PURWATI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
RUMAH CINTA
Kepedulian dan kebersamaan yang dirindukan anak-anak kadang tidak terpikirkan oleh orang tua. Cerpen ini bertemakan kehidupan.

RUMAH CINTA

RUMAH CINTA

Karya:Purwati

Aku tak tahu lagi harus bercerita kepada siapa. Selain malu yang mendera dan membungkam mulutku, aku juga sudah tidak bisa percaya kepada siapa pun. Pernah aku sampaikan keluh kesahku kepada Ibu Sofi, guru BP-ku. tetapi hasilnya tidak memuaskan.

Aku juga pernah ngomong langsung ke bokap dan nyokap, tetapi dampratan dan tonjokan bersarang di daguku. Setelah itu aku tidak lagi ingin bercerita kepada siapa pun tentang kemelut hatiku.

Sebagai pelampiasan kekecewaanku, di sekolah aku sering berbuat ulah. Aku puas ketika guruku marah. Aku senang, ketika teman-teman cewekku menjerit-jerit, karena kucolek pantatnya. Aku juga selalu mengatakan tidak bisa, ketika guru menunjukku untuk mengerjakan soal. Padahal sebenarnya aku bisa. Aku tidak ingin dicap baik oleh mereka. Biar saja di mata mereka aku ini berandalan. Aku bodoh. Aku jahat.

Keinginan itu aku dapatkan. Mereka semua mengecap aku nakal, kecuali seorang cewek, teman sekelasku, yang sangat bijak menghadapi ulahku. Dia bahkan sering memberiku semangat untuk mengaktualisasikan kemampuanku.

"Din, aku percaya sebenarnya kamu bisa. Kamu terlalu merendahkan diri. Jangan bohongi dirimu. Cobalah buang jauh-jauh mendung di matamu!" katanya suatu hari. Aku tersenyum simpul menanggapi kata-katanya yang bijak. Tapi, demi Tuhan, setelah itu berangsur-angsur aku bisa menghalau mendung yang menyelimuti hidupku. Berkat bantuan gadis itu, yang terus menerus memberiku semangat.

Suatu hari aku diajaknya ke rumah Bunda. Rumah Bunda sangat sederhana, tetapi aku merasa senang tinggal di rumah itu. Rumahnya tidak terlalu besar. Hanya berukuran sembilan kali dua belas meter. Kelebihan rumah ini dengan rumah-rumah di sekelilingnya adalah halamannya yang sangat luas.

Di sebelah timur rumah terdapat kebun bunga dengan aneka macam bunga yang terawat rapi. Di tengah kebun terdapat dangau yang dibuat dari bambu, dan kolam kecil berisi aneka ikan. Di halaman sebelah barat rumah bermacam-macam sayur tumbuh subur. Halaman belakang dibiarkannya kosong. Rupanya sengaja disediakan untuk tempat berolahraga, karena disitu terdapat balok ayun, dan garis-garis yang menggambarkan sebuah lapangan olahraga.

Di salah satu sisi halaman belakang terlihat tangga dari batu yang menghubungkannya dengan hutan kecil. Sebenarnya tidak tepat disebut hutan, karena memang tidak seperti hutan. Lahan seluas satu setengah hektar itu ditanami pohon albasia dan beberapa macam pohon buah. Ada juga pohon pinus yang berjejer rapi. Di tengah hutan ada kolam lebar dengan dangau-dangau di pinggirnya. Cocok sekali untuk tempat pemancingan. Pohon-pohon di hutan ini ditanam dengan jarak yang sangat rapi, sehingga jarak antara pohon yang satu dengan pohon yang lainnya cukup untuk mendirikan sebuah tenda.

Pertama aku datang ke rumah Bunda aku hanya diajak berkeliling, melihat-lihat sekitar. Bunda tak banyak bertanya. Sebenarnya aku senang juga dengan situasi seperti itu, sebab aku juga enggan menceritakan kemelutku kepada orang yang baru aku kenal ini. Satu yang aku rasakan dari kebersamaan kami yang sesaat itu adalah rasa tenang yang mengaliri batinku. Tidak merasa dihakimi. Tidak merasa diselidiki. Setiap Bunda tersenyum kepadaku, aku merasa damai.

"Din, kita minum teh dulu, yuk!" ajak Bunda memecah lamunanku, saat itu. Aku tak menjawabnya, karena Bunda langsung berdiri dan berjalan menuju tangga. Aku mengikuti langkahnya menaiki tangga, menyeberangi halaman belakang, kemudian masuk rumah melalui pintu belakang.

Ruang pertama yang kutemui adalah ruang tenis meja. Di ruang itu kulihat perlengkapan tenis meja. Aku tidak tahu ruang apa yang terdapat di depannya, karena pintunya tertutup. Ruang berikutnya adalah ruang makan dengan perlengkapan sangat sederhana. Ruang makan ini menyatu derngan ruang keluarga yang menghadap taman bunga. Dari ruang ini kami menuju teras samping timur. Ternyata di situ sudah tersedia tiga gelas teh manis dengan penganan dalam toples yang masih tertutup. Rupanya pembantu telah menyediakannya untuk kami.

"Ayo, Din, minum dulu!" tawar Bunda sambil duduk di kursi sebelah kanan meja.

"Terima kasih, Bunda," kataku mengikuti duduk di seberangnya.

"Rin… ,Arin…!"

"Ya, Bunda!" Arin, teman cewek sekelasku yang mengajakku ke rumah ini muncul membawa buku bacaan.

"Sini, temani kami ngobrol," ajak Bunda. Arin duduk di sudut teras, bersandar pada tiang berwarna hijau lumut. Matanya kembali tertuju ke buku tebal yang dibawanya. Cewek yang satu ini memang kutu buku. Kalau sudah membaca, dia tidak peduli sekelilingnya.

“Kamu punya adik, Din?” tanya bunda sambil meletakkan cangkir di atas meja.

“Dua, Bunda,” jawabku tanpa memandangnya. Di taman kulihat kupu-kupu kuning berkejaran, kemudian hinggap di kuncup mawar merah.

“Laki-laki, perempuan?” tanyanya lagi.

“Laki-laki dan perempuan,” jawabku. Kali ini aku mencoba memandang wajah bunda. Tenang sekali. Dia tidak tersenyum, tetapi wajahnya penuh dengan guratan senyum. Aku suka memandangnya.

“Siapa namanya?”

“Anis dan Rakhman. Mereka kelas dua SMP, Bunda,” jawabku lengkap. Karena aku pikir Bunda pasti akan menanyakan hal itu.

“Sekelas?”

“Ya. Rakhman seharusnya sudah kelas tiga, tetapi ia sempat berhenti satu semester, sehingga tidak naik, “ kurasa suaraku berubah serak. Jujur. Ketika kusebut adik-adikku, entah mengapa aku merasa sedih. Rakhman sama denganku. Kami korban dari kehancuran sebuah mahligai rumah tangga. Di kelas dua semester pertama, Rakman meniruku untuk berusaha lari dari kenyataan. Kami sering tidak pulang. Kami juga sering tidak sekolah. Tempat yang sering kami tongkrongi adalah alun-alun kota. Terutama ketika malam hari. Di situlah kami bertemu dngan teman-teman senasib. Teman-teman yang memiliki kehampaan ketika di rumah.

Di sana kami bisa tertawa lepas bersama. Dada ini terasa lapang. Kadang-kadang mereka sengaja membawa minuman. Dan kami pun ikut menikmatinya. Rakhman, adikku yang masih kelas dua SMP, kubiarkan ikut menenggak minuman haram itu. Kubiarkan juga ketika teman-teman kami memberinya rokok. Aku memang tidak merokok. Tapi aku minum, bahkan pernah beberapa kali aku menelan ekstasi pemberian Koko, putra pengusaha terkenal di kotaku. Barangkali yang membedakan aku dengan adikku, aku tidak sampai tinggal kelas, karena aku berusaha sering hadir di sekolah.

“Tidak, apa-apa. Nanti juga selesai,” suara bunda membuyarkan lamunanku, “Ayo, di minum,” lanjutnya. Tanpa disuruh dua kali, langsung kuhabiskan teh di cangkirku. Tenggorokanku memang sudah mengering. Kulihat Arin masih asik dengan bukunya. Angin semilir menghembus menebarkan wangi mawar dari kebun bunga di depan kami.

Sejenak suasan hening. Masing-masing sibuk dengan pikiran masing-masing. Kupandangi sekeliling. Indah. Bunda pandai sekali menata rumahnya. Pasti banyak orang setuju dengan pendapatku. Damai. Ya damai yang kurasa ketika berada di sini.

“Salat dulu, Din. Nanti kita lanjutkan ngobrolnya, “ ajak bunda ketika sayup-sayup terdengar kumandang azan asar dari masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah Bunda.

”Salat? Ya, Alloh. Lama sekali aku meninggalkan-Mu. Aku tak pernah lagi salat. Doa-doanya pun mungkin aku sudah lupa,” batinku.

“Ayo, Rin. berhenti dulu. Kita jamaah di rumah saja.Din, kamu laki-laki sendiri di sini. Kamulah imamnya,” kata bunda sambil berdiri meninggalkan kursi dan langsung masuk ke rumah. Aku ikut berdiri. Kulihat Arin pun berdiri.

“Rin, gimana nih,” kataku dengan nada protes. Arin hanya tersenyum.

“Kamu pasti bisa,” katanya sambil ngeloyor pergi. Aku membuntutinya.

“Rin,” kataku setengah berteriak.

“Percayalah, kamu pasti bisa. Ayo kita ambil air wudlu dulu,” ajaknya tanpa memperhatikan protesku.

Aduh, gimana ini. Arin sama saja dengan Bunda. Nyuruh-nyuruh seenaknya saja. Jadi imam? Kalau salah bagaimana? Kulihat Bunda sudah siap dengan mukenanya. Arin juga sedang mengenakan mukena. Aku bingung. Yakin, aku bingung. Aku tidak berani menjadi imam. Jangankan jadi imam, salat sendiri saja mungkin aku masih salah. Sudah lama sekali aku tidak menjalankan salat.

“Bunda, saya jama’ah di masjid saja, ya,” kataku memohon.

“Sudahlah. Salat di rumah saja. Kamu imam kami. Ayo,” katanya sambil mempersilakan aku maju.

Mau tidak mau aku harus jadi imam. Benar kata Arin. Aku pasti bisa. Betapa pun lamanya, dulu aku pernah melakukannya. Aku menata hati. Kemudian kuimami mereka. Aku berusaha tidak salah. Aku hanya membaca surat Alfatihah, Al Ikhlas dan An Nas. Alhamdulillah selesai juga salat kami. Lega rasanya lepas dari tugas yang maha berat.

”Berdoalah semampumu,” kata Bunda ketika aku akan beranjak dari dudukku. Aku pun duduk kembali dan berdoa semampuku. Ketika aku mohon ampun, dadaku sesak. Mungkin seandainya tidak ada Bunda dan Arin aku sudah menangis. Betapa besar dosaku selama ini. Kata-kata Bunda yang sangat biasa mampu menyelinapkan kesadaran ke relung hati yang paling dalam.

Setelah kunjungan pertamaku ke rumah Bunda, sedikit demi sedikit aku mulai berubah. Dan setiap ada kesempatan, aku selalu datang ke rumah itu. Banyak hal kudapatkan di sana. Aku kenal banyak anak dengan berbagai latar belakang. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak yang tak terpikirkan oleh orang tuanya. Korban keegoisan orang tua yang gila harta dan mementingkan karier. Mereka hanya tahu bahwa uang cukup untuk menyumpal mulut anak-anaknya. Mereka melupakan bahwa tegur sapa sangat berarti bagi kami. Bahwa menemani anak-anaknya belajar, sangat membantu meningkatkan prestasi.

Bunda pandai sekali membuat acara. Berbagai acara dikemas sedemikian rupa, sehingga sebuah pengajian yang biasanya membuat orang enggan mengikutinya saja menjadi sebuah ajang diskusi yang menyenangkan. Ustad atau ustadzah yang mengajar pun tidak menakutkan. Penampilan mereka gaul abis, tapi tetap menampakkan keimanan seorang hamba.

Aku tertarik mengikuti sesen ini karena di sini aku merasa tidak digurui. Mereka piawai membuat kami menyadari kesalahan yang kami lakukan selama ini. Kemudian kami diberi kebebasan untuk menentukan langkah sendiri. Kami merasa senasib dan diakui keberadaannya. Di sini tak ada cemoohan, tak ada penghakiman, tak ada pengkambinghitaman. Di sini, di rumah yang sangat sederhana ini, cinta dan senyum bertebaran di mana-mana. Di sini, di rumah Bunda, kami dapatkan yang kami butuhkan. Cinta dan perhatian.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren cerpennya Bu purwati...

10 Aug
Balas

Sip. Katena Cinta hingga dapat menguatkan langkah...

10 Aug
Balas

Banyak remaja kita galau karena kurangnya kebersamaan dalam keluarga maupun di sekolah, Pak Wiyono. Sebagai guru, mari kita mencoba membersamai murid-murid kita.

10 Aug

terima kasih ibu Umul . Salam kenal...

10 Aug
Balas

Keren bu bhsnya mengalir dan tdk melompat lompat. Kalau boleh tanya apakah Din menjadi imam sholat ashar? Karena di sana disebutkan mendengar kumandang adzan ashar. Diceritakan Din membaca surat Al Fatihah, surat Al Ikhlas dan An Nas. Setahu sy kalau sholat Ashar imam tdk menyuarakan bacaan bu. Atau sy yg salah persepsi wkt membaca artikel ini? Maaf bila tdk berkenan.

10 Aug
Balas

Bagus mbak, bs untuk bahan ajar

10 Aug
Balas



search

New Post