling rumah. Suara belalang daun berwarna hijau seperti suara burung pada malam hari. Tiirr....tirr...tiirr.

Angin berhembus kadang kencang menggoyang dahan-dahan flamboyan yang bergesekan dengan seng atap rumah. Srek...srek... srek menimbulkan kekhawatiran di hati. Angin pun kadang mengungkit-ungkit seng seperti mau lepas.

Bila musim penghujan angin yang bertiup kencang sambil membawa air hujan masuk diantara sela-sela papan. Bagian dinding kamar tidur sudah saya lapisi kertas bekas kalender sehingga butiran air hujan tidak mengenai kasus tempat tidur. Papan sengon menjadi lembab. Basah terkena air hujan.

Kami bertiga pukul 21.00 harus sudah beranjak tidur. Anak kami di tengah. Bersembunyi di balik selimut tebal tak menghiraukan segala bunyi-bunyian di sekeliling rumah dinas. Kami hanya berdoa semoga pohon randu dan flamboyan patah dahannya mengenai rumah kami

Limpung, 05 Februari 2021

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post