KEINDAHAN MASA (FAJAR DAN SENJA)
“Maafkan Bapak, Sa.” Terdengar suara berat dari balik pintu ruangan yang didominasi kuning. Lelaki paruh baya itu berusaha membujuk putri semata wayangnya.
Sabitah duduk di atas ranjang kamarnya. Dia membenamkan wajah di antara kedua kaki yang tertekuk. Bibirnya tertutup rapat, berusaha menahan suara tangis.
“Sabi memang tidak pernah bicara jujur tentang hubungan kalian. Walaupun sebenarnya, Bapak sendiri sudah menyadari jika hubungan kalian tidak hanya sebatas teman.”
Beberapa saat tak ada suara dari mereka berempat yang duduk di sofa ruang tamu. Bu Kusno menggenggam tangan Sabitah, mencoba menenangkan.
“Saya akan berusaha membahagiakan putri Bapak,” ucap pria berkemeja biru tua itu. Dia mengangkat kepala, menegakkan badan, dan menatap dengan penuh keyakinan.
“Dengan cara apa?” tanya Pak Kusno tegas.
Seketika pemilik nama Rakha, menunduk lesu. Dia tak bisa menjawab pertanyaan Pak Kusno.
Malam itu menjadi malam kelam bagi Sabitah. Ketika sang pujaan hati yang bertamu, menyampaikan keinginan untuk mempersuntingnya. Namun, dengan tegas Pak Kusno menolak itikad baik tersebut.
“Pak, biar Ibu yang bicara dengan Sabi,” ucap Bu Kusno dengan lirih.
Pak Kusno mengangguk. Dia mengalah dan berlalu dari depan kamar Sabitah.
“Sabi ... buka pintunya, Nak! Ibu ingin bicara sebentar, Sayang.”
Mendengar suara lembut itu, Sabitah beranjak dan membiarkan Bu Kusno masuk. Dia butuh teman untuk meluapkan kekecewaannya.
Bu Kusno tidak membahas hal yang terjadi dua puluh menit lalu. Dia hanya memeluk Sabitah. Mengelus rambut hitam panjang itu dengan lembut. Sesekali menepuk pelan punggung Sabitah. Dia membiarkan putrinya menangis agar merasa lebih tenang.
Sabitah mengurai pelukannya. Kedua tangannya mengusap pipi yang basah. Napasnya tersengal, masih ada sisa dari tangisannya.
“Bu ... kenapa Bapak tidak menerima Mas Rakha? Dia baik, Bu. Sabi yakin, kami akan bahagia,” ucap Sabitah.
“Bapak sudah mencari tahu asal-usul Rakha. Jauh sebelum kamu mengajaknya ke sini. Diam-diam, Bapak mengawasimu. Mencari tahu semua yang dekat denganmu. Bapak terlalu sayang kamu, Sa.”
Sabitah menunduk. Air matanya menetes kembali. Dia merasa terkekang. Namun, dia sadar bahwa Pak Kusno ingin memberikan yang terbaik.
♥ ♥ ♥
Kediaman Pak Kusno tampak ramai. Papan berhias bunga sebagai tanda ucapan, berjajar rapi di pelataran rumahnya.
Pak Kusno sedang berdiri memandangi papan kiriman dari beberapa kerabat. Dia membaca setiap tulisan yang menempel di sana dengan perasaan lega. Senyum bahagia pun terkembang darinya.
Happy Wedding
Faisal Willy Ridwan & Sabitah Tiara Utami
Setelah gagal menikah dengan Rakha, Sabitah berusaha membuka hati untuk lelaki yang dikenalkan Pak Kusno. Meskipun perkenalan itu terbilang cukup singkat, akhirnya Sabitah menerima pinangan Faisal.
Malam ini keduanya berada di kamar Sabitah. Duduk berdampingan di tepi ranjang.
Sabitah menunduk malu. Tangannya bertaut, saling memainkan jari.
“Dik Sai.” Panggilan sayang dari Faisal untuk istrinya.
“Iya, Mas,” jawab Sabitah singkat.
Sabitah sedikit bergeser menjauhi Faisal. Faisal sadar ada kecanggungan di antara dirinya dan Sabitah. Dia pun tahu jika istrinya belum sepenuhnya menaruh rasa padanya.
“Dik Sai cape, ‘kan? Langsung tidur saja, ya!” Faisal beranjak dari ranjang menuju pintu.
Sabitah terkejut. Kepalanya terangkat.
Sepertinya Mas Faisal marah karena tiba-tiba aku menjauhinya, pikir Sabitah.
“Mas mau ke mana?” Spontan dia mengeluarkan pertanyaan itu. Dia merasa bersalah.
Faisal menoleh. Badannya berbalik meskipun masih tak mendekat pada Sabitah. Dia tersenyum.
“Mas mau bikin teh hangat. Apa Dik Sai juga mau?”
Sabitah menggeleng. “Biar aku yang bikin. Mas di sini aja,” ucapnya seraya berdiri, berjalan ke arah pintu.
Faisal memegang tangan Sabitah yang hendak memutar knop. Keduanya terdiam. Mereka berpandangan.
“Dik Sai, Mas nggak akan memaksa. Mas akan menunggu Dik Sai ... sampai bisa menerima Mas.” Faisal tersenyum.
Sabitah tersentuh mendengar ketulusan Faisal. Mendadak jantungnya berdetak cepat. Seperti ada yang menggelitik hatinya. Wajahnya memanas. Pipinya bersemu. Dia membuang pandangan dan menunduk kembali.
Melihat istrinya yang semakin canggung, Faisal melepaskan tangannya dari Sabitah.
Dengan perasaan tak menentu, Sabitah membuka pintu dan berlalu.
Tubuh Faisal yang gagah, kekar, dan tegap, tak lantas membuatnya bersikap keras dan kasar pada sang istri. Ajaran kedua orang tuanya untuk menghormati dan memuliakan perempuan, selalu dia patuhi.
♥ ♥ ♥
Profesi sebagai pelaut yang diemban Faisal, membuatnya memutuskan untuk tetap tinggal bersama orang tua Sabitah setelah menikah. Agar sang istri tidak merasa kesepian ketika dia bertugas.
“Enggak terasa sudah setahun lebih kamu menjadi istri seorang sersan. Apa kamu bahagia, Sa?” tanya Pak Kusno. Dia berdiri di belakang Sabitah yang sedang duduk merapikan baju kebesaran Faisal di ruang belakang.
Sabitah menoleh dan tersenyum. “Iya, Pak. Sabi bahagia. Terima kasih sudah memberikan pendamping seperti Mas Faisal, Pak,” jawab Sabitah, lalu melanjutkan kegiatannya.
“Apa kamu tidak kesepian saat Faisal melaut?”
Sabitah beranjak dengan membawa baju milik suaminya. Dia mendekat pada Pak Kusno.
“Enggak, Pak. Malah Sabi bersyukur bisa tahu rasanya menjadi istri pelaut, seperti Ibu. Lagipula ada Bapak dan Ibu di sini yang menemani Sabi,” ucapnya.
“Maksud Bapak, kapan Bapak sama Ibu bisa menimang cucu dari keluarga pelaut?” Bu Kusno dari dapur menimpali percakapan bapak dan anak itu. Dia berjalan mendekati mereka berdua. “Bapak dan Ibu sudah tua, ingin segera melihat keturunanmu dan Faisal, Sa. Iya, ‘kan, Pak?”
Pak Kusno mengangguk. Sementara itu, Sabitah hanya terdiam. Bukan karena dia tak menginginkan kehadiran seorang anak. Hanya saja, dia tahu bahwa Tuhan memiliki kuasa-Nya sendiri.
Faisal sedari tadi sudah mendengar percakapan itu dari dalam kamar mandi. Ketika keluar, dia melihat Sabitah kebingungan menanggapi orang tuanya.
“Tenang saja, Pak ... Bu. Nanti Faisal dan Dik Sai langsung merapel cucu buat Bapak sama Ibu,” seloroh Faisal pada mertuanya.
Sontak mereka bertiga memandang Faisal. Kemudian Pak Kusno dan istrinya tertawa mendengar gurauan sang menantu.
“Kamu mau merapel berapa? Cukup untuk membuat pasukan perang tidak?” imbuh Pak Kusno dengan tertawa. “Bapak tunggu, lo!” tuturnya sembari menepuk pundak Faisal dan berlalu, diikuti oleh istrinya.
Faisal mengambil alih membawa baju dari tangan istrinya. Dia tak pernah membiarkan istrinya bekerja sendirian. Dia membantu Sabitah menata baju di lemari kamar.
Selesai menggantung baju di sisi lemari satunya, Sabitah duduk di kursi depan meja rias.
“Maaf, ya, Mas,” ucapnya sambil melihat Faisal yang menutup lemari.
Faisal menoleh, paham arah ucapan Sabitah. Dia menghampiri Sabitah, berlutut, dan menggenggam tangan Sabitah.
“Wajar mereka menanti kehadiran cucu. Abah dan Umi kalau lagi telepon tanya begitu juga, kan.” Faisal mengelus kedua tangan istrinya. “Sabar, Dik Sai. Kita pasrahkan sama Sang Pencipta aja.”
Sabitah mengangguk. Perasaannya pada Faisal mulai tumbuh setelah tiga bulan menikah. Perlakuan dan perhatian sang suami membuat hatinya luluh. Kini, rasa cinta dan sayang itu pun semakin besar.
“Ayo, kita makan. Mas kangen masakan Dik Sai. Bosan sama makanan di kapal.” Faisal melepas genggamannya dan beranjak.
Sabitah ikut berdiri. Tiba-tiba dia memeluk Faisal dari belakang. Hingga membuat langkah Faisal terhenti.
“Terima kasih, Mas. Kita berjuang bareng, ya, Mas.”
Faisal menyahuti dengan anggukan.
♥ ♥ ♥
“Bapak, Ibu, Faisal berangkat dulu. Maaf, Faisal sering merepotkan Bapak dan Ibu menemani Dik Sai.” Pagi itu Faisal berpamitan untuk pergi bertugas.
“Kamu hati-hati, ya. Jangan lupa urus cuti biar bisa mendampingi Sabi melahirkan,” pesan Pak Kusno. Faisal mengangguk menyanggupi mertuanya.
Sementara itu, Sabitah terlihat termenung. Kali ini perasaannya tak seperti biasanya. Dia ingin menahan agar Faisal tak melaut. Namun, itu tak mungkin.
Dia berusaha tersenyum ketika suaminya berpamitan, mengelus perutnya yang sudah membesar. Tinggal menunggu hitungan hari, bayi kembar yang ada dalam kandungannya akan hadir ke dunia.
“Tetap sehat dan kuat, Kesayangan Ayah. Temani Bunda, ya!” pesan Faisal pada si kembar di perut Sabitah.
Tiga hari pun berlalu. Perasaan Sabitah semakin risau memikirkan Faisal yang tak bisa dihubungi. Dia mengalihkannya dengan menonton televisi.
Namun, ada sekilas berita yang mengabarkan KRI Nanggala-402 tenggelam di perairan utara Bali. Padahal yang dia tahu, Faisal sedang bertugas di kapal selam itu.
Sontak Sabitah memanggil Bapak dan Ibunya. Pak Kusno dan istrinya tergopoh menghampiri Sabitah. Mereka ikut melihat berita itu.
Pak Kusno mencoba menghubungi rekannya untuk mencari tahu kebenaran berita tersebut. Informasi yang didapat bahwa kapal itu sempat hilang kontak. Otoritas saat ini berada dalam prosedur Sublook (pencarian kapal selam).
Sabitah tak tahan menahan pilu. Air matanya tak terbendung lagi. Dia meraung di pelukan Bu Kusno. Dadanya terasa sesak.
Mereka hanya bisa menanti keajaiban.
♥ ♥ ♥
Sebulan berlalu. Tangan Sabitah terlihat bergantian mengelus pipi kedua bayinya yang terlelap.
Sabitah bergumam dalam hati, “Mas, si kembar sudah lahir. Aku memberi nama Fahrian Jaya Ridwan (Fajar) dan Seima Nurry Jasmine (Senja). Mereka memiliki arti masa yang berbeda. Namun, keindahan keduanya selalu tampak sama dari perairan laut. Aku yakin, Mas akan selalu bisa melihat Fajar dan Senja dari tempatmu bertugas. Selamat bertugas menjaga laut Indonesia untuk selamanya. Kami bangga memilikimu, Mas.”
~TAMAT~
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar