PURWATI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
EYANG KAKUNG
Cerpen sebagai karangan fiksi sangat strategis untuk menebarkan nilai-nilai luhur suatu bangsa. Melalui cerita yang ditulis, pengarang ingin menyampaikan sesuatu yang positip, dari sudut pandangnya. Cerita-cerita yang ditulis bisa terinspirasi dari mana pun. seperti cerita Eyang Kakung ini terinspirasi dari peristiwa nasional pada tahun 2008.

EYANG KAKUNG

EYANG KAKUNG

Sore menangis. Duka menyungkup di Ndalem Agung. Sejak kemarin bendera putih berkibar di pintu gerbang sebagai tanda bagi pelayat. Karangan bunga dari sahabat dan kerabat teronggok di pekarangan timur. Rumah berarsitektur joglo yang berdiri di pekarangan seluas seribu meter persegi ini sudah dipersiapkan untuk menyambut sanak keluarga, sahabat, dan handai taulan. Mereka hendak ikut bertahlil. Karpet berwarna biru tua mendominasi ruangan-ruangan di rumah itu. Sejak pukul lima sore tadi lampu-lampu sudah dinyalakan. Pintu gerbang sudah dibuka sejak pagi.

Prosesi pemakaman dilakukan siang tadi. Sepanjang prosesi berlangsung mendung menggelayut memayungi wilayah pemakaman . Setelah azan duhur, peti jenazah diturunkan ke liang lahat, sesuai permintaannya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Awan semakin tebal. Suasana duka semakin dalam. Tak lama setelah prosesi selesai hujan pun turun. Rupanya alam ikut berduka atas kepergian Eyang Kakung.

Meskipun hanya mantan pemimpin, Eyang Kakung sangat dicintai rakyat. Sebagai korban kekejaman politik, di akhir hidupnya dia menyendiri. Sisa waktunya ia gunakan untuk merenung dan bersuci. Demi kembali ke jalan Illahi, ia rela menyepi sendiri.

Hampir tujuh belas tahun dia menjauhi dunia ramai. Ia habiskan masa-masa akhir hayatnya dengan anak-anak dan cucu. Meskipun pesaing-pesaingnya mencemooh dan menghujatnya, kebaikan dan kebijaksanaannya tetap terukir dihati sanubari para kawula. Hal ini terbukti dengan banyaknya pelayat dari semua golongan menyempatkan diri menghadiri prosesi pemakaman siang tadi. Masyarakat yang tidak sempat hadir di pemakaman atau di Ndalem Agung, menyelenggarakan salat gaib, doa bersama, dan tahlilan dari tempat masing-masing. Semua itu mereka lakukan sebagai wujud duka cita kepada mantan pemimpin yang terpinggirkan.

Untuk memberi kesempatan kepada warga sekitar ikut mendoakannya, anak-anak Eyang Kakung menggelar tahlil bersama di Ndalem Agung. Rencananya selama tiga hari ke depan, Ndalem Agung terbuka lebar untuk umum. Semua anggota keluarga siap menyambut tamu-tamu yang hadir. Malam itu Jeng Har dan adik-adiknya berkumpul menyatu bersama tamu-tamu.

Sebelum acara tahlil dimulai, Jeng Har menyampaikan sambutan. Sambutan yang sangat singkat itu mampu membangkitkan kenangan akan kebesaran Eyang selama ini. Bagi kawula yang hadir malam itu, jasa Eyang selama ini benar-benar dirasakannya. Tak sedikit yang meneteskan air mata karena terkenang kearifannya.

Matur nuwun rawuhipun. Kami sekeluarga memohonkan maaf atas kesalahan yang telah Eyang lakukan selama ini. Mudah-mudahan panjenengan kerso memaafkan,” begitu Jeng Har mengakhiri sambutannya sebelum tahlilan dimulai.

Tahlil yang dipimpin Kiai Haji Maksum berlangsung hidmad. Setelah para tamu pulang ke rumah masing-masing, terasa sekali sepi bergayut menyelimuti seluruh wilayah Ndalem Agung. Suara-suara binatang malam terdengar memilukan di telinga anak-anak Eyang. Jeng Har dan adik-adiknya pun duduk terpekur di kamar Eyang. Kamar yang telah menjadi saksi sejarah perjalanan hidup keluarga Eyang Kakung selama ini.

*****

Pada malam ke tujuh sejak meninggalnya Eyang Kakung, di desa Karang Giri, tempat Madi tinggal, akan diselenggarakan tahlil bersama untuk mendoakan Eyang. Sudah banyak warga berkumpul di kelurahan mempersiapkan segala sesuatunya. Namun, Madi, Pakes, dan Abdul masih nongkrong di pos ronda. Mereka sedang mengenang perjalanan hidup Eyang Kakung.

”Mad, kamu belum minta maaf kepada Eyang, ya? Sekarang kesempatanmu meminta maaf kepadanya sudah tertutup,” kata Pakes.

”Iya, Mad. Hati-hati saja. Empat puluh hari nanti kamu ditagih maaf lo. Eyang akan bangkit dari kuburnya, untuk mencarimu,” sambung Abdul menakut-nakuti.

”Ah, kalian. Jangan menakut-nakuti aku gitu. Aku kan sudah minta maaf kepada keluarganya waktu melayat seminggu yang lalu. Aku pikir itu cukup,” jawab Madi ketakutan.

”Nggak juga. Dosamu kan dengan eyang. Bukan dengan Jeng Har atau yang lainnya,” jawab Abdul.

”Makanya, kalau membenci seseorang jangan keterlaluan. Kita sama-sama muslim. Sesama muslim itu saudara. Haram, hukumnya membuka aib saudara sendiri,” Pakes menasihati.

”Iya, Mad. Segeralah bertobat,” sambung Abdul.

”Sudah-sudah. Aku nggak enak nih. Jangan ngomongin itu terus. Mendingan kita ke kelurahan sekarang bantu-bantu siapkan tempat untuk tahlilan nanti.”

Mereka meninggalkan tempat nongkrongnya menuju kelurahan. Tempat di mana tahlilan bersama warga desa akan dilaksanakan. Di sana ibu-ibu PKK sedang mempersiapkan ambeng. Sementara bapak-bapak merapikan dan menata pendopo kelurahan. Sebagian lagi membersihan halaman. Semua sibuk. Semua bersemangat.

Di pojok halaman kelurahan, tampak tiga orang duduk beristirahat. Yang paling muda bernama Riki. Pemuda desa lulusan UI jurusan Komunikasi Massa yang belum bekerja. Sementara ini dia mengabdikan diri di desanya dengan membantu di kelurahan. Lelaki berpici hitam yang duduk di samping Riki adalah Pak Mustafa. Imam masjid di desa itu. Ia seorang ulama yang sangat bijak. Sedangkan lelaki tampan dan gagah yang berkaos merah adalah kepala desa Karang Giri, Pak Mochtar.

Eyang Kakung memang orang istimewa. Semasa hidupnya dia selalu menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Ketika sudah meninggal pun, orang masih saja membicarakannya. Tentu saja ada yang suka dan ada yang tidak. Tiga orang yang duduk di pojok halaman kelurahan itu pun sedang asik berdiskusi tentang Eyang Kakung.

”Bagaimana pun, eyang kan saudara kita. Saudara seiman. Mbok ya sudah. Jangan diungkit-ungkit terus kesalahannya,” kata Pak Mustafa.

”Tapi, bukan berarti tidak ada sanksi hukum baginya, kan Pak? Nanti teman-temannya bisa berlenggang kangkung dan kembali merugikan kita,” kata Riki.

”La, wong orangnya sudah tidak ada, mau diberi sanksi bagaimana, Rik? Yang benar saja,” timpal Pak Muchtar.

”Benar, Rik. Jadi bagi yang mencintai beliau, sebaiknya berusaha membantu membersihkannya dari kesalahan. Sudahlah, mari kita maafkan kesalahan-kesalahan beliau semasa hidupnya. Masalah sanksi, kita serahkan saja kepada Tuhan,” saran Pak Mustafa dengan bijak.

”Benar. Sebaiknya kita maafkan kesalahan-kesalahan Eyang Kakung. Dengan memaafkan bukan berarti beliau tidak bersalah. Sebagai sesama muslim, seyogyanya kita maaf-memafkan, ” lanjut Pak Muchtar.

”Tapi, teman-temannya banyak. Mereka juga melakukan kesalahan-kesalahan. Bahkan menurutku mereka lebih jahat. Kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan lebih parah dari yang eyang lakukan. Kalau orang-orang ini tidak ditangani, negara akan terus dirugikan,” ucap Riki.

”Masalah itu biar ditangani pemerintah. Kewajiban kita memaafkan kesalahan-kesalahan beliau, agar beliau tidak mendapat ganjalan di akhirat. Kasihan dia. Bagaimanapun, jasanya juga banyak,” kata Pak Muchtar menimpali ucapan Riki.

”Sudahlah Rik, jadilah pemaaf. Tuhan saja Maha Pemaaf, masa kita tidak?” timpal Pak Mustafa.

”Sudah sore, Rik. Kita selesaikan tugas kita. Nanti keburu magrib,” ajak Pak Muchtar sembari bangkit dari duduknya. Dua orang teman ngobrolnya pun ikut bangkit. Mereka menuju pendopo. Ternyata pekerjaan semua sudah rapi. Orang-orang juga sudah banyak yang pulang. Tinggal beberapa orang ibu yang masih sibuk di dapur.

Dalam hati mereka berharap mudah-mudahan nanti malam tahlil dapat dilaksanakan dengan lancar. Karena sudak tidak ada pekerjaan yang harus mereka kerjakan lagi, Pak Mustafa dan Riki pun berpamitan. Mereka meninggalkan kelurahan, menuju rumah masing-masing dengan benak penuh kenangan tentang Eyang Kakung.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Eyang Kakung yang dirindu ya bu Purwati.

16 Aug
Balas

Yang kutahu, Eyang kakung itu laki-laki.

16 Aug
Balas

Pak edi Martani bisa ajah,,,

16 Aug

Ayo Pak Yudha, siapa yang menginspirasi dalam cerpen itu ? Siapa Madi, Pakes dan Abdul... Siapa Eyang Kakung?

16 Aug
Balas

Menyisakan pertanyaan dibenak...

16 Aug
Balas



search

New Post