PURWATI

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
SENANDUNG SENJA
Cerpen sebagai karangan fiksi sangat strategis untuk menebarkan nilai-nilai luhur suatu bangsa. Melalui cerita yang ditulis, pengarang ingin menyampaikan sesuatu yang positip, dari sudut pandangnya. Cerita-cerita yang ditulis bisa terinspirasi dari mana pun. Senandung Senja, sebuah cerita menarik untuk dinikmati.

SENANDUNG SENJA

SENANDUNG SENJA

Rumah mewah itu selalu tampak sepi. Setiap hari yang hilir mudik di rumah itu hanya Mbok Irah, janda tanpa anak yang sudah tidak punya sanak saudara. Dia sangat betah bekerja di rumah itu. Dia sudah tidak memikirkan apa pun. Waktu lebaran saja, di mana semua pembantu berebut pulang lebih awal, Mbok Irah tenang-tenang saja. Oleh karena itulah, keluarga ini tidak pernah mengalami masalah pembantu sepanjang tahun. Pembantu setia itu sudah 20 tahun mengabdi kepada keluarga Rina.

Siang ini Mbok Irah sedang menunggu Rina pulang. Ia sangat mengkhawatirkan tuan mudanya. Sudah seminggu Rina sering telat pulang. Di rumah juga sering melamun. Ia jarang makan dan menangis di tengah malam. Sebagai orang yang paham sifat anak asuhnya, Mbok Irah merasa ada sesuatu yang berubah. Tapi dia tidak tahu apakah itu.

“Assalamualaikum…,” terdengar suara dari pintu utama.

“Waalaikumsalam….,” jawab Mbok Irah. Ia bergegas membukakan pintu, “E, Non Rina . Tumben sore sekali, Non?” sambutnya dengan ramah.

“Iya, Mbok. Tadi ada extra di sekolah,” jawab Rina. Ditaruhnya tas sekolahnya di atas kursi, kemudian melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah.

“Makan dulu, Non? Biar mbok angetin makanannya,” tawar Mbok Irah.

“Nggak usah, Mbok. Aku nggak lapar. Ibu sudah pulang?” tanya Rina.

“Belum, Non,” jawab Mbok Irah.

“Hhh! Sudah hampir sebulan aku tidak bertemu ibu. Sebegitu sibuknyakah ia di kantor sampai lupa anaknya?” gumam Rina, “Mbok, aku keluar dulu ya? Jalan-jalan,” pamit Rina kepada Mbok Irah.

“Iya, Non,” jawab Mbok Irah. Ia mengantar Rina sampai teras. Setelah majikannya hilang di belokan samping rumah, ia masuk kembali, kemudian menutup pintu rapat-rapat. Ia sangat hati-hati dan bertanggung jawab. Ia paham betul, di sekitar rumahnya sering terjadi pencurian di siang hari, saat orang-orang sibuk bekerja.

Rina sengaja berjalan kaki menuju taman tempat biasanya nongkrong menghilangkan suntuknya hati. Taman yang juga dijadikan tempat bercengkerama beberapa keluarga bahagia di sore hari. Ia suka berlama-lama duduk di taman itu memandangi anak-anak kecil bermain riang ditemani mama papanya. Ia rindu suasana seperti itu. Ia rindu kepada ayahnya yang belum pernah ia lihat batang hidungnya.

Selama ini ia hidup bersama ibunya. Ibunyalah yang bekerja keras membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tapi, akhir-akhir ini ia benci ibunya. Ia merasakan ibunya tak memperhatikannya lagi. Sudah hampir sebulan ibunya selalu berangkat kerja di subuh buta dan pulang larut malam. Bahkan kadang tidak pulang. Ia tidak tahu apa yang dikerjakannya di kamtor.

Rina menuju bangku di salah satu sudut taman. Ia duduk seorang diri. Didekapnya Laskar Pelanginya Andrea Hirata. Novel itu sudah ada di tangannya sejak beberapa hari yang lalu, tetapi belum sempat ia baca. Dihelanya nafas panjang beberapa kali. Dadanya sesak. Ia ingin berteriak tumpahkan segala beban yang menindihnya, tetapi tak pernah berhasil. Setiap ia akan berteriak yang keluar hanyalah air mata.

Dalam sebulan terakhir, tak pernah sehari pun ia lewatkan tanpa menangis. Sampai-sampai ia memohon kepada kekasihnya, Sang Khalik, di setiap sujud terakhirnya untuk memberinya kekuatan agar tidak menangis barang sehari saja. Namun rupanya Allah belum mengabulkan doanya. Buktinya air matanya terus saja mengalir memata air.

Sore ini ia berkencan dengan sahabat yang selalu menghiburnya, Arum. Bagaimana pun ia harus segera mencari teman yang mau mendengarkan ceritanya, agar bebannya dapat berkurang. Tapi sudah hampir pukul lima sore Arum belum datang juga. Kembali Rina menghela nafas panjang. Menunggu memang pekerjaan paling membosankan. Ia coba buka-buka novel yang sedari tadi didekapnya. Ia mulai menyusuri halaman-halaman Sepuluh Murid Baru. Ia baru sampai halaman ketuju ketika Arum datang.

“Maaf pengajiannya baru selesai. Dah lama?” sapa Arum terus duduk di samping Rina. Rina berhenti membaca novel, menoleh, kemudian tersenyum.

“Nggak papa, Rum,” jawabnya. Ia bergeser memberi tempat untuk Arum duduk.

Sebenarnya sudah sejak lama ia ingin bergabung dengan kelompok pengajian Arum, tetapi hatinya masih sangat berat. Satu hal yang belum dapat ia jalankan adalah menutup aurat sesuai dengan perintah-Nya. Pernah Arum menyarankan agar ia berjilbab ketika ngaji saja, namun ditolaknya. Dia merasa tidak sreg kalau harus berjilbab hanya saat menghadiri pengajian saja, sementara setelahnya kembali ke kebiasaan lama.

“Ibu masih sibuk juga?” tanya Arum mengawali pembicaraan.

“Ya, begitulah,” jawab Rina lesu.

“Sudah kamu coba bicara dengannya?”

“Ngak pernah ketemu,” jawab Rina dengan suara parau.

“Sabar, ya,” saran Arum sambil mengusap pundak sahabatnya, “Dino bagaimana?” lanjutnya menyelidik.

“Itulah, Rum. Aku perlu teman bicara. Dadaku sakit sekali, Rum. Masalah Dino, ibu, dan masalah-masalah lain menghimpitku terus menerus,” jawabnya dengan mata berkaca-kaca.

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan Dino, Rin?”

“Dia memacari adik sepupuku,” jawab Rina sendu, “Tanpa memutusku,” lanjutnya.

“Kok bisa?” tanya Arum jengkel.

“Dia tidak mengatakan apa pun kepadaku. Tahu-tahu dia sudah jalan bareng Sari,” kini air mata Rina tak tertahankan lagi. Ia pun menangis. Arum mencoba memberi kekuatan dengan menggenggam tangannya. Sejurus suasana hening. Hanya tangis Rina yang terdengar lirih.

“Sabar ya, Rin. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Aku yakin kamu bisa atasi semua ini,” nasihat Arum kepada sahabatnya sejak SD dulu.

“Rasanya aku sudah tidak kuat lagi, Rum. Coba kalau ada ayah,” keluh Rina memelas.

“Jangan begitu, Rin. Percayalah, kau akan bisa mengatasi masalahmu. Allah tidak akan memberi hamba-Nya cobaan yang tidak dapat ditanggungnya. Allah telah mengukur kemampuanmu, Rin,” kata Arum memberi semangat.

“Aku merasa sendiri. Aku kesepian. Aku…,” Rina tak melanjutkan kata-katanya. Ia sandarkan kepalanya di bahu sahabatnya, dan menangislah dia sesenggukan. Kembali Arum memberi kekuatan dengan memeluknya erat dan membiarkannya menangis. Baru setelah tangisnya reda, Arum mencoba bertanya.

“Sudah coba tanyakan ke ibu tentang ayahmu, Rin?” tanya Arum hati-hati.

“Belum,” jawabnya hambar sambil mengusap air matanya.

“Cobalah tanyakan kepada ibumu agar kamu tahu di mana dan siapa sebenarnya ayahmu. Kalau dia masih hidup, kamu bisa menemuinya. Dan kalau dia sudah meninggal, kamu harus tahu kuburnya. Siapa pun dia, dia adalah orang yang telah mengukir jiwa ragamu. Kamu harus tahu, Rin,” saran Arum dengan sangat bijak.

“Aku ingin sekali bertanya pada ibu. Tapi ibu tidak pernah punya waktu untukku. Sejak kecil aku selalu sendiri. Sewaktu aku masih di TK, ibu tak pernah mengantarku ke sekolah. Sewaktu rangking raporku bagus, ibu tak pernah memujiku. Justru mbok Irah yang selalu menemaniku. Dia yang memuji nilaiku, dia yang mengantarku ke sekolah, dia yang menanyakan aku sudah makan atau belum,” jelas Rina dengan nada kecewa.

“Rina, kamu harus memaklumi ibumu. Ibu sibuk bekerja untuk kamu. Aku yakin, sebenarnya ibumu sangat sayang kepadamu, Rin,” Arum mengingatkan Rina yang kelihatannya sudah sangat membenci ibunya..

“Sayang? Aku tidak yakin ibu sayang kepadaku. Dia terlalu sibuk dengan urusannya. Selama ini aku merasa orang tuaku adalah mbok Irah. Aku iri denganmu, Rum. Kamu mempunyai keluarga yang memperhatikan kamu. Kamu punya ayah ibu yang memarahi kamu ketika kamu berbuat salah. Kamu punya orang tua yang melarang ini, itu dan selalu menanyakan keadaanmu. Aku benci ibuku, Rum,” kata Rina dengan nada marah.

“Jangan begitu, Rin. Berdosa membenci ibu sendiri. Bagaimanapun dia ibu kandungmu,” kata Arum.

“Ibu kandung? Aku nggak yakin,” kata Rina mencibir.

“Maksud kamu?”

“Aku nggak yakin dia ibu kandungku. Buktinya saja aku nggak pernah diperhatikannya. Dia selalu kerja, kerja, dan kerja.”

“Rin, jangan berpikiran seperti itu. Pahami ibumu, Rin. Aku yakin ibumu tidak ingin kamu dalam kekurangan. Pahami dia yang single parent. Ia besarkan kamu sendiri. Aku yakin, dia pasti juga merasa bersalah karena tidak bisa menjadi seorang ibu yang sesungguhnya. Seharusnya kamu bersyukur karena masih mempunyai orang tua yang memikirkan kamu.”

“Apa benar dia memikirkan aku?”

“Yakinlah. Sekarang pulang, ya. Bicarakan baik-baik masalahmu dengan ibumu.”

Waktu memang sudah hampir pukul enam. Lampu-lampu taman sudah mulai menyala. Arum dan Rina meninggalkan taman, menuju rumah masing-masing. Sesampai di rumah, Rina langsung ke kamarnya. Mbok Irah mencegatnya di dekat tangga.

“Non, ibu sudah pulang dari tadi. Sekarang menunggu Non Rina di ruang makan,” kata Mbok Irah berbisik. Rina tidak mempedulikan kata-kata Mbok Irah. Ia langsung menuju kamarnya di lantai atas. Tak lama kemudian, ibunya menyusul masuk ke kamarnya. Disapanya anak gadis semata wayangnya dengan mesra. Tapi jawaban Rina tidak seperti yang diharapkan.

“Ibu sudah puas dengan urusan ibu?” tanya Rina dengan suara keras.

“Maksud kamu apa, Sayang? Tanya Bu Vivi lembut.

“Ibu sudah puas menelantarkan aku?” tanya Rina masih dengan suara keras.

“Maksud kamu apa sih, Rin?” tanya Bu Vivi sabar. Ia duduk di dekat Rina.

“Aku tahu ibu nggak sayang aku. Iya kan? Dan aku tahu, aku pasti bukan anak kandung Ibu. Aku anak haram kan, Bu?” serang Rina beruntun. Mendengar tuduhan anaknya, Bu Vivi bangkit dari tempat duduknya. Hatinya mulai panas. Dengan suara tak kalah kerasnya dia membentak.

“Rina!

“Aku bicara apa adanya. Ibu nggak sayang sama aku. Aku ini anak haram. Bahkan ibu tak pernah memberi tahu siapa ayahku.”

“Plaak!” tangan Bu Vivi melayang dan mendarat di pipi Rina. Pipinya memerah. Hatinya sakit. Sepanjang hidupnya baru kali ini ibunya menamparnya. Ia pun menangis. Sambil memegang pipinya ia berteriak.

“Benar kan apa yang aku bilang? Ibu nggak sayang aku. Aku benci Ibu!” jerit Rina di sela-sela tangisnya. Kemudian ia keluar kamar. Satu yang dia tuju. Mbok Irah. Ia akan menangis di pangkuan Mbok Irah seperti yang biasa ia lakukan selama ini di saat ia berduka. Bu Vivi mengejar anak yang sangat dikasihinya. Ia sangat menyesal tidak bisa mengendalikan emosinya. Ia menyesal telah menampar anaknya.

“Rina! Rina! Maafkan Ibu! Rina!” Bu Vivi memanggil-manggil Rina. Rina terus saja berlari menuruni tangga. Karena kurang hati-hati Rina terpeleset. Ia jatuh terguling-guling sampai lantai bawah. Ia tak sadarkan diri. Bu Vivi menjerit melihat darah berlumuran membasahi lantai. Ia panik.

“Mbok, Mbok …!”

“Iya, Ndoro,” jawab Mbok Irah tergopoh-gopoh, “Ya Allah, Non!” teriaknya kaget melihat Rina tergeletak tak sadarkan diri.

“Cepat bantu aku membawanya ke mobil,” perintah Bu Vivi. Rina digotong menuju mobil. Bu Vivi segera melarikannya ke rumah sakit. Untung di rumah sakit Rina segera ditangani sehingga nyawanya masih tertolong.

Karena lukanya cukup parah, terpaksa dia harus menjalani rawat inap. Dengan setia Bu Vivi menungguinya siang malam. Meskipun ibunya sudah berulang kali meminta maaf, namun Rina masih saja diam tak mau bertegur sapa.

Di suatu senja, di hari ketiga dia di rumah sakit, Arum datang bersama Dino dan seorang lelaki berumur enam puluh tahunan. Lelaki itu belum pernah dilihatnya. Anehnya Rina merasakan sudah kenal betul dengan lelaki itu. Ia memandang ibunya meminta penjelasan. Yang dipandang menunduk dan tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Rina kemudian memandang Dino dengan rasa benci yang menggunung. Melihat Dino, kepalanya yang masih diperban terasa sakit sekali. Tapi, sebentar. Rasanya ada yang aneh.Rina mencoba memandang Dino sekali lagi. Sakit di kepalanya dia abaikan. Benar saja. Wajah Dino sangat mirip dengan lelaki di sampingnya. Rina bertanya dalam hati, apakah lelaki itu ayah Dino. Kembali ia memandang ibunya yang semakin tertunduk. Bahkan sekarang Rina melihat butiran-butiran bening menetes dari mata indahnya.

“Rin, bagaimana keadaanmu?” tanya Arum memecah kesunyian di kamar itu.

“Sudah lumayan baik kok, Rum. Makasih ya,” jawab Rina membalas jabatan tangan Arum. Arum seolah tahu apa yang berkecamuk di otak sahabatnya. Maka buru-buru ia memperkenalkan lelaki tua itu.

“Rin, ini ayah Dino,” kata Rina.

“Mengapa kau bawa dia ke sini, Rum?” tanya Rina kecewa dengan kehadiran Dino.

“Ibumu menelepon bapak. Mengabarkan bahwa kamu jatuh. Bapak mengajak anak bapak, Dino, untuk mengantar ke sini,” jelas lelaki tua yang sedari tadi diam termangu.

“Rin, maafkan ibu kalau selama ini ibu merahasiakan siapa bapakmu. Ibu ingin mengubur sakit hati ibu, Nak. Dialah bapakmu,” kata Bu Vivi terbata-bata.

Kata-kata Bu Vivi bagai sambaran petir di telinga Rina. Ia tidak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya. Senangkah? Bahagiakah? Atau sebaliknya? Rina tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya diam membisu, sambil merasakan ribuan jarum menusuk-nusuk kepalanya.

“Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak,” kata lelaki tua itu memegang tangan Rina. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir Rina. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia dengar senandung merdu yang selama ini ia rindukan. Sementara Dino diam membisu di dekat pintu. Dia tidak sanggup menyaksikan semuanya. Dia pun keluar ruangan untuk menyembunyikan butiran-butiran bening yang sudah mulai luruh membasahi pipinya. Pipi yang berlesung pipit yang selama ini telah menarik perhatian Rina.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Terhanyut aku namun ada yang membuat rancu ini memang benar begini atau salah ketik, jadi gagal faham di sini maaf masukan ya Bu “Rin, ini ayah Dino,” kata Rina.

10 Sep
Balas

Tulisan itu betul. Ayah Rina dan ayah Dino sebenarnya sama, hanya saat itu Rina belum tahu kalau ayah Dino juga ayahnya. Itulah penyebab Dino meninggalkan Rina karena dia tahu Rina adalah adiknya.

14 Sep



search

New Post