PURWATI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

PUPUS

PUPUS

Duka yang dirasakannya tak kunjung usai. Menjadi seorang istri ternyata tidak membuatnya bahagia. Menjalani hidup berumah tangga dengan pasangan yang tidak memahami dirinya sungguh makan hati. Kini keinginannya hanya satu. Mengahiri hidupnya agar terlepas dari segala beban yang menghimpitnya selama ini.

Berbagai cara sudah ditempuhnya. Dari berusaha tegar dalam segala kekurangan, sampai permohonan perceraian. Semua tak membawa hasil. Jawaban terakhir suaminya memupuskan segala harap untuk mencoba mengubah nasib. Di sisa hidupnya yang hanya tinggal sehelaan nafas, ia ingin mendapatkan secercah kebahagiaan batin dengan hidup menyendiri. Namun, secercah harap yang coba dibangunnya sirna ketika suaminya mengunci mati permintaannya.

“Aku sangat mencintaimu, Bu. Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Hanya kematian yang bisa menceraikan kita.”

Pupus semua harap. Tak dapat lagi dikenali nuraninya. Hatinya hancur. Terbang sudah tiket menuju surga-Nya, karena ia tak pernah bisa menjadi istri solehah. Satu keinginannya. Mengahiri semua dengan sebotol baygon. Karena tak ada lagi harapan untuk nikmati kebahagiaan. Sampai akhir hayatnya ia akan hidup dalam kebencian.

Tekadnya sudah bulat. Sudah berbulan-bulan ia renungkan. Di suatu pagi buta, seusai ia bertahajud, ditenggaknya baygon yang sudah sejak beberapa hari lalu ia persiapkan. Ada rasa sakit di perutnya ketika cairan itu menyentuh lambung. Mulas, melilit, mual, tapi tak dipedulikannya. Ia ingin muntah. Ia pun muntah dengan sangat tersiksa. Ditahannya dengan sekuat tenaga agar suara muntahnya tidak terdengar suaminya yang masih mendengkur di kamar sebelah.

Di saat kritis, ia berusaha membayangkan sesuatu yang indah di atas sana. Ia untai secercah senyum ketika melihat orang yang disayanginya, yang selama ini diharapkan sebagai imamnya, berkelebat di depan mata. Kemudian dia keluarkan desah lirih tanpa makna, dan terkulai lemas dalam balutan mukena dengan busa melimpah di mulutnya.

Ketika azan subuh berkumandang, anak laki-lakinya yang sebentar lagi ujian membangunkan ayah ibunya. Pintu kamar utama, tempat ayah bundanya biasa menghabiskan malam, sudah terbuka. Setelah tiga kali mengetuk pintu tidak ada jawaban, ia pun masuk. Ia tidak melihat ibunya di kamar. Sejenak hatinya berdebar. Tapi kemudian tenang kembali, karena ia yakin ibunya pasti sedang bersimpuh di atas sajadah cintanya, seperti malam-malam sebelumnya. Meskipun demikian, sepanjang menuju kamar mandi, di otaknya menari sebuah tanya. Mengapa malam ini ibunya tidak membangunkannya untuk bertahajud? Ada beberapa jawaban sempat terlintas di benaknya. Tetapi ia coba tepis semua itu. Ia segera ambil close up dan dileletkannya di sikat giginya. Selanjutnya ia bersiap jamaah subuh di masjid samping rumahnya. Ketika akan membuka pintu, ia masih sempat mengingatkan ayahnya, bahwa ikomah akan segera tiba.

Sepulang dari masjid, anak lelaki satu-satunya dalam keluarga itu masuk ke kamar tempat ibunya biasa bermunajat. Betapa terkejut ia menyaksikan ibu tercintanya terbujur kaku dalam balutan mukena, dengan mulut bersimbah busa. Jeritnya melengking, mengagetkan seluruh penghuni rumah. Beberapa orang yang sedang berzikir di masjid sejenak memalingkan muka, kemudian kembali asik dengan butir-butir tasbihnya. Sementara ayahnya tidak mendengar jeritannya, karena tengah asyik bertasbih dengan suara lantang dan cepat, menyaingi kelantangan dan kecepatan imamnya.

Baru ketika tangis memecah di rumah duka itu, orang-orang di masjid ribut bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Kemudian beberapa orang memanggil seseorang di shaf terdepan.

“Pak Wanto, anak-anakmu menangis,” teriak seorang ibu dari shaf belakang. Orang yang dipanggil terlihat kaget dan segera berdiri, kemudian bergegas meninggalkan masjid menuju rumahnya yang hanya berbatas teras. Di rumah didapatinya kedua anaknya sedang menangisi istrinya yang terbujur kaku. Ia berdiri mematung. Bingung. Tak sepatah kata terucap. Ia pandangi tiga orang yang sangat disayanginya satu persatu. Ia diam tak dapat bergerak, sampai anak perempuannya menggoncang-goncangkan tubuhnya.

“Yah, ibu, Yah!” kata anak perempuannya. Sejenak ia tersadar. Kemudian luruh.

“Ya, Allah, Bu! Apa yang kamu lakukan?” jeritnya melengking, memenuhi angkasa pagi. Ditubruk tubuh istrinya. Digincang-goncang tubuhnya. Tetapi percuma saja, karena istri tercintanya telah terbujur kaku sejak pukul 03.03 tadi.

Tak lama kemudian rumah itu telah penuh dengan pelayat. Beberapa keluarga segera merapikan jenazah, yang meninggal dengan cara memalukan. Bunuh diri dengan menenggak sebotol baygon.

Hampir semua pelayat bingung dengan kematian Bu Siska yang mendadak tanpa sakit. Mereka lebih terkejut lagi ketika mengetahui penyebab kematiannya. Bu Siska, seorang yang rajin beribadah, baik kepada semua tetangga, suka membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan, orang yang tidak pernah menolak ketika dimintai tolong, mati bunuh diri. Apa gerangan yang menyebabkan ia berbuat senekad itu? Berbagai tanya muncul. Dan hari itu penyebab kematiannya menjadi buah bibir yang hangat.

“Bu, sebenarnya ada apa? Selama ini ia tidak menampakkan tanda-tanda apa pun,” kata Bu Fani, salah satu teman kerja Bu Siska. Yang diajak bicara hanya mengangkat bahu.

“Pak, sebenarnya ibu sakit apa? Kami semua kaget. Kemarin saja masih masuk kantor,” tanya pimpinan tempat Bu Siska bekerja. Pak Wanto tidak bisa menjawab. Hanya air mata yang mengalir deras membasahi kedua pipinya yang tembam.

“Ia tidak sakit, Pak. Tadi malam saja masih bertahajud. Sepulang dari jamaah subuh, Choirul menemukan ibunya sudah meninggal, dengan masih mengenakan mukena,” Jawab kakak Pa Wanto mewakili adiknya yang tak kuasa menjawab pertanyaan tamu-tamunya. Para pelayat pun maklum, dan tidak lagi bertanya banyak, kecuali memberikan semangat untuk tetap tabah dan ikhlas menerima takdir.

Pukul sepuluh, Anggun, anak sulung Pak Wanto tiba di rumah duka. Keluarga sudah menyiapkan sambutan khusus untuk menghadapi segala kemungkinan. Semua orang yang mengenal keluarga ini pasti tahu betapa Bu Siska dan anak-anaknya sangat dekat. Apalagi anak sulungnya. Mereka menyangka Anggun pasti akan sangat terpukul dengan kematian ibunya yang sangat mendadak. Tapi, ternyata dugaan mereka keliru. Anggun turun dari avansa milik omnya dengan ketegaran luar biasa. Ia salami tamu-tamu yang menyambutnya dengan wajah duka, namun senyumnya sangat bijak. Ia peluk adik-adiknya yang terisak dengan kasih seorang ibu.

“Sudahlah, hapus air mata kalian. Ingat pesan ibu. Kita harus selalu tabah dalam segala situasi. Kita punya tugas melanjutkan cita-cita ibu yang tidak pernah mampu ibu wujudkan. Sekarang temani kakak menyolati jenazah ibu,” pinta Anggun kepada kedua adiknya.

Mereka bertiga segera mengambil air wudhu dan menuju masjid tempat ibunya di semayamkan. Di sana mereka bergabung dengan para pelayat yang menyolati jenazah ibunya. Setelah solat, mereka berdoa memohonkan ampun atas dosa-dosa ibunya. Anggun hampir saja menitikkan air mata. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menahannya. Ia tidak ingin kelihatan rapuh di mata semua orang. Apalagi di mata ayah dan kedua adiknya. Banyak sifat ibunya menurun kepadanya. Banyak orang mengatakan, Anggun adalah potret Bu Siska semasa muda. Cantik, cerdas, mudah bergaul, dan berpribadi.

Pukul sebelas jenazah siap dimakamkan. Sebelum jenazah di angkut ke pemakaman, anggun dan kedua adiknya menyempatkan diri melihat wajah ibunya untuk yang terakhir kali. Wajah yang masih kelihatan cantik. Meskipun tergambar derita menahan sakit, tapi ada sisa-sisa senyum di bibirnya. Pak Wanto juga melihat wajah istrinya. Ia kelihatan yang paling rapuh. Diapit kakak-kakak iparnya, ia menuju keranda. Ia perhatikan wajah istri yang sangat dicintainya dengan deraian air mata. Hampir saja ia pingsan kalau tidak segera diingatkan kakak iparnya, dan dibawa menjauh.Sebelum berangkat, Anggun berpesan kepada adik laki-lakinya untuk tidak menangis di pemakaman.

“Dik, kalau kamu tidak kuat, jangan ikut ke pemakaman. Lebih baik di rumah bersama kakak,” kata anggun kepada Choirul.

“Tidak, Kak. Aku tidak akan menangis lagi. Aku harus antar ibu ke pembaringannya yang sunyi,” jawab Choirul dengan suara parau.

“Ya, sudah. Tapi ingat! Tidak boleh menangis!” kata Anggun sambil memegang pundak adiknya.

***

Anggun harus segera kembali ke Semarang. Banyak tugas kuliah yang terbengkelai. Belum lagi PR sebagai sekretaris Haul Khairil Anwar yang akan digelar bertepatan dengan hari ulang tahun fakultasnya. Sebenarnya ia ingin tidur lebih awal. Ia merasa sangat lelah. Tapi ia sempatkan menata barang-barang almarhumah. Ia juga harus memberi semangat kepada adik-adiknya. Ia tidak pedulikan duka ayahnya. Selama seminggu di rumah pun ia tidak banyak berkomunikasi dengannya. Ia merasa enggan. Bahkan hampir saja rasa benci memenuhi hatinya, kalau saja ia tidak ingat kedua adiknya masih membutuhkan pendamping.

Anggun eanggil kedua adiknya untuk mebantu. Ketika mereka merapikan almari pakaian ibunya, mereka menemukan beberapa buah buku harian biru tua. Bu Siska memang rajin menulis di buku harian sejak masih kuliah dulu. Kebiasaannya itu juga menurun kepada anak-anaknya. Mereka buka lembar demi lembar, dan Anggun terpaku pada sebuah halaman bertanda khusus.

13012009

Aku tak bisa jadikan ia imamku. Dua puluh dua tahun lebih telah aku buktikan. Pengalaman selama ini menunjukkan aku tidak bakalan mendapatkan tiket surga. Karena sebagai istri aku tidak bisa patuh dan taat pada suamiku. Betapa lemahnya ia. Selalu saja ada celah untukku melawannya. Tuhan, aku butuh imam. Selamatkan aku. (16:40:19)

Tulisan itu mengingatkan Anggun akan peristiwa beberapa bulan yang lalu. Pada suatu malam ibunya menangis dalam sujud terakhirnya yang sangat panjang. Ia duduk di samping ibunya menunggu sampai ibunya selesai salat.

“Ibu lelah sekali. Ibu ingin tidur,” kata ibunya sambil menangis dalam pelukannya.

“Sebenarnya apa yang membuat Ibu bersedih terus-menerus, Bu?” tanyanya.

“Ibu lelah menjalani hidup ini, Nggun. Ibu sudah tidak kuat lagi. Ayahmu tidak pernah berubah, “ kata ibunya sambil menyeka air matanya.

“Bu, Ibu sudah tahu sifat ayah memang begitu. Ibu sudah bertahan sekian lama. Ibu harus kuat menyelesaikan perjalanan ini. Jangan pupus di tengah jalan, Bu,” nasihat Anggun.

“Mungkin masalah ekonomi, ibu bisa atasi. Tapi ibu tidak mau hidup dalam gelimang dosa terus menerus. Karena sifat ayahmu, ibu selalu melawannya. Ibu tidak bisa menjadi istri yang baik. Ibu lakukan segala sesuatu dengan menggerutu. Semua yang ibu lakukan sia-sia. Ibu istri yang durhaka, Nggun,” kata ibunya dengan tangis yang semakin menjadi. Anggun tak lagi bisa berkata-kata. Ia pun terhanyut dalam duka ibunya.

Anggun memahami kelelahan ibunya. Ia tahu seperti apa ayahnya. Setiap pembicaraan selalu berakhir dengan pertengkaran karena kesalahpahaman. Ayahnya memang sangat mencintai dan menyayangi anak-anak dan istrinya. Tetapi cara mengungkapkan kasih sayang dan cintanya sering menjadi beban hati mereka.

Aneh memang. Setiap hari puluhan kali Pak Wanto mengucapkan I love you kepada istrinya. Tetapi ia biarkan istrinya jungkir balik memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sementara ia bekerja sekadarnya. Tidak ada gregetnya. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan istrinya yang enerjik, penuh semangat, dan menatap masa depan dengan penuh rencana.

Ia selalu lamban berfikir. Lamban menangkap peluang. Ketika istrinya sudah berfikir apa yang akan dilakukan lima tahun mendatang, ia masih berfikir apa yang akan dilakukannya besok. Sehingga tidak heran, jika pada akhirnya istrinya harus jungkir balik mencari uang tambahan, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada halaman terakhir buku harian ibunya, Anggun menemukan jawaban mengapa ibunya memilih mengakhiri hidupnya dengan meminum sebotol baygon.

12022009

Ya Allah, tak ada lagi harapan untukku mereguk kebahagiaan di dunia ini. Selamanya aku akan tersiksa. Semua yang aku lakukan tak ada artinya. Semua ibadahku padamu mubazir, karena tidak pernah mendapat restunya. Sujudku padamu setiap malam sia-sia. Aku sudah mohon kepada-Mu sepanjang usia perkwinanku. Tapi Engkau tak dengar permohonanku.

Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa sepanjang perkawinanku dengannya aku tak pernah mampu menjadi istri solehah. Sepanjang perkawinanku dengannya aku adalah istri yang durhaka, karena aku tak pernah bisa taat dan patuh kepadanya. Aku selalu menentang nasihatnya. Aku selalu lebih keras darinya. Keadaan ini benar-benar menyiksaku. Aku merasa hidup dan mati sama saja.

Engkau tahu yang aku butuhkan, ya Allah. Aku tidak hanya membutuhkan seorang suami yang menyayangi dan mencintaiku saja. Aku butuh suami yang mampu memimpin, membimbing, menuntun dan meneladani aku, agar aku menjadi istri yang salihah. Aku membutuhkan seorang suami yang mampu membuatku tunduk, patuh dan taat kepadanya, agar aku tidak menjadi istri yang durhaka. Ya Allah, aku tahu betapa mudahnya seorang istri meraih sorgamu. Tapi jika keadaan tetap seperti ini, aku tak akan pernah mendapatkan tiket surga-Mu, ya Allah. Maka maafkan aku. Terpaksa aku tempuh jalan ini karena aku merasa mati karena-Mu atau mati karena baygon ini sama saja. Aku sama-sama akan menjadi penghuni neraka-Mu.

Permohonanku yang terakhir, ya Allah. Jagalah anak-anakku dan berilah mereka nasib yang lebih baik daripadaku. Jangan Kau timpakan duka perkawinanku kepada mereka.(03:03:00)

Air mata yang selama tuju hari ini ia tahan kini tumpah. Kali ini ia biarkan air matanya membanjiri pipinya. Ia rasakan duka ibunya. Duka yang selama dua puluh tahun lebih ditanggungnya sendiri. Ia peluk adik-adiknya. Di tengah-tengah dukanya ia coba memberi kekuatan kepada kedua adiknya. Ia biarkan kedua adiknya menumpahkan kedukaan hati. Buku biru diam membisu. Dinding-dinding kamar yang selama ini menjadi saksi perjalanan penuh duka bu Siska pun tak mampu menghibur tiga permata yang sedang berduka.

Banjarnegara, April 2009

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya kaget membacanya. Sedih, marah, dan bingung. MUngkinkah ada dalam dunia nyata kejadian seperti itu? Saya merasa sesungguhnya ibadahnya tidak mencerminkan keimanan yang kuat. Saya berharap semoga hanya cerpen saja.

08 Aug
Balas

Selamat pagi teman-teman... Mohon masukannya untuk cerpenku ini.

08 Aug
Balas

Cerita fiksi yang terinspirasi dari kenyataan di dunia nyata Pak Yudha. Banyak suami yang tidak mampu menjadi imam dan tidak menutup kemungkinan akan berakibat fatal seperti akhir cerita Pupus.

08 Aug
Balas

Sad ending. Wkwkwk biar beda....

08 Aug
Balas

Sad ending. Wkwkwk biar beda.... Bu Emma

08 Aug
Balas

Luar biasa ,, menyentuh hati Endingnya sad ya

08 Aug
Balas

Luar biasa ,, menyentuh hati Endingnya sad ya

08 Aug
Balas

Luar biasa ,, menyentuh hati Endingnya sad ya

08 Aug
Balas



search

New Post