HILANG
"Mel, lihat kacamata ibu gak?" tanya Ibu, tangannya nampak sibuk membuka tiap laci yang ada di meja tulisnya. Kekesalan tergambar di wajahnya yang memerah. "
Nggak tau", jawabku singkat.
Ibu mengobrak ngabrik kamarnya. Bantal dan guling nampak berserakan di lantai, belum lagi tumpukan buku-buku yang diturunkan dari meja dan rak buku yang ada di sudut ruangan. Suasana kamar layaknya seperti baru saja dihempas gelombang tsunami.
"Hadeeh, ini jam tangan ibu juga kemana ya? Kamu gak liat? " tanyanya lagi.
"Nggak tau ibu, kan aku udah bilang nggak tau!"
"Ngomongnya biasa aja kali, gak usah nyolot begitu. Kan ibu nanyanya juga baik-baik", terlihat ibu menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menahan emosi dan tidak terpancing oleh sikapku.
"Ibu nuduh aku.."ujarku.
" Ibu gak nuduh, Meli. Ibu cuma nanya", ucapnya datar dan tetap tak terpancing. Sungguh pengendalian emosi yang luar biasa.
Namun demikian, aku tahu pasti bahwa jauh di lubuk hatinya, ibu mencurigai aku. Karena ini sudah seringkali terjadi. Awalnya aku melakukannya hanya sekedar iseng untuk memancing kemarahan ibu tapi aku selalu gagal. Ibu selalu bisa mengontrol emosinya dengan baik. Dan itu membuat aku semakin penasaran. Berawal dari rasa penasaran itu, entah kenapa aku seperti mendapat kepuasan tersendiri ketika ibu tidak berhasil menemukan barang-barang yang kusembunyikan.
Sama seperti hari ini, aku tersenyum puas melihat ibu kebingungan mencari kacamata dan jam tangannya. Kalau hanya jam tangan, mungkin ibu tidak terlalu peduli, tapi kacamata. Ibu pasti tersiksa sekali tanpa kacamata minusnya. Kasihan juga aku melihatnya. Akhirnya..
"Ini apa bu?" kataku sambil menunjukan kacamata berframe bulat berwarna coklat tua di atas meja.
"Koq ada di situ?" tanya Ibu dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Gak tau, emang dari tadi ada di situ kali. Ibu aja yang nyarinya ga bener!" kilahku.
"Ah dari tadi gak ada, ibu kan udah bolak balik nyari ke situ, sampai buku- bukunya ibu turunin tuh.."ujar ibu sambil sibuk merapikan kembali buku-buku koleksinya. Aku mengangkat bahu dan segera berlalu sambil menahan tawa. Well, at least ibu tidak menemukan jam tangannya.
Tiga hari kemudian.."Gimana caranya ini bisa ada di tengah buku di rak paling pojok pula?" Ibu menunjukan sebuah jam tangan berwarna hitam, bulat nan elegan.
"Mana aku tau, ibu lupa naro kali!" jawabku sekenanya.
"Gak mungkin, masa ibu naro jam di tengah-tengah buku di dalam rak! Di mana logikanya coba?" tanya Ibu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Dan seperti biasa, ibu selalu memaafkan aku. Ibu hanya tersenyum lalu mengusap kepalaku.
Aku memang dekat sekali dengan ibu. Kedekatanku dengan ibu tidak hanya dekat sebagai ibu dan anak, tetapi juga lebih seperti teman, sahabat atau bahkan lebih dari itu. Ibu bisa di ajak ngobrol tentang apa saja, dari hal yang up to date sampai hal yang paling jadul sekalipun. Ibu seringkali membuat aku tertawa dengan segala kekonyolannya. Terkadang aku merasa penasaran apakah ibu sekonyol ini di depan murid-muridnya. Ingin sekali saja aku melihat dia mengajar dan melihat bagaimana kalau dia marah pada murid-muridnya. Dan ketika kuungkapkan hal itu, ibu hanya menanggapinya dengan tersenyum.
Begitulah, aku mempunyai seorang ibu dengan senyum yang selalu menghiasi wajah cantiknya. Ya, ibuku memang cantik, dia memiliki bentuk wajah yang oval sempurna sedangkan bentuk wajahku bulat seperti wajah nenek dengan tulang pipi yang besar yang merupakan warisan dari Bapak. Ya, wajahku merupakan gabungan antara wajah Bapak dan nenek. Satu-satunya hal yang menarik dari wajahku adalah lesung pipit yang ada dipipi kiriku. Terkadang aku sering bertanya-tanya mengapa aku tak seputih dan secantik ibu. Kadang timbul perasaan minder tapi ibu selalu memberikan motivasi dan mengatakan bahwa aku adalah anak yang istimewa.
Ya, ibu adalah sosok yang mempunyai pengaruh besar dalam hidupku. Ibu selalu membiasakan aku membaca dan mencintai buku sejak aku kecil. Kami bahkan berlangganan majalah bobo dari semenjak usiaku masih balita. Dan dampaknya wawasanku menjadi lebih luas di banding teman-teman Sekolahku. Tak mengherankan jika nilai-nilaiku jauh di atas rata- rata. Bahkan guru-guru disekolahku menyebutkan bahwa aku termasuk salah satu siswa yang multitalenta. Dan waktu pembagian Raport adalah saat yang paling kutunggu-tunggu, di mana aku bisa mempersembahkan nilai-nilai yang hampir sempurna untuk ibu dan menciptakan binar kebahagiaan dan kebanggaan di mata ibu. Setelah itu ibu akan mengajak ke toko buku dan aku akan mendapatkan privilage-privilage sesuai dengan prestasi yang aku capai. Aku bisa memilih 3 buku yang aku suka. Tak peduli berapapun harganya asal aku suka dan buku itu baik buat aku, ibu pasti membelikannya. Setelah itu kami makan honey fried chicken di KFC atau makan ramen atau udon di restaurant jepang. Kami menghabiskan waktu berdua. Ya.. berdua saja, hanya aku dan Ibu.
Lalu bagaimana dengan Bapak? Apa yang bisa kuceritakan tentang bapak? Sosok yang tidak pernah ada dalam hidupku. Saking tidak adanya cerita tentang Bapak, aku sampai ikut terdata sebagai anak yatim pada kegiatan 10 Muharram di Sekolahku. Asumsi itu terjadi karena cerita yang keluar dari mulutku kepada teman-teman sekolahku hanya ibu dan ibu. Seingatku Bapak pernah datang sekali untuk menyaksikan aku lomba pada perlombaan antar sekolah tingkat kabupaten saat aku masih TK. Setelah itu sosoknya tak pernah muncul lagi, hilang bak ditelan bumi. Kepergian Bapak terkadang membuat aku jadi benci dan marah sama ibu. Otakku dipenuhi prasangka buruk. Namun seiring bertambah usia, aku semakin mengerti dan memahami alasan ibu berpisah dari Bapak.
Selain ibu, aku juga mempunyai kakek dan nenek yang sangat menyayangiku. Serta Kakak laki-laki ibu yang biasa kupanggil Wa Dodot. Wa Dodot tinggal di sebelah rumah bersama istri dan anaknya yang masih balita bernama Suci, yang memanggilku dengan panggilan 'Ayi', dalam bahasa Sunda yang berarti Adik. Karena dia merupakan anak dari kakak ibuku, maka posisi ya dalam keluarga adalah sebagai kakak, walaupun usianya jauh lebih muda. Dan Kami menjadi keluarga besar yang saling melengkapi. Kami saling berbagi dalam hal apapun, bahkan Suci seringkali ikut menikmati privillage yang aku dapatkan dari ibu. Hampir setiap akhir pekan ibu meluangkan waktu untuk kami.
Namun semua berubah ketika makin hari, ibu makin sibuk dengan pekerjaannya. Tak jarang ibu bekerja sampai larut malam, benar-benar kejar deadline yang tak kenal waktu. Bahkan seringkali merusak quality time-ku bersama ibu saat akhir pekan tiba. Ibu hampir tak bisa meluangkan waktu untukku .
"Bibi sekarang udah beda ya yi.." ujar Suci ketika ibu sibuk didepan laptopnya sepulang dari Diklat. Ibu menatapku, sejuta tanda tanya seolah berkeliling di atas kepalanya.
"Sekarang mah udah gak pernah manggil kita cantik lagi. Anak orang disayang-sayang, giliran anak anak sendiri dibentak-bentak." ujarnya lagi, ibu menatapku dengan tatapan curiga. Mustahil anak umur empat tahun bisa ngomong seperti itu tanpa di briefing dulu. Sejenak Ibu menghentikan kegiatannya, dan sejauh ini semua berjalan sesuai rencana.
"Hmm..begitu ya? Masa sih?" tanya Ibu dijawab anggukan serempak oleh aku dan Suci. Sementara Ibu hanya tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya.
"Tuh kan? Kerja aja terus, kita ngomong gak didengerin!" Aku mulai cemberut diikuti oleh suci yang ikut-ikutan cemberut.
"Ibu lagi bikin laporan, sayang. Ini harus selesai besok", ujarnya lembut sambil mengusap pipiku lalu meletakkan tangannya di kedua pipi Suci dan menggembungkan pipinya sendiri. Setelah itu ibu kembali fokus pada pekerjaannya. Sesekali lehernya bergerak ke samping untuk meredakan rasa pegal.
"Bibi capek ya?" tanya suci sambil beranjak ke belakang ibu lalu tangannya menyentuh pundak ibu dan mulai memijit.
"Itu di hotel ya bi?" tanya Suci saat melihat photo - photo diklat ibu yang dijawab dengan anggukan.
"Enak banget, aku mau jadi guru kayak bibi ah, biar bisa nginep di hotel bagus!" ujarnya polos.
"Udah bi, kalo capek mah gak usah kerja nanti bibi sakit", ujarnya lagi. Tangannya terus memijat-mijat bahu ibu.
"Laah, kalo nggak kerja nanti bibi nggak dapat duit dong", senyum ibu melebar.
"Kalo duit bibi abis, ke ATM aja. Tinggal pencet-pencet keluar deh duitnya", saran yang membuat aku dan ibu tertawa.
"Yee.. dodol, emang dikira ATM nya bisa ngisi sendiri? Keseringan diajak ngambil uang sih, Dasar bocah!" seruku menjulurkan lidah dan plaak!! sebuah pukulan mendarat di lenganku. Ku balas dengan mencubit pipinya yang chubby.
"Eh..eh..koq jadi berantem. Hadeeh dasar Tom & Jerry!" Ibu berusaha melerai.
"Aku yang jadi Tom, weee", aku kembali menjulurkan lidah.
"Aku Tom!" Suci membentakku.
"Kamu Jerry.." Aku tertawa.
"Nggak mau, aku Tom!" Suci mulai berteriak.
"Kamu itu kecil kayak Jerry, Tom itu badannya besar!" ujarku
"Nggak mau! Aku maunya jadi Tom.." rengek suci. Dan Kami terus saja bertengkar memperebutkan Tom. Sementara Ibu tertawa bahagia, sepertinya pertengkaran kami menjadi hiburan tersendiri baginya. Dan meskipun ini jauh diluar skenario yang telah kubuat namun setidaknya kami bisa membuat ibu tertawa.
Sore ini, aku Mondar-mandir melewati ruang kerja tempat di mana ibu sibuk dengan laptopnya lalu pergi ke dapur yang kebetulan berada di sebelah ruang tersebut. Kemudian, gubraak..! Aku membanting wajan ke atas kompor gas lalu memasukan minyak goreng dan bumbu seadanya kemudian mengaduknya dengan keras sehingga terdengar seperti suara ketukan yang berulang- ulang dan semakin lama semakin keras.
"Kamu ngapain sih?" tanya Ibu lembut namun penuh tekanan. Rupanya keributan yang kubuat berhasil menarik perhatian ibu. "
"Bikin nasi goreng!" cetusku.
"Pelan-pelan atuh Mel, koq rame amat!" sekilas kulihat dahi ibu berkerut hampir membuat kedua alisnya jadi tersambung, pertanda sedang menahan emosi yang kuat.
"Biarin, suka-suka akulah!" jawabku ketus membuat tarikan nafas ibu semakin dalam.
"Ya sudah, sini ibu yang bikin", kata ibu dengan wajah agak muram.Mungkin karena merasa tak enak hati, akhirnya ibu mengambil alih pekerjaanku. Dan, "Yes!! Aku berhasil! " Aku tersenyum penuh kemenangan.
Sementara itu "penyakit" lamaku kumat lagi. Kali ini aku menyembunyikan sebelah sepatu ibu ketika ibu hendak pergi dengan teman-temannya. Hingga hari menjelang siang, sepatu ibu tidak juga ditemukan. Dan akhirnya ibu mengurungkan niatnya untuk pergi. Aku yakin ibu tidak jadi pergi bukan semata-mata karena sepatu melainkan karena aku. Dan aku Rahmelia Putri, kembali memenangkan pertarungan ini.
"Kenapa jilbabnya dilepas?" tanya Ibu ketika suatu sore aku pulang dari sekolah dengan jilbab tersampir dipundak, kotoran tanah merah menempel di beberapa bagian baju putihku. Sementara jilbabku berubah warna menjadi coklat karena penuh debu. Aku duduk di teras sambil menelungkupkan wajah pada lututku dan mulai menangis sejadi-jadinya.
"Ya sudah, nangis aja dulu. Kalo udah tenang, ibu siap mendengarkan, "Kata ibu lembut sambil membelai kepalaku. "Kenapa?" samar kudengar suara nenek bertanya pada ibu. "Berantem kayaknya. Gak usah ditanya dulu. Biarin aja dia nangis, biar emosinya terlampiaskan," kata ibu setengah berbisik dan meninggalkan aku yang mulai menangis keras-keras.
Setelah satu jam, aku merasa sedikit tenang. Kuhampiri ibu yang tengah sibuk dengan laptopnya. Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku.
"Sudah siap cerita?" tanyanya lalu kujawab dengan anggukan.
"Ok, sini duduk!" kata ibu sambil bergeser memberi ruang untuk aku duduk di sebelahnya.
"Aku berantem sama Ririn", ujarku sambil menunduk.
"Koq bisa?" tanya Ibu dengan tenang, tak nampak kemarahan sedikitpun di wajahnya.
"Abisnya dia duluan yang dorong aku".
"Terus?" tanya Ibu dengan wajah serius.
"Ya aku balas, aku dorong lagi dia sampe jatuh. Terus jilbab aku ditarik sampe lepas, terus aku balas lagi, aku tarik jilbabnya. Terus dia mukul aku, pas aku mau balas keburu di pisah sama pak guru", jelasku panjang lebar.
"Astagfirullah.." hanya itu yang keluar dari mulut ibu. Matanya nampak berkaca-kaca.
"Dia itu gangguin aku terus bu, tiap papasan dia pasti nyenggol aku sampe mau jatuh , kadang kaki aku di injak, kadang ngeledek yang gak jelas, pokoknya selalu cari gara-gara deh!" penjelasanku membuat ibu menarik napas panjang.
"Ya, orang seperti itu sekali-kali memang harus dilawan biar gak jadi kebiasaan dan kamu gak tjadi korban bully", ibu tersenyum dan aku mengangguk setuju.
"Ibu senang kamu berani melawan. Tapi, hanya sekali ini saja ya, lain kali menghindar saja! kan malu, masa anak cantik ibu berantem, sampe pukul-pukulan lagi. Apa kata dunia! Ingat, jangan diulang lagi!" tegas ibu.
"Iya bu, malu banget. Mana berantemnya dilapangan, ditonton sama orang satu sekolahan. Sampe dipisah sama kepala sekolah dan wakilnya", ujarku lagi.
"Terus, masalahnya sekarang gimana?" tanya Ibu.
"Udah didamaikan sama pa kepala sekolah", ujarku lagi.
"Bagus, berarti udah saling memaafkan ya..? Ingat, masalah sama teman itu biasa. Yang penting jangan ada dendam, ok?" aku mengangguk.
"Ya sudah, makan dulu sana..!" Aku mengangguk sebelum akhirnya beranjak dari hadapan ibu dengan perasaan lega.
Dan semenjak hari itu, ibu lebih sering menghela nafas berat.Wajahnya nampak murung dan senyumnya jarang sekali terlihat. Sepertinya perubahan sikapku menjadi beban yang amat berat bagi ibu.
Beberapa hari kemudian..
"Aku gak sekolah ya bu?" tanyaku suatu pagi, selepas Subuh ketika ibu masuk ke kamarku. aku merasa kepalaku agak berat.
"Kenapa?" tanya Ibu mengernyitkan dahi
"Pusing" jawabku singkat, ibu memegang dahiku kemudian Keningnya berkerut.
"Ah gak panas koq", ujar ibu.
"Tapi aku pusing bu", aku setengah merengek.
"Masuk aja, kalo udah di sekolah ketemu temen nanti juga pusingnya ilang", kata ibu sebelum akhirnya keluar dari kamarku.
Selang beberapa jam kemudian ibu kembali masuk kamarku lengkap dengan seragam PDH nya.
"Koq masih tiduran?" tanya Ibu dengan wajah yang terlihat kaku.
"Aku pusing ibu, aku gak masuk ya? ", aku kembali memohon berharap untuk di setujui.
"Nggak, setengah hari juga ga pa pa. Kalo gak kuat kamu bisa ijin pulang ke guru piket. Yang penting masuk dulu!" tegas ibu.
"Sehari aja bu, please...?"
"Minggu kemarin kamu udah gak masuk, sekarang mau gak masuk lagi? Nggak, nggak.." Ibu menggelengkan kepala.
"Kenapa? Hari ini ada pelajaran apa? Matematika? Ibu gak suka kamu menghindar seperti itu! Sesulit apapun, hadapi!" tegas ibu kemudian berlalu. Kata-kata ibu sungguh melukai perasaanku. Walaupun aku tidak terlalu suka pada mata pelajaran matematika, tak terbersit sedijitpun dipikiranku untuk menghindar apalagi dengan cara berpura-pura sakit, aku sangat tersinggung. Dengan kesal kubanting bantal ke lantai, ku sambar handuk dan segera masuk ke kamar mandi. Dan pagi itu aku berangkat tanpa ada peluk cium seperti biasanya. Aku benar-benar marah! Lalu berbagai bentuk pembangkangan mulai kulakukan, mulai dari membanting pintu kamar, sampai membentak bahkan mengacuhkan ibu selama berhari-hari. Aku pun jadi malas belajar, alhasil nilai-nilaiku jeblok. Selanjutnya aku menjadi makhluk anti sosial yang selalu mengurung diri di kamar bertemankan Gadget yang setia setiap saat. Dan segala motivasi yang ibu berikan selama ini seolah hilang, lenyap bak air di daun talas.
"Mel, kamu kenapa sih?" tanya Ibu suatu sore. Aku menanggapinya dengan diam dan asyik dengan Gadgetku.
"Mau sampai kapan kamu ngediemin ibu seperti ini? "tanyanya lagi dan aku tetap diam.
"Kan dalam agama juga gak boleh diem-dieman selama tiga hari. Ini udah lebih dari tiga hari lho.."kata ibu mengingatkan. Darahku terasa berdesir mendengarnya. Ya, sudah hampir satu minggu aku berada dalam ketidak nyamanan karena mendiamkan ibu. Namun demikian bisikan-bisikan dihatiku kembali membuat amarahku berkobar.
"Kalo kemarin-kemarin ibu dianggap salah, ibu minta maaf", kata-kata ibu membuat kesadaran tergugah namun tubuhku tak bereaksi apa-apa, aku tetap diam. Ibu menghela nafas dalam-dalam lalu beranjak. Dan aku tak bisa menahan air mataku..
"Ibu...!"seruku menghambur dan segera memeluk ibu," maafin Meli.." Ibu tersenyum lalu membalas pelukanku.
"Iya, ibu juga minta maaf ya kalo ibu suka bikin kamu kesel", ujar ibu lagi.
"Kata bu Nur, Guru PAI ku do'a seorang ibu itu pasti terkabul. Waktu aku marah ibu gak do'ain aku yang macam-macam kan?" tanyaku. Kekhawatiranku membuat ibu tertawa.
"Ya nggak lah, mana ada orang tua yang mendo'akan anaknya jelek.." Ibu tersenyum dan membelai kepalaku.
"Gak usah di do'ain juga emang Ayi itu udah jelek..ha..ha..ha.." Suci tiba-tiba muncul dipintu.
"Eh bocah, ngomong apa kamu?" seru ku sambil mengejar suci yang berlari dan berteriak-teriak minta tolong pada nenek. Dan hari-hari berikutnya suasana kembali ceria dan hubungan kami kembali menghangat.
Namun hari ini mendung kembali menggelayuti wajah ibu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, aku mempersembahkan nilai-nilai yang hanya terpaut beberapa angka dari KKM. Ibu menghela napas berat menatap nilai-nilai di Raport ku. Tak ada binar yang selama ini kurindukan, dan tak ada pula binar kemarahan yang selama ini kutakutkan. Ya, walaupun ibu nampak kecewa ibu tetap tersenyum.
"Tidak apa-apa, hidup tidak selalu harus di atas," Ibu menatapku dengan lembut.
"Masih ada waktu, kita kejar di semester ini!" kata ibu memberi semangat. Hari ini aku seperti menemukan ibuku kembali, ya.. Ibuku yang hilang kini telah kembali!
Mengawali semester genap di kelas IX, aku berusaha keras untuk mengejar ketertinggalanku. Aku belajar hampir tanpa henti. Tak jarang aku hanya tidur dua jam dalam sehari semalam. Rasa Lelah terkadang membuat emosiku jadi tidak stabil, sering marah-marah tak jelas.
"Gak usah di porsir begitu belajarnya.." kata ibu pada suatu malam ketika waktu menunjukan. Pukul 23:30, dan aku berkutat dengan buku-buku pelajaran.
"Manusia itu mempunyai batasan, secara intelektual kamu mampu tapi jangan memaksakan diri. Kasihan fisik kamu, nanti kamu sakit", ucap ibu penuh kekhawatiran.
"Kalo aku gak belajar nanti nilaiku jelek, ibu!" ucapku dengan kekhawatiran yang berbeda.
"Ibu gak nuntut kamu harus dapat nilai bagus, yang penting kamu happy dan nyaman dalam belajar. Dibawa santai aja napa.." ujar ibu.
"Ibu ini enak banget ya ngomongnya di bawa santai, dibawa santai. Anak orang aja diperhatiin, di suruh rajin belajar. Giliran anak sendiri disuruh santai. Lama-lama ibu aku laporin juga ni ke guru BP," ucapanku spontan membuat ibu tertawa, "Ibu mau dilaporin? Ampun deh.." ucapnya sambil menepuk jidat.
"Eh Iya ya, ibu kan guru. Masa guru di BP," gumamku tertawa, dan perangpun berakhir tanpa pemenang.
Dan akhirnya kekhawatiran ibu terbukti, selang seminggu setelah UNBK aku demam tinggi. Tepat pukul sepuluh malam aku dibawa ke ruang UGD dan harus langsung rawat inap. Hasil cek lab menyatakan bahwa aku positif terkena DBD.
Hari pertama di ruang perawatan aku merasa tubuhku sangat lemah bahkan untuk dudukpun aku tidak sanggup. Dan siklus haidku datang sebelum waktunya. Hal ini semakin memparah keadaanku. Di hari kedua, tubuhku terasa lebih segar dibanding kemarin. Bahkan aku sudah bisa makan sendiri.
"Alhamdulillah, kayaknya besok sudah bisa pulang ni", kata ibu tersenyum melihat aku menyuapkan nasi tim jatah makan malam dari Rumah Sakit ini. Tiba-tiba aku merasa ada cairan keluar dari kedua lubang hidungku.
"Ibu..." panggilku sambil menunjukan cairan berwarna merah segar dijari telunjuk kananku.
"Oo, kamu mimisan, sebentar ibu bilang suster dulu ya.." kata ibu dengan tenang, lebih tepatnya berusaha untuk terlihat tenang.
Tak lama kemudian beberapa perawat berlarian mendatangiku dan langsung memeriksa kondisiku disertai seorang dokter jaga.
"Harus diguyur!" perintahnya pada salah satu perawat, lalu perawat tersebut mempercepat tetesan infus yang masuk ke tubuhku.
Sementara itu kulihat ibu berbicara serius dengan seorang dokter, sesekali ibu menatap dan tersenyum untuk menenangkanku. Setelah ibu menanda tangani suatu dokumen, dokter itu berlari keluar ruangan meninggalkan rekannya dan para perawat yang sibuk menanganiku. Ibu nampak berusaha tetap tenang, lalu ia masuk kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar dan tersenyum padaku. Aku tahu ibu menangis.
Selanjutnya aku di bawa ke lantai dua, di ruangan yang bertuliskan ICU. Selain infus, selang yang menempel ditubuhkupun bertambah. Aku ditransfusi cairan berwarna kekuningan.Di ruangan ini aku ditemani oleh seorang perawat yang setiap lima menit sekali memantau perkembanganku melalui monitor komputer yang tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi beep. Dan ibu serta nenek yang secara bergantian menemaniku.
Hari berikutnya bapak datang menjenguk. Mungkin nenek yang memberitahunya. Akhirnya orang yang tak pernah kurindukan sama sekali itu datang juga. Dia berdiri tepat di samping tempat tidurku, membelai dahiku tanpa bicara sepatah katapun. Dia begitu dekat tapi rasanya sangat jauh. Entahlah, aku sendiri tak mengerti mengapa tidak ada rasa sama sekali, tak ada excited, chemistry atau ikatan bathin antara Bapak dan anak. Semua terasa hambar dan biasa saja, layaknya seperti orang asing, bahkan lebih asing dari rekan-rekan dan sahabat-sahabat ibu yang silih berganti datang menjengukku. Selang setengah jam kemudian, dia pamit untuk kembali ke kantor, ada pekerjaan yang harus di selesaikan katanya.
"Who cares.." gumam bathinku. Aku hanya butuh ibu untuk tetap selalu mendampingiku.
Setelah menghabiskan delapan kantong trombosit, kondisiku semakin stabil dan dua hari berikutnya aku diperbolehkan pulang. Dan sejak itu pula komunikasi seadanya mulai terjalin antara aku dan Bapak. Ya, benar-benar seadanya. Itupun hanya dua kali dalam kurun waktu dua minggu selama aku di rumah, lalu komunikasi tersebut kembali hilang ditelan waktu.
"Wow, cantiknya.." Aku menatap kebaya berokat pink kombinasi silver yang telah dipersiapkan ibu untuk acara wisuda kelulusanku dari SMP Islam Citra Harapan. Akhirnya aku bisa memakainya setelah seminggu yang lalu harapanku pupus untuk itu. Kini, aku berada diantara para wisudawan lain menatap ibu di tribun tamu undangan dengan penuh kebanggaan.
"Setelah rangkaian acara kita lalui, tiba saatnya untuk mengumumkan tiga siswa terbaik lulusan SMP Islam Citra Harapan", suasana hening seketika.
"Siswa terbaik ketiga jatuh kepada ananda Fadlan Hidayat. Siswa terbaik kedua ananda Ahmad Fahrezy dan.." Hening sejenak, harap-harap cemas menunggu.
"Siswa terbaik pertama, Ananda Rahmelia Putri Andini".
Seluruh hadirin berdiri dan bertepuk tangan seiring nama kami bertiga dipanggil naik ke atas panggung. Suara gemuruh tepuk tangan bergema dipenjuru aula membuatku merinding. Aku mendapatkan bucket bunga serta beberapa bingkisan. Aku menatap ibu yang tersenyum. Ibu memelukku dengan mata berkaca-kaca ketika aku memberikan bucket bunga. Dan tetesan air mata itu tidak menghalangi binar yang terpancar di mata ibu. Ya, binar yang kemarin-kemarin sempat hilang kini telah kembali.
"Kabarin bapak kamu, kasih tau prestasi kamu hari ini ", kata ibu ketika acara selesai.
"Kenapa?" tanyaku dengan mimik heran.
"Biar tau aja, biar dia ikut senang", jelas ibu datar.
"Emang harus banget ya dia ikut senang? Orang dia aja gak mau tau koq. Kalo dia emang peduli kan harusnya dia yang nanya." sanggahku.
"Gak ada salahnya kamu nyapa duluan, biar komunikasinya gak putus," Ibu mengingatkan.
"iya sih, tapi chattingan sama bapak itu aneh bu rasanya," ungkapku. "Selama ini dia tuh gak pernah ada, sekarang tiba-tiba dia muncul dan hati aku seperti dipaksa untuk mengakui keberadaannya". Ibu tersenyum dan menghela napas dalam-dalam.
"Aku dendam bu," kataku akhirnya. " Tapi bukan dendam sama Bapak lho.. Aku gak benci sama Bapak. Kalaupun seandainya Bapak datang, mau ngasih uang atau nggak, aku 'B' aja gitu lho, selama ada itikad baik dari dia".
"Iya, ibu paham! Kamu dendam sama keadaan, kan?" tanya Ibu memastikan.
"Ya, itulah kenapa aku belajar mati-matian, berusaha ingin selalu menjadi yang terbaik. Apalagi aku liat ibu kerja sendirian untuk memenuhi segala kebutuhan aku, pokoknya aku harus sukses!" Ibu kembali tersenyum.
"Aku tahu ibu mau ngomong apa!" aku memotong ketika kulihat ibu akan mengatakan sesuatu.
"Apa?" tanya Ibu mengernyitkan dahi sambil kembali tersenyum.
"Gak boleh gitu mel, dendam itu gak baik!" ujarku sambil menirukan gaya bicara ibu ketika sedang menasehatiku.
"Sok tau.." Ibu menertawakan tingkahku.
"Ya taulah bu. Aku itu kenal ibu udh 14 tahun. Seumur hidup aku bareng-bareng sama ibu," aku menepuk dada.
"Hmm.. gitu ya? Tapi kali ini kamu salah, anak muda!" kata ibu dengan mimik wajah yang kocak lalu tersenyum penuh kemenangan.
"Ibu cuma mau bilang Aamin. Dan alhamdulillah, artinya kamu mampu mengelola rasa yang ada di hati kamu menjadi motivasi yang memberikan dampak positif buat diri kamu sendiri".
"Berarti boleh dong aku dendam?" tanyaku lagi. Ibu tertegun dengan ucapanku, sepertinya ia bingung harus menjawab apa. Aku tertawa, dan untuk 'pertarungan' kali ini, akulah pemenangnya!
= SELESAI =
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
hehehe..ibu gurunya teruji nih kesabarannya..salam
Alhamdulillah, semoga saja.. Salam kembali bun
makin inspiratif, semoga makin sukses
Keren ceritanya ibu.. Sukses selalu
Keren ceritanya, mantab amanatnya. Salam literasi, Sukses selalu.
Alhamdulillah, aamiin.. Makasih
Gurih. Semangat
Makasih bun
Alhamdulilah, aamiin..makasih